Akmal Abzal, Komisioner KIP Aceh periode 2008-2013 dan 2018-2023
DINAMIKA Pemilu tahun 2024 semakin semarak dan menarik diikuti seiring tahapan pemilu mendekati penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) sekaligus memasuki waktu pelaksanaan kampanye yaitu pekan terakhir November tahun ini. Berbagai daya dan upaya dikerahkan oleh para calon legislatif (Caleg) demi membangun image positif sekaligus menitip harap untuk meningkatkan elektabilitas diri yang berdampak pada bertambahnya pundi-pundi suara dari bilik TPS saat pungut hitung Rabu 14 Februari 2024 mendatang.
Beragam kiat dan strategi dilakukan para caleg sebagai bentuk ikhtiar insani dengan tidak menafikan doa dan ketetapan Ilahi sebagai penentu akhir kontestasi-kompetisi. Terlepas dari layak atau tidaknya cara yang dilakukan untuk bersosialisasi, hal-hal unik dengan mudah kita temui di lapangan sebagai indikator bahwa pemilu 2024 menjadi momentum penting bagi sebuah perubahan. Apakah perubahan dimaksud untuk kebaikan bangsa, negara dan agama atau perubahan tersebut terfokus untuk diri, keluarga dan kroni-kroninya, kita lihat saja nanti.Beragam media dimaksimalkan oleh para caleg demi memperkenalkan diri alias meukat droe, sekaligus sebagai bentuk branding dan marketing politik guna memancing empati pemilih dalam mempengaruhi hak suara di hari H, di samping berharap upaya ini mampu juga berkontribusi pada peningkatan elektabilitas positif.
Mari kita jajaki beberapa karakteristik para caleg selama proses taaruf (sosialisasi) ini, secara eksplisit ada yang langsung menggambarkan keaslian jati diri seorang caleg kendatipun telah di poles dengan pencitraan yang luar biasa.
Sikap, perilaku, etika, cara, strategi hingga cara penggunaan media menjadi indikator plus minus terhadap caleg tertentu. Seperti kata bijak berkata “berkilat ikan di air, tahu kita jantan betina” dalam artian setiap cara dan sarana sosialisasi yang digunakan para caleg, tergambarkan kualitas dan terbaca kemampuannya.
Ironisnya, pasca pengumuman DCS, perilaku caleg kian memperlihatkan eksistensinya di depan publik dengan segenap kelebihan dan kekurangan masing-masing, kendati saat bersamaan publik ikut mendiskusikan perilaku para caleg yang dianggap plin plan alias hana siku serta menguraikan track record caleg dari musim ke musim.
Tipikal caleg
Berikut penulis mencolek beberapa perilaku caleg yang miskin ide, gagasan dan visi-misi. Sehingga kelayakan mereka sebagai wakil rakyat patut dipertimbangkan, dievaluasi bahkan dikaji secara matang oleh partai pengusung agar kehadiran mereka di parlemen benar-benar menjadi representatif dari masyarakat daerahnya dan ini belum terlambat.
Pertama, caleg pragmatis. Tipikal caleg ini adalah inkonsisten. Tidak ada padanya semangat militan dan fanatik karena pencalonannya sebagai caleg di ilustrasi bagaikan penumpang bis yang naik di pinggir jalan dan tidak melalui terminal pengkaderan yang resmi.
Tidak ada saham atau modal yang dikeluarkan dalam melahirkan partai, bergabung saat semua perangkat partai telah ada. Karakter caleg seperti ini, jelas tidak memiliki ruh perjuangan, pengabdian apalagi pengorbanan karena mindset sesungguhnya adalah pragmatic-oriented atau mencari aman dan nyaman dan menolak risiko alias safety player. Hal ini bisa dilihat dari beberapa personal yang maju sebagai caleg dari musim pemilu ke pemilu.
Pada pemilu tahun 2014 maju sebagai caleg dengan partai X dan pada pemilu 2019 lain lagi partainya. Sementara di pemilu tahun 2024 yang bersangkutan justru berada di partai yang berbeda lagi dari kedua partai sebelumnya dan seterusnya setiap periode pemilu bertukar bagai kutu loncat, sebab caleg sejenis ini kosong dari ideologi dan tujuan partai.
Lain hal pula dengan berapa caleg yang potensial, pada awal pendaftaran partai untuk menjadi peserta pemilu yang bersangkut menjabat sebagai pengurus. Anehnya saat pendaftaran caleg dibuka oleh KPU, yang bersangkutan justru hadir sebagai caleg di partai lain pula.
Hanya dalam hitungan bulan caleg ini bisa bak bunglon bersulap diri mengubah warna jas sesukanya tanpa merasa beban di batinnya. Ada yang lebih parah lagi, yaitu caleg yang sudah termaktub namanya dalam DCS sesuai pengumuman KPU pertengahan Agustus lalu dan DCS tersebut telah beredar di masyarakat untuk dikoreksi dan ditanggapi. Namun informasi yang berkembang akan ada lagi caleg yang bakal lompat partai menjelang pencermatan DCT yang sedang berjalan saat ini.
Kali ini justru hitungan hari para caleg masih bisa bersafari lintas kamar dan menembus batas-batas rasional dan etika berpolitik. Kendati hal ini bukan sesuatu yang diharamkan namun jika sinyalemen ini benar adanya, masyarakat perlu tahu keseriusan caleg tersebut untuk maju agar setiap suara yang diberikan tidak sia-sia.
