ULFA FAJRINA, S.IP., Pustakawan Ahli Muda pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, melaporkan dari Banda Aceh
Mubalig kondang Banda Aceh pada masanya, Drs Tgk H Tarmizi Dahmy, lahir di Meukek, Aceh Selatan, 9 Februari 1947. Ia memulai pendidikan agamanya setamat dari SD di kampung halamannya, lalu hijrah ke sebuah dayah di Blangpidie selama lima tahun.
Kemudian, beliau lanjutkan menimba ilmu pada dayah di Gampong Sangkalan, Kecamatan Susoh—dulu masih bagian Aceh Selatan, sekarang masuk wilayah Aceh Barat Daya (Abdya)—selama tiga tahun. Setelah itu barulah beliau mengambil tarekat di Dayah Babussalam Labuhan Haji.
Banyak lika-liku dalam menuntut ilmu yang dihadapi oleh ayah lima anak ini. Sepak terjang di dunia dakwah telah lama dilaluinya sejak menempuh di dayah sampai menjadi mahasiswa di Fakultas Ushuluddin IAIN (sekarang UIN) Ar-Raniry, hingga akhirnya beliau dipercayakan menjadi dosen tetap di fakultas tersebut.
Saat masih aktif tahun 1995, beliau acap kali menerima undangan ceramah dari berbagai pelosok, baik di dalam maupun di luar Kota Banda Aceh. Misalnya, di PT Arun Lhokseumawe. Selain memenuhi undangan ceramah, beliau juga mengisi pengajian untuk para karyawan di perusahaan minyak dan gas terbesar di Aceh tersebut. Sebulan sekali pasti Ustaz Tarmizi bertandang ke kota gas itu.
Selain itu, Ustaz Tarmizi juga sering diundang ke PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) yang juga berada di Kota Lhokseumawe. Juga diundang ke Bireuen, Aceh Timur, tak terkecuali kampung halaman beliau sendiri, Aceh Selatan, bahkan sampai ke Pulau Simeulue.
Saat perjalanan dakwah ke Simeulue, beliau pernah dijemput naik helikopter karena jalur darat sedikit mencekam lantaran harus melewati ‘check point’ masa daerah operasi meliter (DOM). Maklum, Aceh saat itu masih dalam konflik bersenjata.
Masih teringat di ingatan saya saat beliau pulang, diantar menggunakan mobil jeep ambulans PMI. Tak terperi bagaimana paniknya perasaan keluarga saat ambulans berhenti di halaman rumah kami. Perasaan berkecamuk, kami berlari menuju mobil dan keluarlah sosok Ustaz Tarmizi dalam keaadan sehat wal afiat. Barulah kami seeisi rumah lega. Alhamdillah, kondisi beliau baik-baik saja.
Kepada kami diberi tahu alasan kenapa harus naik ambulans. Kata beliau, itu untuk menghindari razia dan halangan lain di jalan. Begitulah perjuangan seorang pendakwah yang rela mengorbankan keselamatannya demi menyerukan dakwah ke pelosok negeri.
Di hari lain, ketika beliau diundang ke PT Arun Lhokseumawe, saya yang merupakan anak kandung Ustaz Tarmizi juga dibawa ikut serta. Saat itu saya masih duduk di bangku kelas 1 MTsN. Kami menginap di Arun Guest House, salah satu penginapan mewah di bawah naungan PT Arun LNG.
Saat itu bulan Ramadhan, tepatnya tiga hari terakhir bulan Ramadhan. Ustaz mengisi ceramah pada beberapa masjid di Lhokseumawe, baik ceramah tarawih maupun subuh, hingga ditutup dengan menjadi khatib shalat Idulfitri di Lapangan Hiraq Lhoksemawe.
Selain ceramah dan pengajian di luar kota, Ustaz Tarmizi juga sering diundang di dalam kota, di antaranya pengajian di Kantor Bulog Aceh, Fakultas Pertanian USK, dan kantor-kantor lainnya, bahkan ke gampong- gampong, seperti Cot Keueng, Jeulingke, Lampriek, Limpok, Siem, juga di Tungkop, kampung ustaz sendiri sejak menjadi warga Banda Aceh.
Dalam seminggu ‘full’ jadwal beliau. Hari senin di Masjid Cot Keueung, Selasa di Masjid Tungkop, Rabu di Kantor Bulog, Kamis di masjid Kompleks Pertanian, Jumat sebagai khatib Jumat, malam Sabtu di Meunasah Lamduro, hari Minggu di Masjid Siem.
Malam Selasa dan Kamis pengajiannya dilaksanakan di rumah dengan perkumpulan mahasiswa Malaysia di Aceh. Ya, begitulah sedikit yang saya ingat padatnya jadwal beliau.
Selain pengajian dan ceramah, beliau juga kerap diundang sebagai khatib Jumat di masjid-masjid yang ada di Banda Aceh, termasuk Masjid Raya Baiturrahman. Bahkan, untuk jadwal ceramah pada bulan Ramadhan sudah dikirim ke beliau jauh-jauh hari, bahkan terkadang setahun sebelum Ramadhan.