Kupi Beungoh

Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan

Editor: Amirullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan

Oleh: Fahmi M. Nasir

Almarhum Tun Daim Zainuddin adalah seorang pemimpin luar biasa yang pernah dimiliki oleh Malaysia. Kemampuannya membawa Malaysia keluar dari krisis ekonomi, dua kali, membuatnya dikagumi oleh banyak orang, dari dalam dan luar negara. 

Kehebatannya ini bisa kita baca dalam buku yang ditulis oleh Michael Backman berjudul ‘Daim Zainuddin Malaysia’s Revolutionary and Troubleshooter’.

Berbagai kisah dan legasi yang ditinggalkan oleh Tun Daim banyak ditulis di berbagai media, pasca kepergiannya untuk selama-lamanya pada jam 8:21 pagi, 13 November 2024, di salah satu rumah sakit swasta di kawasan Petaling Jaya.

Tulisan ini merupakan mozaik kisah tentang Tun Daim dari sudut pandang saya berdasarkan interaksi langsung dengan beliau selama beberapa tahun terakhir ini.

Catatan ini saya persembahkan sebagai penghormatan bagi seorang tokoh yang telah berkenan memberikan peluang bagi saya belajar langsung darinya melalui berbagai sesi diskusi di tengah-tengah kepadatan jadwal kegiatannya.

Pada 18 Maret 2018 lalu, kira-kira sembilan hari setelah Tan Sri Sanusi Junid meninggal dunia, salah seorang sahabat karibnya, Tun Daim Zainuddin menulis obituari yang sangat indah berjudul ‘Sanusi Junid – a loyalist till the end’.

Obituari ini dimuat pada salah satu media berbahasa Inggris yang paling berpengaruh di Malaysia. 

Nukilan-nukilan di dalam tulisan tersebut menggambarkan bagaimana eratnya hubungan antara mereka yang sama-sama berasal dari Kedah, salah satu negara bagian di negeri jiran kita. 

Bagi Tun Daim pribadi, Tan Sri Sanusi adalah seorang sahabat yang sangat setia, sangat bisa dipercaya, sangat jujur, penuh ide, pemikir, seseorang yang berpandangan jauh ke depan, memiliki jaringan luas di Indonesia dan Cina, orator ulung, berjiwa besar, dan sangat bangga dengan darah Aceh yang mengalir di tubuhnya. 

Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan

Mereka berteman rapat sejak pertama sekali berjumpa pada tahun 1980 sehinggalah ke akhir hayat Tan Sri Sanusi pada 9 Maret 2018.

Bagi saya pribadi pula, kedekatan keduanya membawa berkah karena saya selalu diajak oleh Tan Sri Sanusi untuk mendampinginya setiap kali dia berjumpa dengan Tun Daim.

Saya bersyukur, hubungan silaturrahmi dengan Tun Daim ini tetap terjaga dengan baik pasca Tan Sri Sanusi Junid telah tiada.

Seiring perjalanan waktu, frekuensi pertemuan dengan Tun Daim pun semakin meningkat terutama sekali jika beliau ingin membicarakan isu-isu seputar Aceh dan Indonesia.

Sebaliknya, saya juga sering meminta nasehat Tun Daim terutama sekali dalam isu-isu seputar wakaf yang sering saya angkat menjadi topik tulisan di berbagai media di Indonesia, baik yang berbahasa Indonesia ataupun berbahasa Inggris. 

Tun Daim, laksana seorang mentor, selalu meluangkan waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya tersebut. Beliau kemudian memberikan saran, kritik, dan pandangan tentang isu-isu yang saya tulis itu dari kacamatanya baik sebagai seorang pebisnis, bankir, ataupun berdasarkan pengalamannya sebagai mantan Menteri Keuangan sebanyak dua kali.

Suatu hari, saya bercerita kepadanya bahwa tulisan-tulisan saya di berbagai media itu sudah lumayan banyak untuk dijadikan kompilasi menjadi dua buku, satu dalam bahasa Indonesia, satu lagi dalam bahasa Inggris. 

Tun Daim terus saja memberikan dukungannya kepada saya untuk segera merampungkan draf buku ini dan bertanya apakah saya sudah memikirkan siapa yang akan memberikan kata pengantar untuk masing-masing buku itu?

