Oleh: Ahmad Humam Hamid
Ketakutan, ancaman, dan godaan terbesar dalam penanganan bencana dimanapun adalah hilangnya uang dalam realisasi implementasinya mulai dari fase pemulihan, rehabilitasi, sampai kepada rekonstruksi.
Hal itulah yang menjadi perhatian terbesar Pak Kun, bahkan samenjak ia mulai diajak oleh JK dan Presiden SBY.
Barangkali, disamping sejumlah alasan ia mensyaratkan “political shield” -perisai politik dalam negosiasi Perpu dengan presiden, korupsi adalah salah satu alasan utama.
Karena itu pula ketika BRR dijadikan “super body” oleh negara, ia menunjukkan keseriusannya kepada Presiden, untuk tinggal dan berkantor di Aceh.
Padahal dalam benak SBY, Kuntoro dan BRR akan berkantor di Jakarta.
Potensi korupsi sangat besar, terbuka dengan lebar, apalagi dengan status daerah konflik dan darurat militer.
Bayangkan saja dibenak Kuntoro ia akan berurusan dengan keluarga korban tewas yang mencapai 168 ribu jiwa, 37 ribu hilang, ratusan ribu rumah hancur, 85 persen fasilitas air bersih dan 92 persen sanitasi hancur.
Korban selanjutnya dari Tsunami adalah 4 depo gas hancur, sekitar 150 kilometer jalan raya dan lebih dari 20 jembatan rusak.
Baca juga: Pak Kun, Integritas, dan Keberuntungan Aceh - Bagian 1
Tidak kurang dari 40,000 hektar sawah rusak, berikut dengan hancurnya 70 persen fasilitas sektor perikanan.
Sebuah estimasi dari salah satu lembaga PBB memperikirakan nilai dari total kerusakan akibat Tsunami mencapai 4.5 miliar dolar- lebih dari 70 triliun nilai hari ini.
Ini bukan jumlah kecil, bahkan mencapai 97 persen dari produksi ekonomi tahunan Aceh,dan sekitar 2, 2 persen dan Produk Domestik Bruto nasional.
Kuntoro sudah membayangkan, jangankan mengelola jumlah uang yang akan dicurahkan untuk rehab-rekon Aceh akan sangat melimpah- akhirnya total uang yang dibelanjakan sekitar 7 miliar dolar, mengelola yang 4.5 milliar dolar bukan main susahnya.
Ia sangat sadar bahwa ini kunci yang tidak hanya akan membahayakan rehab-rekon Aceh, akan tetapi juga akan berperan besar terhadap prospek perdamaian Aceh.
Ruang korupsi terbuka dimana-mana, apalagi mengghadapi rekruitmen SDM dari berbagai komponen dengan pengalaman dan perilaku yang sangat beragam.
Disamping itu ia juga mempunya tangoing jawab yang berurusan dengan “good governance” berbagai LSM nasional dan internasional yang juga berpotensi besar terlibat dalam korupsi bencana.
Baca juga: Pak Kun, Integritas, dan Keberuntungan Aceh – Bagian II
Sukar menggambarkan dengan rinci apa dan bagaimana strategi Kuntoro dalam mengatasi korupsi ketika ia menjabat kepala BRR.
Namun dari langkah-langkah yang ia kerjakan, apa yang tampak tak lebih dari upaya memastikan tidak ada kawasan dan lokasi “lembab” yang akan membuat korupsi tumbuh subur.
Apa yang ia kerjakan adalah membuka semua penutup kawasan, terutama yang berpotensi lembab untuk dapat disinari oleh matahari.
Membuka dan membiarkan sebanyak mungkin “sinar matahari” akan mengurangi dan bahkan akan mengeringkan sebanyak mungkin wilayah “lembab” penyalahgunaan dana atau kekuasaan dalam proses rehab-rekon yang dijalankan BRR
Hal itu terlihat jelas ketika ia membangun SAK- Satuan Anti Korupsi BRR. Ini adalah sebuah praktek “unik” dari sebuah lembaga pemerintahan, yang sangat berbeda dari apa yang dikenal dengan lembaga pengawas internal.
Satuan ini melakukakn tugas pendidikan, pencegahan, dan investigasi. Pada awalnya SAK berada dalam organisasi pelaksana, yang ia pimpim.
Baca juga: Prabowo dan Mualem, Komitmen Dua Jenderal untuk Aceh
Tak lama kemudian untuk menjadi lebih independen dan efektif satuan ini ini diserahkan kepada Dewan Pengawas BRR.
