Perang Gaza

Negara-negara Eropa Sebut Hamas tidak Boleh Memiliki Peran di Pascaperang Gaza

Editor: Ansari Hasyim
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PEJUANG HAMAS BERBARIS - Tangkap layar Khaberni yang menunjukkan petempur Brigade Al-Qassam, sayap militer Hamas, berbaris di lokasi pembebasan 3 sandera Israel, di Khan Yunis, Sabtu (15/2/2025). Israel menunda pembebasan ratusan tahanan Palestina yang telah direncanakan untuk dibebaskan.

SERAMBINEWS.COM - Diplomat Prancis Jay Dharmadhikari, yang berbicara atas nama Prancis, Inggris, Denmark, Yunani, dan Slovenia, mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan tertutup bahwa rencana akhir untuk Gaza seharusnya tidak mengizinkan Hamas untuk terus memerintah Jalur tersebut atau menggusur warga Palestina yang tinggal di sana.

“Kami tegaskan bahwa rencana apa pun tidak boleh melibatkan Hamas, harus menjamin keamanan Israel, dan tidak boleh mengusir warga Palestina dari Gaza,” katanya dalam pertemuan Dewan Keamanan PBB mengenai Gaza pascaperang seperti dilansir jaringan berita Al Jazeera, Rabu.

Ia juga mendukung persatuan Tepi Barat dan Gaza di bawah mandat Otoritas Palestina, merujuk pada badan yang sebagian mengendalikan Tepi Barat yang diduduki Israel, dan dijalankan oleh pesaing Hamas, Fatah.

Baca juga: Trump Ngoceh di Medsos Ancam Warga Gaza: Kalau Kalian Tangkap Tawanan, Kalian Mati

Dharmadhikari mencatat bahwa negara-negara Liga Arab yang bertemu di Kairo pada hari Selasa menyerukan untuk menyatukan Palestina di bawah Organisasi Pembebasan Palestina, yang tidak termasuk Hamas.

Negara-negara Eropa siap mendukung dan mengembangkan lebih lanjut rencana tersebut, katanya.

Terlibat Pembicaraan Rahasia, AS Bujuk Hamas Bebaskan Tawanannya di Gaza

Pemerintahan Trump telah melakukan diskusi rahasia dengan Hamas untuk mengamankan pembebasan tawanan Amerika yang ditahan di wilayah tersebut, Reuters melaporkan pada hari Rabu.

Sebuah sumber yang mengetahui pembicaraan tersebut mengonfirmasi kepada Reuters bahwa Utusan Khusus AS untuk Urusan Penyanderaan Adam Boehler telah memimpin negosiasi ini di Doha, Qatar, dalam beberapa minggu terakhir.

Diskusi tersebut dilaporkan berpusat pada pembebasan tawanan AS tetapi juga mencakup pembicaraan yang lebih luas tentang pembebasan semua tawanan yang tersisa dan pembentukan gencatan senjata yang langgeng.

Kedutaan Besar Israel di Washington belum mengomentari masalah tersebut, dan kantor Boehler serta Gedung Putih menolak memberikan rincian lebih lanjut.

Dalam perkembangan terkait, utusan Timur Tengah Presiden AS Donald Trump, Steve Witkoff, akan segera kembali ke wilayah tersebut untuk bekerja guna memperpanjang gencatan senjata Gaza saat ini atau memajukan ke fase perjanjian berikutnya, menurut juru bicara Departemen Luar Negeri. 

Witkoff baru-baru ini mengusulkan perpanjangan gencatan senjata selama 1,5 bulan, yang mencakup Ramadan dan Paskah, dengan imbalan pembebasan tawanan Israel secara bertahap.

Berdasarkan kerangka kerja yang diusulkan, setengah dari sandera—baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal—akan dibebaskan pada hari pertama, dengan negosiasi untuk gencatan senjata permanen yang menentukan pembebasan tawanan yang tersisa.

Hamas menolak persyaratan tersebut, dengan alasan kekhawatiran atas jaminan jangka panjang, yang menyebabkan "Israel" menangguhkan pengiriman bantuan ke Gaza.

Blokade bantuan telah memicu kecaman luas dari organisasi internasional dan kelompok hak asasi manusia.

Kepala kemanusiaan PBB Tom Fletcher mengkritik tindakan Israel, dengan alasan bahwa pembatasan bantuan melanggar hukum internasional.

Beberapa lembaga bantuan dan pemerintah juga menuduh Israel menjadikan bantuan kemanusiaan sebagai senjata dengan menggunakan kelaparan sebagai alat perang melawan Palestina.(*)

Berita Terkini