Saya pun menyebut nama-nama yang ingin saya minta kata pengantarnya, yaitu Tun Mahathir bin Mohamad, Tun Daim sendiri, dan satu lagi dosen saya di UIAM suatu ketika dulu, Tan Sri Dr. Mohd. Daud Bakar, yang kini telah menjadi salah seorang tokoh yang sangat disegani dalam dunia keuangan Islam.

Pada waktu yang sama saya menyampaikan kepadanya bahwa ada rasa ragu dan sungkan meminta kesediaan nama-nama besar itu untuk buku kompilasi.

Tun Daim segera memberikan semangat kepada saya dengan mengatakan ia bersedia menuliskan kata pengantar dan meminta saya untuk memberikan draf buku untuk dibacanya. 

Beliau juga menyampaikan keyakinannya bahwa kedua tokoh yang ingin saya minta kata pengantar itu juga akan bersedia menuliskannya.

Tun Daim menyarankan saya untuk segera saja menyampaikan permohonan ini kepada kedua tokoh itu dan beliau akan membantu berkomunikasi dengan kedua tokoh itu, jika perlu.

Setelah beberapa waktu yang lama pasca perbincangan dengan Tun Daim tentang rencana membukukan kumpulan tulisan yang telah dimuat di media arus utama di Indonesia, akhirnya draf buku ini dapat dirampungkan.

Saya pun mengikuti saran Tun Daim untuk meminta kesediaan para tokoh itu untuk menuliskan kata pengantar. 

Alhamdulillah kedua tokoh itu ternyata berkenan menuliskan kata pengantar untuk kedua buku. Tun Daim sendiri akhirnya memutuskan untuk menuliskan pengantar untuk buku berbahasa Inggris saja.

Tun Daim merampungkan kata pengantar itu pada 13 Agustus 2024 dan mengirimkan kepada saya pada hari itu juga melalui sekretarisnya, Puan Kelly Kam.

Buku kompilasi dalam bahasa Indonesia yang berjudul ‘Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia’ telah diterbitkan pada akhir September 2024 lalu.

Sementara itu, buku kompilasi dalam bahasa Inggris yang akan diberi judul ‘Contemporary Waqf Issues in Indonesia’ sedang dalam proses penerbitan, sambil menunggu Tun Mahathir merampungkan kata pengantarnya.

Kemarin pagi, 13 November 2024, saya ada pertemuan dengan salah seorang staf Tun Mahathir di kantornya, Yayasan Kempimpinan Perdana (YKP) Putrajaya.

Pertemuan itu adalah untuk menindaklanjuti kata pengantar yang sedang dibuat oleh Tun Mahathir, dan menanyakan kemungkinan Tun Mahathir menghadiri satu forum berkaitan wakaf yang akan berlangsung pada tahun depan.

Rencananya pagi itu, saya juga menyerahkan beberapa buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia kepada Tun Mahathir dan dua orang staf yang banyak membantu saya berkomunikasi dengan Tun Mahathir khususnya terkait dengan buku kompilasi tersebut.

Pada waktu yang sama saya juga akan menyerahkan buku berjudul ‘Antara Pasar dan Politik: BUMN di Bawah Dahlan Iskan’ yang dihadiahkan oleh penulisnya Fachry Ali kepada Tun Mahathir.

Sepulangnya dari YKP, saya berencana untuk singgah di Menara Ilham dan menyerahkan buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia ini kepada Tun Daim melalui salah seorang staf kepercayaannya karena Tun Daim sendiri dalam satu bulan belakangan ini memang kurang sehat dan sering mendapatkan rawatan di rumah sakit.

Sewaktu dalam perjalanan ke YKP di Putrajaya, saya menerima pesan dari Akhramsyah Muammar Ubaidah, anak sulung almarhum Tan Sri Sanusi Junid yang mengabarkan dia menerima berita bahwa Tun Daim Zainuddin baru saja meninggal dunia.

Dia juga mengabarkan akan memberitahukan informasi lanjutan tentang di mana jenazah Tun Daim akan dishalatkan dan dimakamkan.

Belum selesai saya membaca pesan ini, rasa sedih yang teramat sangat datang menyergap secara tiba-tiba. Tak terasa, mata saya berkaca-kaca ketika membalas pesan Akhramsyah sambil mengabarkan kepadanya bahwa saya sedang dalam perjalanan menuju kantor Tun Mahathir.

