Ini bertentangan dengan semangat anti-penyiksaan internasional. Kami juga menyoroti Pasal 16 ayat 1 yang memungkinkan penyidik langsung bertindak ke korban atau tersangka. Alqadri Naufal Akbar, Juru Bicara Aksi
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH - Puluhan mahasiswa dari Gerakan Rakyat Menggugat (GRAM) menggelar aksi protes di halaman Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) pada Senin (21/4/2025). Aksi yang berlangsung sejak pukul 15.00 WIB ini diwarnai pembakaran ban bekas dan lemparan petasan sebagai bentuk kekecewaan massa terhadap Ketua DPRA, Zulfadli alias Abang Samalanga, yang tak kunjung menemui mereka hingga pukul 17.30 WIB.
Dengan membakar empat ban bekas di halaman gedung legislatif, massa berulang kali mendesak aparat keamanan untuk menghadirkan Ketua DPRA guna mendengar aspirasi mereka. Namun, upaya tersebut tidak membuahkan hasil. Kekecewaan memuncak hingga memicu aksi dorong-mendorong antara mahasiswa dan petugas keamanan saat massa berupaya memasuki Ruang Paripurna.
Suasana semakin memanas ketika seorang mahasiswa mengaku ditendang oleh petugas, memicu kemarahan rekan-rekannya. Beruntung, koordinator aksi segera meredakan situasi dan mengarahkan massa untuk mundur. Presiden Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Tengku Raja Aulia Habibie, mengecam sikap DPRA yang dinilainya memicu ketegangan antara mahasiswa dan aparat. “Kami hanya ingin Ketua DPRA hadir dan mendengar kami,” tegasnya.
Tuntut penghapusan pasal bermasalah
Juru Bicara Aksi, Alqadri Naufal Akbar, memaparkan tiga poin utama tuntutan mereka. Pertama, penolakan terhadap pasal bermasalah dalam RUU Polri, khususnya Pasal 16A dan 16B yang memberikan wewenang polisi untuk mengawasi dan menyelidiki siapa saja, termasuk mereka yang sedang dalam proses hukum. Kedua, penolakan terhadap Pasal 14 dan 16 yang mengatur penyadapan siber serta tugas Polri di ruang siber, yang dinilai rawan penyalahgunaan.
Selain itu, GRAM juga mengawal RUU KUHAP, terutama Pasal 69 ayat 1 yang memungkinkan sanksi mahkota bagi tersangka dengan hukuman ringan, serta Pasal 94 yang memperpanjang masa tahanan dari 20 menjadi 40 hari. “Ini bertentangan dengan semangat anti-penyiksaan internasional. Kami juga menyoroti Pasal 16 ayat 1 yang memungkinkan penyidik langsung bertindak ke korban atau tersangka,” ungkap Alqadri.
Aksi berakhir tanpa respons
Meski penuh semangat, aksi ini berakhir tanpa respons dari Ketua DPRA. Massa akhirnya membubarkan diri dengan kekecewaan, namun berjanji akan terus menyuarakan reformasi keamanan dan penegakan hukum yang lebih adil. Aksi ini menjadi sorotan publik sebagai bentuk perlawanan masyarakat terhadap regulasi yang dianggap mengancam kebebasan sipil.(iw)
Poin-Poin Tuntutan Massa
- Menentang wewenang polisi untuk mengawasi dan menyelidiki siapa saja, termasuk mereka yang sedang dalam proses hukum, karena dianggap membahayakan kebebasan sipil (Pasal 16A dan 16B).
- Menolak ketentuan tentang penyadapan siber serta tugas Polri dalam pengawasan dan penindakan di ruang siber, yang dinilai rawan disalahgunakan (Pasal 14 dan 16)
- Menentang sanksi mahkota bagi tersangka dengan hukuman ringan, karena berpotensi disalahgunakan (Pasal 69 ayat 1).
- Menolak perpanjangan masa tahanan dari 20 menjadi 40 hari, yang dianggap bertentangan dengan semangat anti-penyiksaan internasional (Pasal 94).
- Mengkritik ketentuan yang memungkinkan penyidik bertindak langsung terhadap korban atau tersangka, serta beberapa pasal lain yang dianggap bermasalah (Pasal 16 ayat 1).