Termasuk perlu adanya kekhawatiran pemilih dengan tabiat buruknya yang gemar lompat pagar itu bakal menular hingga menduduki kursi dewan terhormat kelak.
Kedua, caleg tidak percaya diri. Kelompok ini nyaris masif terjadi sejak pemilu tahun 2019 dan terus mengkristal pada pemilu 2024 ini. Karakter caleg ini, tidak percaya dengan kemampuan dan kelebihan diri, belum berani tampil sendiri di depan publik bahkan di baliho dan spanduk sekalipun karena mindsetnya belum move on dari kelaziman mengandalkan sosok publik figur tertentu untuk menjadi daya dorong elektabilitasnya.
Cara kuno ini sudah lama ditinggalkan oleh politisi-politisi senior dan profesional sehingga cara caleg bersosialisasi diri dengan memajangkan foto orang lain dalam baliho, spanduk dan posternya menjadi bukti bahwa caleg tersebut lemah, tidak percaya diri dan bukan politisi yang mandiri.
Aneh memang, ketika kita menyaksikan alat peraga sosialisasi para caleg yang beredar sekarang justru memuat foto dirinya dengan calon presiden (Capres) tertentu dan bahkan yang lebih lucu ada caleg yang memasang fotonya dengan capres tertentu sementara DPP partainya di Jakarta justru mengusung capres yang beda dengan yang di posternya.
Aneh bin nyata ini terjadi di negeri yang sudah berkali-kali melaksanakan pemilu secara langsung. Kepercayaan diri dan konsep para caleg tidak lagi menjadi blue print penting untuk dipaparkan kepada masyarakat namun merasa cukup dengan mendompleng pada kebesaran nama orang lain.
Hal ini tidak mengedukasi masyarakat menjadi pemilih yang sehat. Pada saat bersamaan para caleg menjadi pasif dan minim ide dan gagasan sehingga nasib keterpilihannya sangat bergantung dari efek domino capres bukan hasil karya dan usahanya sendiri.
Ingat, Pemilu tahun 2024 nanti berisi lima kontestasi yang dipilih langsung oleh masyarakat yaitu Pemilihan Capres/Wapres, DPD, DPR-RI, DPRA dan DPRK. Ironisnya para caleg malah lebih dominan berkampanye isu capres ketimbang mensosialisasikan visi-misi dan program kerjanya. Mengapa? Jawabannya ada pada caleg itu sendiri.
Ketiga, caleg eksklusif. Caleg katagori ketiga ini nyaris sama dengan karakter one man show atau tampil personal. Dalam berbagai alat peraga sosialisasi, caleg tipikal ini hanya menampilkan namanya sendiri dan membiarkan kosong kolom-kolom nama lainnya, padahal jumlah caleg per dapilnya lebih dari lima orang bahkan ada yang sampai 13 orang.
Berdasarkan PKPU No 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Pasal 1 angka 15 berbunyi: Daftar Calon Sementara Anggota DPR, Daftar Calon Sementara Anggota DPRD provinsi, dan Daftar Calon Sementara Anggota DPRD kabupaten/kota yang selanjutnya disebut DCS adalah daftar calon sementara yang memuat nomor urut Partai Politik Peserta Pemilu, nama Partai Politik Peserta Pemilu, tanda gambar Partai Politik Peserta Pemilu, nomor urut calon, foto diri terbaru calon, nama lengkap calon, jenis kelamin, dan kabupaten/kota tempat tinggal calon.
Bila merujuk pada ketentuan normatif, idealnya partai sebagai peserta pemilu ikut andil dan bersinergi dalam edukasi dan sosialisasi format DCS yang di umumkan oleh KIP atau KPU, termasuk mendorong para calegnya untuk mengedarkan atribut sosialisasi yang sesuai dengan format kertas suara resmi KPU agar masyarakat mudah memahami pilihannya nanti di bilik suara.
Kendati ketentuan KIP/ KPU tidak mengatur format alat peraga sosialisasi para caleg namun beragamnya format yang beredar ini akan mempengaruhi pemahaman pemilih terhadap konsep asli kertas suara dan ini tidak sehat bagi sebuah edukasi.
Bukankah sosialisasi caleg secara kolektif per dapil akan menghemat biaya dan juga berdampak positif pada pandangan masyarakat karena kekompakan caleg dalam berjuang menjadi energi positif bagi elektabilitas diri. Jika bisa bersama dalam satu format sosialisasi kenapa mesti memuat nama sendiri.
Jangan sampai masyarakat melihat hal itu sebagai pertanda tak akurnya sesama caleg atau kondisi itu adalah isyarat yang membedakan caleg bermodal dengan caleg tanpa modal. Jika modal menjadi ukuran terpilih maka pemilih mesti hentikan laju mereka karena kita tidak selalu membutuhkan pemodal namun wakil-wakil rakyat yang kita rindukan adalah mereka-mereka yang memiliki personalitas yang handal, berintegritas, loyal pada rakyat dan memiliki visi misi yang positif.
Semoga colekan ringan ini menjadi masukan positif bagi para caleg agar setiap langkah perjuangan menuju parlemen diawali dengan cara yang baik dan sportif, kelak pantas dipanggil dengan gelar dewan terhormat.