Setelah itu, saya kemudian mengkonfirmasikan informasi yang baru saya terima itu kepada dua orang yang rapat dengan Tun Daim, masing-masing Puan Kelly Kam, sekretaris Tun Daim dan Dr. Muhammed Abdul Khalid, adik ipar Tun Daim.

Jika berita itu benar, maka saya mohon bantuan untuk diberikan informasi di mana Tun Daim akan dishalatkan dan dikebumikan.

Saya lalu meneruskan perjalanan ke YKP untuk berjumpa dengan Puan Ima Abu Bakar, salah seorang staf Tun Mahathir.

Sesampainya di sana, staf Tun Mahathir itu membenarkan bahwa Tun Daim telah meninggalkan kita semua. Dia juga mengabarkan Tun Mahathir sangat bersedih karena sahabat karibnya ini telah tiada. 

Kesedihan Tun M ini bisa kita lihat dalam wawancara beliau dengan salah satu stasiun TV swasta di Malaysia yang membuat liputan khusus atas meninggalnya Tun Daim, tokoh yang sangat berjasa bagi negara itu khususnya ketika Malaysia berhasil keluar dari krisis keuangan ketika beliau menjadi Menteri Keuangan.

Staf Tun Mahathir itu mengabarkan bahwa saat saya tiba di YKP, Tun Mahathir sedang bersiap-siap untuk memberikan penghormatan terakhir bagi sahabatnya itu di rumah Tun Daim yang berada di kawasan Bukit Tunku.

Ketika sedang berbicara dengan staf Tun Mahathir itu, saya menerima pesan dari Puan Kelly Kam dan Dr. Muhammed Abdul Khalid yang mengabarkan ke mana jenazah Tun Daim akan dibawa pulang dari rumah sakit menuju Bukit Tunku.

Di sana, keluarga dan sahabat Tun Daim akan diberikan kesempatan untuk memberikan penghormatan terakhir sebelum dishalatkan dan dikebumikan setelah shalat asar.

Setelah selesai berdiskusi dengan staf Tun Mahathir, saya pun mohon diri untuk pulang dan langsung menuju ke rumah Tun Daim yang berada di kawasan Bukit Tunku. 

Sepanjang perjalanan, semua kenangan dan pertemuan dengan Tun Daim satu per satu datang silih berganti. Di antara kenangan yang bermain-main dalam ingatan adalah pertemuan saya dengan Tun Daim bersama Tan Sri Sanusi Junid suatu ketika dahulu, bersama Tan Sri Mohd. Daud Bakar, bersama Akhramsyah Muammar Ubaidah, bersama rombongan Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia, Zainal Arifin, dan beberapa pertemuan lainnya baik di rumahnya di Taman Melawati, di Bukit Tunku, ataupun di Menara Ilham.

Suatu ketika Tun Daim bercerita ia sedang menyelesaikan memoir yang ditulisnya sendiri. Memoir itu sudah mencapai ribuan halaman dan perlu dieditnya lagi sebelum dipublikasikan nanti. 

Ketika saya bertanya apakah dalam memoir itu ada kisah-kisah di balik layar hubungannya dengan Indonesia, beliau menganggukan kepala sambil menyebutkan beberapa kisah yang menunjukkan rapatnya hubungan beliau dengan Indonesia dan tentu saja dengan petinggi-petinggi negara kita.

Salah satu kisah yang diceritakan kepada saya adalah pertemuannya dengan Pak Yusril ketika sedang terjadi krisis moneter.

Pak Yusril, kata Tun Daim berjumpa dengannya karena diutus oleh Pak Harto dan Pak Mar’ie Muhammad, Menteri Keuangan Indonesia kala itu. Pak Yusril diminta untuk mendengar pandangan Malaysia tentang pinjaman dari IMF. 

Tun Daim menyebutkan ketika itu ia menyarankan supaya Indonesia menolak pinjaman dari IMF karena hal itu akan membawa dampak negatif terhadap mayoritas rakyat Indonesia.

Tun meminta Pak Yusril untuk menyampaikan kepada Pak Harto pendekatan yang diambil oleh Malaysia dalam menangani krisis moneter tersebut.

