Sebagian daging juga dibagikan kepada fakir miskin dan anak yatim sebagai bentuk solidaritas sosial.
Pada hari meugang, daging sapi dan kerbau menjadi pilihan utama dibandingkan dengan ikan dan ayam. Untuk wilayah Barat Selatan Aceh, masyarakat di sana lebih memilih daging kerbau. Sedangkan di wilayah Aceh lain lebih memilih untuk mengonsumsi daging sapi.
Esensi meugang
Meugang telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya Aceh. Bagi masyarakat Aceh, menyambut Ramadhan tanpa daging dianggap kurang sempurna. Oleh karena itu, setiap kepala keluarga akan berusaha untuk menyediakan setidaknya satu kilogram daging bagi keluarganya. Jika tidak, perayaan meugang untuk menyambut Ramadhan di tahun tersebut akan terasa tidak bermakna.
Perayaan meugang juga dimeriahkan dengan pembuatan makanan leumang dan berbagai kue tradisional seperti keutupèk, leupèk, bada, dan tapèe.
Momen ini menjadi ajang berkumpul keluarga, sehingga anak-anak yang merantau diharapkan pulang agar bisa menikmati beragam jenis makanan ini. Jika tidak bisa pulang, mereka sering merasakan kesedihan, bahkan ada satu ungkapan yang cukup familiar, "Uroe get, buleun get, timphan mak peuget han meuteme rasa". Ini menggambarkan perasaan rindu terhadap kampung halamannya.
Selain itu, meugang menjadi simbol kebanggaan bagi kepala keluarga. Jika seorang ayah tidak mampu membeli daging, ia merasa kehilangan harga diri.
Bagi pria yang baru menikah, meugang bisa menjadi ujian gengsi. Bukan lelaki Aceh namanya bila tidak mampu untuk membeli daging pada hari Meugang. Bahkan ada yang perbandingan semakin banyak daging yang mampu dibawa pulang, maka semakin tinggilah harga diri seorang pria di mata masyarakat.
Lebih dari itu, jika ia tidak membawa daging untuk keluarga istrinya, ia bisa saja dicap sebagai 'bawok lari panggang.' artinya, orang yang menghindari kewajiban dan takut akan menderita kerugian finansial.
Sehari sebelum Ramadhan, masyarakat Aceh juga menjalankan tradisi pajoh-pajoh atau jak meuramien, yakni kegiatan berpiknik ke pantai, sungai, atau danau sambil menikmati hidangan meugang. Bentuknya kurang lebih hampir sama seperti berwisata pada hari Rabu terakhir di bulan safar, atau masyarakat Aceh menyebutnya sebagai uro Rabu habeh. Tradisi pajoh-pajoh ini dianggap sebagai bentuk kebahagiaan dalam menyambut Ramadhan, sesuai dengan Hadis Nabi yang menyatakan bahwa orang yang bergembira menyambut Ramadhan akan diselamatkan dari panasnya neraka.
Bahkan, ada yang berpandangan pajoh-pajoh ini adalah hari dimana untuk memuaskan dirinya sendiri dengan segala sesuatu tetapi tetap dalam batas yang dibolehkan dan tidak berbenturan dengan ajaran Islam serta dengan tradisi adat. Namun, tradisi ini tidak selalu disetujui oleh para tetua adat. Sebagian orang tua berpendapat bahwa lebih baik memanfaatkan waktu sebelum Ramadhan untuk memperdalam ilmu agama dan saling bermaafan.
Penutup
Meugang bukan sekadar tradisi makan daging atau leumang saja, tetapi juga mencerminkan nilai sosial, budaya, dan keagamaan masyarakat Aceh. Lebih dari itu, kehadiran meugang dapat mempererat hubungan kekeluargaan. Tradisi ini juga mengajarkan kita akan indahnya nilai berbagi, di mana orang yang mampu sering memberikan daging kepada tetangga yang kurang mampu, anak yatim, dan fakir miskin. Sehingga akan menumbuhkan solidaritas di tengah masyarakat.
Meugang di Aceh secara langsung juga berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan meningkatnya permintaan daging, maka para peternak, pedagang, penjual sayur, hingga penjual bumbu dapur akan memperoleh keuntungan ekonomi yang lebih besar selama periode meugang itu.
Dengan semangat kebersamaan ini, tradisi meugang tetap menjadi sebuah warisan budaya berharga yang terus dijaga dari generasi ke generasi. Ia akan mewarnai kehidupan masyarakat Aceh serta menjadi wujud nyata dari perpaduan Islam dan kebudayaan lokal yang harmonis di Aceh