Berita Banda Aceh

  KH Zulfa Mustofa Sebut NU Menetapkan Hukum Setelah Nas Berdialog dengan Realitas

Penulis: Khalidin
Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, Minggu (11/8/2024) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh.   

Laporan Khalidin Umar Barat I Banda Aceh

SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Zulfa Mustofa menegaskan bahwa dalam menetapkan suatu hukum, Nahdlatul Ulama (NU) selalu mendialogkan nash dengan realitas. 

Praktek ini dapat ditemukan saat Nabi Muhammad SAW masih hidup dan berlanjut di era para Sahabat dan tabiin, sehingga jadi pijakan NU dalam bertistinbath ketika menetapkan hukum.

Hal ini disampaikan Kiai Zulfa saat membuka Seminar Sistem Istinbath Hukum Islam dan Bahtsul Masail, Ahad (11/8) di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh. 

Kiai Zulfa hadir bersama sejumlah fasilitator acara dari PBNU seperti KH Muhammad Cholil Nafis dan Gus Nurul Yaqin (Syuriyah PBNU) lalu KH Miftah Faqih, Muh. Silahuddin, dan A Ginanjar Sya'ban (Tanfidziyah PBNU).

Dalam pidato kuncinya, Kiai Zulfa menyampaikan bahwa penetapan hukum di dalam Nahdlatul Ulama didasarkan pada dua hal, yakni nash dan realitas atau teks dengan konteks.

Baca juga: Apa Sanksi 5 Kader NU yang Temui Presiden Israel Isaac Herzog? Ini Kata Ketua Umum PBNU

 "Dalil syari itu dua poin pentingnya, memahami hukum dari nash dan ini sifatnya naqli. Kedua harus memahami waqi (realitas) itu nadhariyah, itu harus diuji," katanya mengutip pandangan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqat.

Oleh karena itu, Kiai Zulfa menekankan bahwa dalam memberikan putusan hukum tidak cukup hanya dengan memahami Al-Quran dan hadits sebagai rujukan atau pijakannya, tetapi juga harus memahami realitasnya. 

Karenanya, NU selalu mengundang ahli untuk memberikan pemahaman realitas persoalan.

"Nanti jika yang dibahas itu tentang makanan, kita mengundang juga para expert di bidangnya," katanya. 

Ia mencontohkan dalam memutuskan hukum kepiting, misalnya, NU mengundang guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB) yang ahli dalam bidang kepiting. 

Menurutnya, kepiting itu hewan air karena tidak mampu hidup di darat lebih dari 15 hari.

Baca juga:  Tiga Pj Bupati Dilantik, PJ Gubernur Aceh Tekankan Tugas Menyukseskan PON dan Pilkada 

Sebelumnya, para ulama menganggap kepiting itu hidup di dua alam sehingga haram. 

"Kita tentu harus ngerti waqi (realitas). Kita cuma baca kitab yang bilang haram," ujar kiai asal Banten itu. 

Ia juga menegaskan bahwa kondisi sosial selalu berubah seiring perkembangan zaman. 

Halaman
12

Berita Terkini