Selamat Jalan Tun Daim: Biar Jasa Jadi Kenangan

Ketika selesai bercerita Tun Daim meminta saya untuk menanyakan hal ini secara langsung kepada Pak Yusril. Secara spontan saya bertanya, bagaimana caranya Tun? Apakah Tun mau menghubungkan saya dengan Pak Yusril untuk dapat menanyakan hal ini?

Sambil tersenyum Tun menjawab, tunggu sampai buku kompilasi saya siap. Tun lalu mengatakan ketika buku kompilasi wakaf dalam bahasa Inggris siap, saya bisa datang berjumpa dengan Pak Yusril dan menghadiahkan buku yang kata pengantarnya ditulis oleh Tun Daim itu. 

Tun Daim melanjutkan, tentu setelah lihat kata pengantar itu, Pak Yusril akan bersedia untuk bercerita kisah pertemuannya di tengah-tengah krisis moneter melanda Asia Tenggara itu.

Kebetulan, dalam salah satu podcast di Indonesia pada 19 Januari 2023, Pak Yusril sendiri bercerita kisah perjumpaannya dengan Tun Daim di Kuala Lumpur karena diminta oleh Pak Harto untuk mendengar pandangan Malaysia.

Pak Yusril yang dimaksudkan oleh Tun Daim tak lain dan tak bukan adalah Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra yang kini kembali menjadi salah seorang menteri di Indonesia.

Tun Daim juga menyebut nama satu tokoh berpengaruh lainnya untuk saya temui dan hadiahkan buku itu kelak sekaligus menyampaikan salam kepada tokoh yang sering menjemput Tun Daim jika beliau ke Jakarta dulu. 

Ketika saya bertanya kenapa Tun Daim spesifik meminta saya berjumpa dan menyerahkan buku kepada kedua tokoh itu, Tun Daim tersenyum dan menjawab mungkin mereka bisa tolong Aceh ke depan.

Mengingat kini Tun Daim telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, saya berjanji untuk segera merampungkan buku Contemporary Waqf Issues in Indonesia, bagi membolehkan saya menyerahkan buku tersebut kepada dua tokoh yang disebutkan oleh Tun Daim itu. 

Sementara itu, saya juga berharap agar keluarga Tun Daim berkenan untuk menerbitkan memoir yang ditulis sendiri oleh Tun Daim, karena saya yakin banyak sekali hal-hal inspiratif yang dapat kita teladani.

Tun Daim sendiri selama ini banyak membantu Aceh melalui kerja-kerja filantropi yang dilakukannya melalui Yayasan Zainuddin dan Yayasan Pok Rafeah.

Hal ini ternyata tidak diketahui oleh banyak orang kecuali orang-oramg yang rapat dengannya atau pernah ke Aceh ketika Tun Daim melawat lokasi lembaga pendidikan yang dibantunya itu.

Ketika diwawancarai oleh salah satu stasiun TV swasta, pasca meninggalnya Tun Daim, salah seorang tokoh wartawan di Malaysia, Datuk A. Kadir Jasin, menyebutkan bahwa Tun Daim banyak membantu Aceh termasuk mendanai pembangunan pondok pesantren modern dan membiayai biaya pendidikan anak-anak yang melanjutkan pendidikan di pondok pesantren tersebut.

Sesaat setelah shalat jenazah untuk Tun Daim selesai di Masjid Wilayah, Kuala Lumpur, ketika bersalaman dengan Datuk A. Kadir Jasin, ia langsung bertanya kepada saya, apakah saya kenal dengan pimpinan pondok pesantren yang dibantu itu? Ketika saya menjawab kenal, Datuk A. Kadir Jasin kelihatan sangat gembira. Ia lalu mengusulkan agar saya bertemu dengannya dan beberapa kawan rapat Tun Daim lain, dalam waktu terdekat ini.

Kenangan lain yang tidak akan saya lupakan tentang Tun Daim adalah dia selalu memberikan waktu bila saya mengabarkan ada orang dari Aceh yang ingin menjumpainya. Salah satu di antara orang Aceh yang beruntung itu adalah Zainal Arifin, Pemimpin Redaksi Serambi Indonesia.

Tun Daim bahkan berkenan melakukan wawancara eksklusif dengan Harian Serambi Indonesia, walaupun sebenarnya ketika itu beliau tidak berapa sehat. Tun Daim ketika itu dengan penuh semangat menjawab setiap pertanyaan secara panjang lebar.