Ketika SAK dibentuk, lembaga itu sebenarnya menjadi instrumen penegakan hukum yang menangani pelaporan pelanggaran dań korupsi.
Paling kurang kosekuensi dari lahirnya SAK adalah hadirnya etika pemangku kepentingan, yang berkaitan erat struktur penanggulangan bencana.
Etika pemangku kepentingan itu pertama kali diterapka untuk kalangan internal KPK dengan penanda tanganan Pakta Integritas, sebuah pernyataan komitmen tertulis perilaku non koruptif di tubuh BRR dan dibacakan oleh yang berangkutan.
Pada bulan Juli 2005, segera setelah SAK dibentuk, pemberkakuan Pakta Integritas dimulai.
Pakta Intagitas itu untuk pertamakalinya dibacakan secara kolektif oleh 15 staf BRR, termasuk Pak Kun,ang dipimpin oleh seorang staf.
Isi pakta itu adalah karyawan BRR tidak akan menerima apapun dari BRR ataupun yang terkait dengan BRR, kecuali gaji yang telah diatur melalui Keputusan Presiden.
Tidak ada tunjangan, uang lembur, dan insentif bagi siapapun karyawan BRR. Karyawan BRR juga tidak diperbolehkan menerima hadiah, atau biaya perjalanan dari siapapun.
Seandainya mereka terpaksa artau dipaksa menerima, uang itu akan dicatat, dilaporkan kepada bagian yag ditugaskan, untuk kemudian dikembalikan kepada negara. Jika terbukti korupsi, mereka bersedia dipecat tanpa kompensasi.
SAK secara otomatis menjadi basis awal bagai terwujudnya transparansi pengelolaan anggaran, Calon pelaku kesalahan dari awal sudah diberitahu apa yang sedang dan akan terjadi dari komponen internal yang paling dekat beroperasi dalam lembaga itu.
Baca juga: Pengungsi Rohingya Tanggung Jawab Siapa
Kehadiran SAK juga memberi dorongan keras untuk hadirnya akuntabilitas secara lebih kental.
Paling kurang pada tahap awal, SAK akan membuat publik percaya, dan ini juga setidaknya akan mendorong BRR untuk lebih percaya diri terhadap upaya anti korupsi yang dilakukan.
Disamping kerjasama BRR dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK, kehadiran SAK juga mendorong kerjasama dan kordinasi dengan berbagai aktor lain yang terlibat dalam proses rekonstruksi, mulai dări instants vertikal, pemerintah lokal, LSM, organisasi masyarakat sipil, donor, lembaga pemberi bantuan, termasuk masyarakat yang terkena dampak tsunami.
Upaya memperbanyak “sinar matahari” untuk menyinai “kawasan lembab” atau “berpotensi lembab” dalam implimentasi pekerjaan BRR tidak cukup hanya dengan SAK.
Ia mejalin kerjasama dengan Kepolisian, Kejaksaan, dan bahkan dengan KPK. Apakah ia berhenti disitu? Ternyata juga tidak.
Pada tahun 2006 BRR mengadakan kerjasama dengan lembaga Transparency International- sebuah lembaga nati rasuah global untuk membantu BRR dalam upaya mencegah dan memerangi korupsi.
Pak Kun tercambuk dengan 1002 kasus laporan oleh masyarakat, 131 diantarnya adalah dugaan korupsi. Disamping itu laporan juga datang dari internal BRR, maupun lembaga lain.
Konsekuensi itu membuat BRR menganugerahkan senjata pamungkas kepada Transparency International dibawah kepemimpinan ahli dan tokoh hukum terkemuka nasional, Todung Mulya Lubis.
Kesepakatan itu memberikan dan menjamin akses langsung kepada Transparency International (TI) Indonesia terhadap seluruh informasi yang berkaitan dengan sistem integritas BRR.
Ini adalah sebuah terobosan yang luar biasa, yang mungkin tak pernah terjadi pada lembaga pemerintah manapun yang membuka habis pintunya kepada sebuah lembaga anti rasuah kepada apapun yang dimiliknya.
Ini adalah sebuah “matahari besar” yang dijemput oleh Kuntoro untuk mengeringkan kawasan “lembab” yang berpeluang menjadi ajang munculnya berbagai bakteri dan virus korupsi yang telah bergentayangan di luar sana.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca Artikel KUPI BEUNGOH Lainnya di SINI