Apa yang salah dengan Qismullah? Apa karena ia pribumi?-inlander Aceh yang juga bukan sejarawan karena sekolahan?
Ketika saya ajukan sejumlah pertanyaan itu ke Dr. Baidowi, ia tertawa terbahak-bahak, sambil memeluk saya.
Rupanya apa yang saya sampaikan Baidowi sudah lebih dahulu tahu, dan hanya ingin menguji pengetahuan saya tentang sejarah Aceh dan berbagai metode penelitiannya.
Draft buku Panglima Itam, kakek buyut Surya Paloh itu akhirnya siap setahun yang lalu.
Sebelum buku itu dicetak ,saya dan bang Qis, dan beberapa kolega Baidowi, seorang sejarawan muda, dan teman-temannya dari Yayasan Sukma diajak ke Buleleng, di Bali Utara. Di sana kami tinggal di rumah keluarga besar Baidowi dan isterinya.
Menikmati liburan di pedesaan Bali adalah kenangan terakhir saya dengan bang Qis. Ia dan isterinya terbang dari Malaysia ke Bali untuk diskusi buku Panglima Itam sambil berlibur di kampung Islam, ditengah ummat Hindu yang hidup berdampingan dan cukup rukun dengan komunitas penganut agama Islam disitu.
Kami makan, tidur, diskusi, dan jalan-jalan, menikmati keindahan sisi lain Bali Utara yang tak hiruk pikuk seperti di Denpasar atau Pantai Kuta. Dan seperti biasa, semenjak muda bang Qis adalah penikmat makanan ,-foodie kata anak sekarang. Dan di Buleleng kali ini, saya melihat dia tidak banyak berobah.
Saya tahu itu, karena kami memang sama-sama foodie. Dia sangat menikmati makanan, walaupun sudah operasi by pass jantungnya. Kadang saya terbawa dengan foodie nya bang Qis menikmati makanan rumahan Bali, dari keluarga Dr. Baidowi. Namun saya lebih banyak menahan diri.
Akhirnya draft buku yang semula berjumlah hampir 2.000 halaman, berhasil di kompres menjadi lebih kurang 300 halaman.
Saya tidak tahu lagi bagaimana bang Qis dan Tim pak Baidowi menyelesaikannya, sehingga menjadi buku yang padat dan enak dibaca. Hampir setahun yang lalu buku itu telah dicetak, dan mudah dibeli di Toko buku Gramedia, dań sejumlah toko online.
Kini, “errant boy” USK itu telah pergi untuk selamanya. Seorang pembelajar dan pengabdi yang tak mengenal pamrih itu segera akan hilang dari memori publik, tetapi belum tentu hilang dari keping sejarah nantinya. Ia telah memberikan apapun yang dia punya untuk modal awal damai, membantu gubernur Irwandi mengirim putera-puteri terbaik ke berbagai kampus mancanegara.
Suatu hal yang unik, walaupun ia bukan sejarawan secara sekolah dan latihan, Qismullah mempunyai lemari ingatan yang luar biasa besarnya . Itu adalah tentang keping-keping sejarah klasik yang bahkan belum pernah disentuh oleh peminat, pemerhati, dań penulis sejarah Aceh mancanegara.
Ia menulis tentang Panglima Itam, satu dari mungkin ribuan syuhada Aceh yang berperang melawan Belanda sampai ia ditawan dan menjadi pengawal Sultan Muhammad Daudsyah kemanapun ia dibuang.
Lebih dari itu, ia adalah “penulis pribumi” yang berani mengulangi tradisi Lombard, Husein Jayadiningrat, dan Takeshi Ito yang sebagiannya menggunakan hikayat sebagai sumber kajian.
Beda Qismullah dengan mereka sangat jelas. Mereka mengambil hikayat yang oleh pengarangnya diambil dari tradisi tutur “oral history”.