WANHAR LINGGA, S.Pd., Ketua HPI Aceh Singkil dan Sekertaris Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Aceh Singkil, melaporkan dari Barus, Sumatera Utara
Perjalanan menuju Barus kami mulai dari Bumi Syekh Abdurrauf As-Si1ngkily, kurang lebih sekitar 64 km dengan waktu tempuh tiga jam perjalanan. Libur Lebaran Idulfitri 1445 H kami manfaatkan untuk melakukan perjalanan religi, menuju sebuah makam keramat yang menyimpan sejarah dan keberkahan.
Lokasi makam ini berada di Desa Pananggahan, Kecamatan Barus Utara, Sumatera Utara. Sesampai di lokasi kita disarankan untuk berwudu terlebih dahulu sebelum menuju ke puncak makam. Peziarah juga dikenakan biaya tiket masuk Rp3.000 per orang.
Masyarakat setempat menyebut lokasi ini dengan sebutan Tangga Seribu. Namun, hitungan kami tidak mencapai 1.000 anak tangga. Hanya 710, tapi ada juga yang menyebut jumlahnya 750 undakan. Entahlah, yang pasti anak tangganya sangat banyak, makanya disebut Tangga Seribu.
Setiap langkah anak tangga menuju puncak makam adalah perjuangan, karena begitu lelah mendaki. Anak saya usia tiga tahun, sering mengeluarkan kalimat, "Pak, capek." Lalu kami berhenti, mengaso sejenak, dan kembali melanjutkan perjalanan.
Pendakian ini mengingatkan kita pada ketabahan dan perjuangan Syekh Mahmud saat menyebarkan agama Islam di Nusantara.
Saat mendaki, mata kita disuguhi pemandangan yang memukau di kejauhan, Samudra Hindia membentang luas, gunung-gunung membentang indah.
Setelah sampai ke puncak ada rasa yang sangat bahagia walaupun kaki gemetar dan keringat bercucuran membasahi badan.
Dari puncak ketinggian makam kita melihat pemandangan perbukitan yang hijau dan lautan luas yang indah. Perjalanan menuju puncak makam hampir memakan waktu satu jam. Ada sekitar empat titik lokasi tempat istirahat. Di sini juga ada orang yang berjualan air dan makanan ringan.
Seketika saya heran dengan para peziarah ke makam Syekh Mahmud. Sepanjang perjalanan menaiki anak tangga saya menyapa para peziarah, hampir 90 persen di antaranya berasal dari Aceh Singkil dan Kota Subulussalam. Selebihnya penduduk lokal Barus dan ada beberapa juga yang datang dari Kota Medan.
Kenapa begitu banyak peziarah datang dari wilayah Singkil? Ternyata ada kaitannya dengan perjalanan dakwah Syekh Mahmud, mungkin banyak yang belum tahu.
Menurut keterangan warga lokal dan beberapa sumber, Syekh Mahmud datang ke wilayah Barus pada abad ke-7 Masehi. Berdasarkan catatan sejarah, beliau mungkin tiba sekitar tahun 640-an. Saudagar dari Yaman ini diutus ke Asia, berlayar menuju Samudera Pasai (Aceh) untuk menyebarkan ajaran Islam.
Namun, kapal yang ia tumpangi salah arah dan terdampar di Barus. Di Barus, Syekh Mahmud memutuskan untuk menetap dan melanjutkan dakwahnya. Namun, Kerajaan Barus pada masa itu melarang Syekh Mahmud untuk menyebarkan Islam di Nusantara.
Akibatnya, ia diasingkan ke Singkil, sebuah wilayah di Aceh. Di sana, Syekh Mahmud melanjutkan dakwah dan menyebarkan ajaran Islam hingga tersebar luas ke seluruh Nusantara.
Syekh Mahmud, yang juga dikenal sebagai Syekh Papan Tinggi, memiliki perjalanan dakwah yang menarik di wilayah Singkil, Aceh. Sebetulnya tak hanya berdakwah, ia juga menjadi pedagang dan berbisnis komoditas kapur barus (kamper) yang banyak dihasilkan di hutan Singkil, bahkan sangat terkenal sejak puluhan abad lalu. Kapur barus atau kamper Singkil ini bahkan sudah dikenal pada masa Fir'aun. Di Mesir digunakan sebagai bahan baku utama mumi. Sekadar informasi, di wilayah Kota Subulussalam saat ini kamper Singkil masih bisa kita temukan.