“Jadi hasil sawah tetap untuk makan sehari-hari dulu, lalu anak-anak dan saya bayar zakat, kalau ada sisanya baru ditabung, kadang Rp 1 juta, kadang bisa Rp 2 juta,” ujar Munira kepada Serambinews.com.
Ia beruntung memiliki anak-anak yang mendukung dan memberi peran dalam mewujudkan impiannya.
Saat suaminya meninggal, ia hidup bersama 5 anaknya, 4 laki-laki, 1 perempuan.
Ia bercerita, uang yang disisihkan dari menjual gabah, diserahkan kepada anak keempatnya, yang saat itu sudah beranjak dewasa.
Lalu uang itu diserahkan kepada anak nomor dua yang tinggal di rumah terpisah dengannya.
Oleh anak ketiganya, uang tabungan Munira tak hanya disimpan.
Namun ia menginvestasikannya dengan membeli emas dan sapi.
Alhasil, tabungan Munira pun bertambah dengan cepat.
Pada 2012 lalu, ia merasa jika tabungannya sudah cukup.
Lalu oleh anak bungsunya, ia pun didaftarkan sebagai calon jamaah haji.
Saat mendaftar, Munira sempat diberitahu, kemungkinan dia akan berangkat ke Tanah Suci pada 2018.
Namun itu hanya perkiraan para petugas.
Karena pada 2018, terjadi renovasi Masjidil Haram yang membuat kuota jamaah dikurangi. Nama Munira pun tak masuk jamaah manifest 2018.
Lalu untuk haji selanjutnya, wabah Covid-19 menyerang seluruh dunia.
Lagi-lagi Munira belum mendapatkan panggilan.