Kenangan lain yang juga bermain di benak saya ketika dalam perjalanan menuju ke rumah Tun Daim di Bukit Tunku adalah nasehatnya untuk saya merubah cara pandang dalam melihat sesuatu masalah.

Tun Daim menyampaikan bahwa ia merasakan ada nada kecewa ketika saya bercerita bahwa sektor wakaf belum dimajukan dan dikembangkan dengan semestinya.

Beliau lalu menasehati saya dengan mengatakan bahwa saya seharusnya tidak perlu kecewa dengan kondisi ini. Kenapa begitu? Kalau wakaf sudah maju seperti yang idealnya, maka saya sudah tidak punya ruang lagi untuk berkontribusi bahkan untuk sekedar menulis diskursus wakaf.

Tun Daim kemudian menasehatkan saya untuk merubah mindset saya menjadi mindset seorang usahahawan atau pebisnis. Beliau mengatakan, bagi seorang pebisnis, setiap masalah itu merupakan peluang. Jadi saya harus melihat segala masalah dalam dunia perwakafan itu sebagai peluang untuk saya bisa berkontribusi secara aktif. 

Setelah mendengarkan nasehat ini, setiap kali saya mendengar pemaparan banyaknya masalah yang dihadapi oleh sektor wakaf kita, saya tersenyum sambil berbisik kepada diri sendiri, inilah peluang untuk saya berbuat seperti yang dinasehatkan oleh Tun Daim.

Imbasan kenangan berbagai interaksi dengan Tun Daim ini masih terus datang satu per satu sehinggalah saya sampai di kawasan Bukit Tunku.

Rumah Tun Daim sudah dipenuhi oleh keluarga, sahabat, kolega, dan tentu saja pihak media yang meliput langsung setiap pergerakan yang terjadi. 

Ketika berjalan memasuki rumah duka itu, saya melihat banyak sekali tamu-tamu VVIP yang sudah datang. Puan Kelly Kam, yang melihat saya datang terus saja membawa saya untuk berjumpa dengan isteri almarhum Tun Daim yang bernama, Toh Puan Naimah Abdul Khalid. 

Kebetulan sebelum ini, saya juga pernah bertemu dengan Toh Puan Naimah ketika bertamu ke rumah itu, untuk bertemu Tun Daim. Saya langsung saja mengucapkan ucapan duka cita atas meninggalnya Tun Daim. Selanjutnya saya mengucapkan takziah mewakili rekan-rekan dan masyarakat Aceh baik yang mengenali Tun Daim secara langsung atau tidak.

Karena banyaknya tamu yang ingin berbicara langsung dengan Toh Puan Naimah, saya pun segera menyerahkan buku Isu-Isu Kontemporer Wakaf Indonesia yang semestinya saya serahkan kepada Tun Daim.

Sebelum itu, saya sempat bercerita bahwa Tun Daim telah merampungkan kata pengantar untuk buku dalam bahasa Inggris. Saya berjanji akan menyerahkan buku itu kepada Toh Puan Naimah kelak setelah buku itu diterbitkan, mungkin dalam waktu yang tidak lama lagi.

Meninggalnya Tun Daim ini merupakan kehilangan besar bagi saya pribadi. Ini adalah untuk kesekian kalinya saya kehilangan mentor yang selama ini selalu memberikan dukungan khususnya ketika berada di Kuala Lumpur. 

Pada akhir tahun lalu, saya juga kehilangan seorang mentor yang memiliki jasa besar terutama sekali dalam perjalanan saya dalam dunia wakaf. Mentor itu adalah almarhum Prof. Dr. Syed Khalid Rashid yang meninggal dunia pada 15 Desember 2023.

Jauh ke belakang, pada 9 Maret 2018, saya telah kehilangan mentor yang sangat besar jasanya bagi saya dan keluarga. Beliau adalah almarhum Tan Sri Sanusi Junid. 

Saya berharap agar Allah memberikan kesempatan agar saya dapat memberikan kontribusi dalam sektor wakaf dan meninggalkan legasi seperti yang telah ditunjukkan oleh masing-masing mentor itu sesuai dengan bidang pekerjaan mereka masing-masing.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan mengucapkan selamat jalan untuk Tun Daim, biar jasa yang menjadi kenangan abadi bagi semua pihak yang mengenalinya.

 

 

 

Berita Terkini