Profil Riva Siahaan, Dirut Pertamina Patra Niaga yang Jadi Tersangka 'Sulap' Pertalite Jadi Pertamax

Penulis: Yeni Hardika
Editor: Agus Ramadhan
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

TERSANGKA KORUPSI - Riva Siahaan diangkat sebagai Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Jumat (16/6/2023). Berikut profil dari Riva Siahaan yang ditetapkan oleh Kejagung sebagai tersangka korupsi minyak mentah yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp193,7 triliun.

SERAMBINEWS.COM - Direktur utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang periode 2018-2023.

Riva ditetapkan sebagai tersangka setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) melakukan pemeriksaan terhadap sedikitnya 96 saksi, serta keterangan dari 2 saksi ahli dan bukti dokumen sah yang sudah disita.

Selain Riva, Kejagung juga menetapkan enam orang tersangka lainnya dari pihak Pertamina dan broker dalam kasus ini.

"Setelah memeriksa saksi, ahli, serta bukti dokumen yang sah, tim penyidik menetapkan tujuh orang sebagai tersangka," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Abdul Qohar, dikutip dari Kompas.com, Selasa (25/2/2025). 

Adapun pihak dari Pertamina yang ditetapkan menjadi tersangka adalah SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku PT Pertamina International Shipping, dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Sementara pihak broker yang dijadikan tersangka masing-masing berinisial MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim, dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Baca juga: Sosok Riva Siahaan, Dirut Pertamina Patra Niaga Tersangka Korupsi Minyak Mentah Rugikan Rp 193,7 T

Riva dan 6 tersangka lainnya diduga membeli Pertalite untuk “diblending” menjadi Pertamax.

Hasil blending tersebut kemudian dijual dengan harga Pertamax. 

Tindakan para tersangka ini menyebabkan negara mengalami kerugian hingga Rp 193,7 miliar. 

Kerugian ini berasal dari berbagai komponen, yaitu kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri, kerugian impor minyak mentah melalui broker, kerugian impor bahan bakar minyak (BBM) melalui broker dan kerugian dari pemberian kompensasi serta subsidi.

Lalu, siapakah sosok Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan yang ditetapkan sebagai tersangka?

Profil Riva Siahaan

Menurut informasi yang tertulis di laman resmi Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan Pertamina merupakan lulusan S-1 Manajemen Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta.

Ia juga pernah menempuh studi magister atau S-2 di jurusan Business Administration di Oklahoma City University, Amerika Serikat.

Merujuk akun LinkedIn pribadinya, Riva mengawali kariernya sebagai account manager di Matari Advertising pada Maret 2005-Maret 2007.

Setelah itu, ia bekerja sebagai assistant account Director TBWA Indonesia pada Maret 2007-September 2008.

Riva memutuskan pindah ke PT Pertamina (Persero) sebagai key account officer pada September 2008-Maret 2010.

Baca juga: Kasus Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Patra Niaga Pertamina Batasi Komentar Warganet di Instagram

Perjalanan kariernya di perusahaan pelat merah tersebut berlanjut sebagai Senior Bunker Officer I di Jakarta pada April 2010-Desember 2013.

Kemudian, ia ditempatkan sebagai Senior Bunker Officer I di Jakarta dan Singapura pada Desember 2013-Januari 2015.

Mulai Februari 2015, Riva menempati posisi baru sebagai bunker trader di Pertamina Energy Service.

Posisi tersebut ia jalani selama satu tahun hingga Februari 2016 sebelum dipindah menjadi Senior Officer Industrial Key Account di PT Pertamina (Persero).

Pada Maret 2018-April 2019, Riva ditugaskan sebagai Pricing Analyst, Market, and Product Development Retail Fuel Marketing.

Jabatannya naik menjadi VP Crude and Gas Operation di Pertamina International Shipping pada April 2019-Desember 2020.

Di perusahaan yang sana, Riva juga ditugaskan sebagai VP Sales and Marketing pada Desember 2020-Mei 2021 dan Commercial Director pada Mei -Oktober 2021.

Riva lalu dipromosikan menjadi Corporate Marketing and Trading Director di PT Pertamina Patra Niaga pada Oktober 2021-Juni 2023.

Jabatan tertinggi dan terakhir yang ia duduki di perusahaan tersebut sebelum ditetapkan menjadi tersangka adalah Chief Executive Officer atau Dirut.

Baca juga: Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina Rugikan Negara Rp 193,7 Triliun, 7 Tersangka Ditahan

Awal mula kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah

Dilansir dari Kompas.com, Selasa (25/2/2025), Abdul Qohar mengungkapkan, kasus dugaan korupsi yang menjerat Dirut Pertamina Patra Niaga ini bermula ketika pemerintah membuat kebijakan terkait pemenuhan minyak mentah dalam negeri wajib mengutamakan pasokan minyak bumi dari dalam negeri.

Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 42 Tahun 2018.

Aturan tersebut membuat pemenuhan kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipasok dari dalam negeri.

Begitu juga dengan kontraktor yang harus berasal dari Tanah Air.

Dengan demikian, PT Pertamina (Persero) diwajibkan mencari pasokan minyak Bumi yang berasal dari kontraktor dalam negeri sebelum merencanakan impor minyak Bumi.

Namun, hasil penyidikan Kejagung mengungkapkan, RS, SDS, dan AP mengondisikan rapat optimalisasi hilir.

Rapat itu menjadi dasar untuk menurunkan produksi kilang, sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap seluruhnya.

Dengan begitu, pemenuhan minyak mentah dan kebutuhan kilang dilakukan melalui impor yang melawan hukum.

Saat produksi minyak mentah turun, dibuat skenario untuk sengaja menolak Kontraktor Kontrak Kerja Sama (K3S).

Dengan skenario itu, produksi minyak mentah K3S dianggap tidak memenuhi nilai ekonomis.

Padahal, harga yang ditawarkan masih tergolong rentang harga normal.

Selain itu, produksinya juga ditolak dengan alasan tidak sesuai spesifikasi yang diinginkan. Alhasil, minyak mentah produksi K3S diekspor ke luar negeri.

Sementara, kebutuhan minyak mentah dalam negeri dipenuhi melalui impor.

Abdul Qohar menuturkan, ada perbedaan harga yang sangat tinggi antara minyak mentah impor dan produksi dalam negeri.

“Harga pembelian impor tersebut apabila dibandingkan dengan harga produksi minyak bumi dalam negeri terdapat perbandingan komponen harga yang sangat tinggi atau berbeda harga yang sangat signifikan,” ujar Qohar.

Selanjutnya, dalam kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya perbuatan jahat antara penyelenggara negara, yakni subholding Pertamina, dengan broker.

Baca juga: Pertamina Oplos Pertalite Jadi Pertamax, Erick Thohir - Bos Pertamina Bakal Dipanggil Menghadap DPR

Para tersangka diduga mengincar keuntungan lewat tindakan pelanggaran hukum ini.

“Tersangka RS, SDS dan AP memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum,” ucapnya.

Selain itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP agar bisa memperoleh harga tinggi pada saat syarat belum terpenuhi.

Tak hanya itu, mereka juga mendapatkan persetujuan dari tersangka SDS untuk impor minyak mentah serta dari tersangka RS untuk produk kilang.

Dirut Pertamina Patra Niaga "sulap" BBM RON 90 jadi 92

Dirut Pertamina Patra Niaga alias RS kemudian "menyulap" BBM Pertalite menjadi Pertamax.

Adapun RS melakukan pembayaran produk kilang untuk Pertamax (RON 92), padahal yang dibeli adalah Pertalite (RON 90) atau lebih rendah.

Pertalite tersebut kemudian dicampur di Depo untuk menjadi RON 92.

Kejagung menegaskan bahwa praktek ini tidak diperbolehkan.

Pada saat impor minyak mentah dan produk kilang, ditemukan adanya mark up kontrak pengiriman yang dilakukan tersangka YF melalui PT Pertamina International Shipping.

 Akibatnya kecurangan tersebut, negara harus membayar fee sebesar 13-15 persen yang menguntungkan tersangka MKAN.

Selain itu, akibat kecurangan tersebut, komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan harga indeks pasar (HIP) BBM untuk dijual kepada masyarakat menjadi lebih tinggi.

Kemudian, HIP tersebut dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun melalui APBN.

Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp 193,7 triliun. 

Namun, jumlah ini adalah nilai perkiraan sementara dari penyidik. Kejagung menyebut, nilai kerugian yang pasti sedang dalam proses penghitungan bersama para ahli.

Baca juga: Pertamina Tipu Rakyat, Kejaksaan Agung: Patra Niaga Beli Pertalite Dioplos Jadi Pertamax Lalu Dijual

Respons Pertamina

Sementara itu, VP Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso mengatakan, Pertamina akan menghormati proses hukum yang berjalan.

"Pertamina siap bekerja sama dengan aparat berwenang dan berharap proses hukum dapat berjalan lancar dengan tetap mengedepankan asas hukum praduga tak bersalah," ujarnya, saat dikonfirmasi, Selasa (25/2/2025), dikutip dari Kompas.com.

Fadjar menyampaikan, Pertamina Grup telah menjalankan bisnis dengan berpegang pada komitmen sebagai perusahaan yang menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG) serta peraturan berlaku.

Berbekal hal tersebut, Pertamina menjamin pelayanan distribusi energi kepada masyarakat tetap menjadi prioritas utama dan tetap berjalan normal seperti biasa.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Berita Terkini