Oleh: Frida Pigny SIP MCom
PERNAAHKAH kita melihat seorang anak kecil menangis tersedu-sedu karena dimarahi orang tuanya? Atau mungkin kita pernah menyaksikan seorang anak yang begitu takut untuk mengungkapkan pendapatnya?
Di balik air mata dan ketakutan itu, tersimpan luka yang mungkin akan terus membekas sepanjang hidupnya.
Bahkan, demi diterima secara sosial, seorang anak bisa terdorong untuk 'membeli' pertemanan dengan berbagi uang jajan secara berlebihan.
Ia rela mengorbankan mainan yang sangat diinginkan untuk dijadikan upeti di sekolah, bahkan sampai berani mengambil uang orang tuanya tanpa izin untuk mentraktir teman-teman.
Ini bukan bentuk empati, melainkan tekanan teman sebaya yang merusak rasa percaya diri, tanggung jawab pribadi, dan pendidikan keuangan pada anak.
Mereka akhirnya belajar bahwa kebutuhan dan keinginan mereka sendiri tidak sepenting tuntutan orang lain.
Baca juga: Sebut Kondisinya tak Ideal untuk Punya Anak, Ariel Tatum Ungkap Keinginannya untuk Childfree
Jika di usia belia mereka sudah terbiasa dengan sikap ini, bagaimana dengan masa depan kepemimpinan mereka?
Tekanan ini perlahan mengikis kepemimpinan otentik dalam diri anak. Fenomena ini bukan sekadar teori. Saya menyaksikan langsung ketika mengelola bisnis kuliner Mister Geleng di Banda Aceh.
Gen Z yang bekerja bersama saya sering terlibat pinjam-meminjam uang dengan pihak keluarga dan teman daripada menabung demi masa depan mereka sendiri.
Efek ‘Labeling’ Orang Tua terhadap Anak
Saya masih ingat saat putri saya, Axelle, yang saat itu berusia sekitar empat atau lima tahun, melihat seorang anak yang lebih tua darinya diperkenalkan ibunya dengan sikap malu-malu, bersembunyi di balik rok sang ibu. Axelle mendekatinya, memperkenalkan diri, dan mengajaknya bermain.
Di rumah, Axelle bertanya, "Kenapa Mama-nya anak itu kenalin anaknya sebagai pemalu tadi, Ma? Bukannya itu bikin anaknya jadi nggak percaya diri?"
Pertanyaan polos ini menohok saya. Banyak orang tua di sekitar saya, tanpa sadar, memberi label seperti itu pada anaknya dalam situasi sosial.
Niatnya mungkin untuk menjelaskan perilaku anak, tapi efeknya? Label ini bisa menjadi identitas yang membatasi potensi mereka. Anak yang terus-menerus disebut "pemalu" akhirnya benar-benar merasa dirinya seperti itu dan takut untuk berkembang.