MUHAMMAD, Wakil Dekan I dan Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Islam Kebansgaan Indonesia (Uniki) Bireuen, melaporkan dari Bireuen
Ranup lampuan merupakan sebutan untuk tari tradisional Aceh yang disajikan oleh masyarakat Aceh saat menyambut tamu-tamu penting dari berbagai unsur. Tarian ini biasanya ditarikan oleh wanita dengan menyuguhkan sirih sebagai tanda terima masyarakat.
Ranup (ada juga yang menulis ranub) dalam bahasa Aceh berarti sirih, sedangkan lampuan terdiri atas dua kata, yaitu ‘lam’ yang artinya ‘dalam’ dan ‘puan’ yang berarti ‘tempat sirih’ (cerana) khas Aceh.
Tari ini dibawakan oleh tujuh penari wanita yang diiringi musik tradisional khas Aceh, yaitu ‘seurune kalee’. Tari ini diciptakan oleh seniman Aceh bernama Yusrizal (Banda Aceh) sekitar tahun 1962. Tak lama setelah populer di Banda Aceh, tari ini berkembang di daerah lainnya di Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebagai ilustrasinya, sirih dalam puan tersebut dihidangkan nyata oleh para penari kepada tamu yang mereka sambut. Dalam masyarakat Aceh, sirih dan puan merupakan lambang kehangatan persaudaraan. Makna dari menyuguhkan sirih kepada tamu adalah sebagai tanda tamu tersebut sudah diterima di lingkungan masyarakat Aceh.
Makna mendalam lain dari ranup lampuan adalah ketika tamu memakan sirih tersebut terdapat rasa pedar dan pedas. Itu bermakna sebagai sikap rendah hati dan pemberani, ada juga yang mengatakan itu bermakna tanda peringatan terhadap tamu bahwa harus bertutur baik dan bersikap bijak karena jika tidak maka masyarakat Aceh bisa lebih pedas daripada sirih tersebut.
Adapun warna merah yang keluar dari hasil memakan sirih tersebut bermakna tamu atau siapa pun yang memakannya harus jujur dan terus terang tidak boleh ada maksud yang tersembunyi terhadap Aceh. Apalagi menyebabkan sesuatu hal yang merugikan masyarakat Aceh karena masyarakat Aceh adalah masyarakat yang terbuka dan menyukai kejujuran.
Ranup lampuan bukan tradisi khusus untuk tamu negarawan, melainkan semua unsur yang dapat memuliakan maka akan dimuliakan dengan ranup lampuan.
Adapun ranup lampuan dalam reportase ini tidak berhenti pada pemaknaan lahir (yang terihat dari luar) atau hanya sekadar tradisi biasa saja, melainkan tersirat makna mendalam. Yakni, bagaimana orang Aceh membuka diri dan menyambut dengan penuh kehormatan siapa pun tamu yang hendak singgah ke daerah ini.
Lalu pertanyaannya adalah apakah ranup lampuan layak disuguhkan untuk pengungsi Rohingnya saat ini?
Kedatangan etnis Rohingnya bukan persoalan baru sebagaimana jadi ‘trending topic’ saat ini, terutama di Aceh. Jauh sebelumnya migran Rohingya sudah berdatangan dengan berbagai motif. Terlepas baru-baru ini mulai teridentifikasi bahwa kedatangan etnis Rohingnya ke Aceh didapati ada dalang yang memainkan perannya untuk meraup keuntungan.
Jauh sebelumnya, menurut laporan Badan Pengungsi PBB (UNHCR), etnis Rohingnya yang terus berdatangan ke Aceh merupakan pelarian dari penampungan pengungsi di Cox's Bazar, Bangladesh.
Hal itu dipicu oleh peristiwa penyiksaan dan genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya pada 2017 lalu. Kondisi ini menyebabkan warga Rohingya kabur mencari suaka ke negara terdekat untuk menyelamatkan diri.
Terlepas dari motifnya apa dan sejak kapan itu terjadi, orang Aceh secara spontan selalu mengedepankan rasa kemanusiaan ketika dihadapkan para peristiwa-peristiwa tertentu, tidak peduli apakah yang ditolong lebih kaya, lebih kuat atau bahkan tidak seakidah dengan mereka. Ini adalah sikap spontan orang Aceh yang tidak bisa didikte atau dibuat-buat.
Kita ingat pada peristiwa pertama sekali kedatangan etnis Rohingnya ke Aceh. Yang membantu dan menemukan mereka bukan Direktorat Polisi Perairan dan Udara (Ditpolairud), melainkan para nelayan Aceh di tengah laut yang melihat sekelompok manusia terombang-ambing dan meminta pertolongan, tanpa aba-aba dari siapa pun mereka mendekat memberikan makanan dan bantuan lainnya.