Farhan Nurhadi SPd, Mahasiswa Program Magister Ilmu Agama Islam, Konsentrasi Figh Modern Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh
DARI 23 kabupaten/kota di Aceh, salah satu di antaranya Kota Banda Aceh. Kota tua ini berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dijadikan sebagai Ibu Kota Provinsi Aceh. Sebagai ibu kota, di samping tempat berdomisili warga juga banyak berdiri fasilitas pelayan umum, gedung-gedung pemerintah dan swasta dan tempat arus bolak-balik barang dan jasa.
Karena itu, diakui Kota Banda Aceh tergolong setiap hari banyak memproduksi sampah. Baik sampah organik maupun non organik. Bahkan, menurut data lebih dari 200 ton sampah setiap hari. Di balik tumpukan sampah itu, tersimpan persoalan serius: yaitu tentang rendahnya kepatuhan terhadap regulasi, lemahnya pengawasan, dan minimnya partisipasi masyarakat.
Qanun No. 01 Tahun 2017 tentang Pengelolaan Sampah, yang berbasis siyasah syar’iyah, sejatinya menjadi jawaban atas kompleksitas masalah saat ini. Namun, delapan tahun sejak diberlakukan, qanun ini belum bisa menghadirkan maslahat bagi masyarakat.
Padahal, dalam kerangka siyasah syar’iyah, kebijakan publik selalu diposisikan sebagai instrumen untuk mewujudkan kemaslahatan umat (maslahah ‘ammah). Aturan yang tak tercantum langsung dalam nash, namun bermanfaat dan selaras dengan nilai Islam, dapat diterima dalam siyasah syar’iyah sebagai jalan mencapai kemaslahatan umat.
Pengelolaan sampah bukan hanya persoalan teknis seperti mengangkut dan membuang sampah yang selama ini difokuskan pada Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Keindahan Kota (DLHK3) Banda Aceh, tetapi juga berkaitan dengan kesadaran dan tanggung jawab setiap orang terhadap lingkungan sekitarnya. Ini menyangkut aspek sosial karena dampaknya dirasakan bersama, serta moral yang mencerminkan kepedulian terhadap kebersihan dan ketertiban umum.
Aceh hari ini telah memiliki Qanun No. 01 Tahun 2017 tentang pengelolaan sampah, tetapi sayangnya semangat pelaksanaannya belum menyentuh akar persoalan. Bahkan fenomena membuang sampah dari kabin mobil ke jalan raya sudah menjadi pemandangan yang terus dinikmati tanpa perubahan di Banda Aceh.
Sebuah kondisi yang kontras jika dibandingkan dengan praktik yang pernah dijalankan para penguasa Islam di masa lalu. Sejarah mencatat, kerajaan-kerajaan Islam di masa kejayaannya bukan hanya unggul dalam ilmu dan militer, tetapi juga dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. Para sultan menjaga alam bukan sekadar tanggung jawab administratif semata, melainkan bentuk ibadah yang sejatinya melekat pada amanah kekuasaan.
Prinsip siyasah syar’iyah menjadi fondasi kebijakan, termasuk dalam urusan sampah, hutan, air, dan kelestarian tanah. Di masa Sultan Iskandar Muda (1607–1636 M), Kerajaan Aceh Darussalam dikenal bukan hanya karena kekuatan armada lautnya, tetapi juga karena ketertiban kota dan ketegasan hukum. Sampah yang dibuang sembarangan bukan hanya dianggap mengotori wilayah, tetapi juga sebagai bentuk maksiat sosial yang bisa mengundang murka Allah.
Dokumen sejarah dan hikayat menyebutkan bahwa pemerintahan Iskandar Muda menerapkan kebijakan berbasis nilai Islam dan adat. Pasar, pelabuhan, dan tempat tinggal rakyat diawasi ketat dari tindakan yang merusak lingkungan. Sanksi adat dan agama diterapkan bersamaan, dalam semangat menjaga maslahah ‘ammah dan kehormatan negeri.
Hal tersebut sejalan dengan Surat Al-A’raf Ayat 56 yang artinya: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan).” Ayat ini relevan dengan masalah lingkungan, termasuk pengelolaan sampah. Membuang sampah sembarangan dapat merusak alam, mencemari air, udara, dan tanah, serta membahayakan makhluk hidup.
Hal tersebut menjadi acuan untuk menoleh pada kehidupan masa kejayaan nenek moyang kita. Inilah bentuk nyata siyasah syar’iyah, yakni kebijakan publik yang berakar dari nilai-nilai Islam dan bertujuan menjaga kemaslahatan umum (maslahah ‘ammah).
Etos syariat
Kini, Aceh memiliki semua instrumen hukum yang dibutuhkan: qanun, aparat, hingga lembaga adat. Namun, yang belum hidup adalah ruh siyasah syar’iyah dalam pelaksanaan aturan. Qanun hanya akan menjadi teks mati jika tidak ditegakkan secara adil dan tidak dibumikan melalui dakwah yang menyentuh hati masyarakat.Pemerintah daerah perlu meniru semangat para sultan yang memberi dampak positif bagi masyarakat: tidak hanya membuat aturan, tetapi juga membangun kesadaran dan keteladanan. Ulama dan tokoh adat mesti dilibatkan dalam kampanye lingkungan, bukan sebagai pelengkap acara, melainkan sebagai penggerak moral.
Ketika umat Islam abai terhadap lingkungan, maka itu bukan sekadar kelalaian sosial, melainkan juga kegagalan spiritual. Kesadaran tidak akan tumbuh hanya dari teori dan teks yang dibangun melalui kebijakan, tetapi harus selaras dengan pelaksanaan yang memberi ruang dan pendidikan bagi masyarakat saat ini dan ke depan.
Kehidupan bersih yang berlandaskan syariat sejalan dengan sabda Nabi Muhammad saw yang artinya: “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” Ini bukan sekadar slogan, melainkan prinsip tata kelola. Hadis ini menunjukkan bahwa menjaga kebersihan merupakan bagian dari keimanan seorang Muslim. Jadi, kebersihan bukan hanya soal fisik, tetapi juga mencerminkan sikap hidup yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Menjaga kebersihan lingkungan dalam pengelolaan sampah merupakan bentuk nyata keimanan yang aktif. Perubahan perilaku masyarakat perlu diwujudkan melalui tindakan langsung, sehingga upaya menjaga lingkungan menjadi bagian dari pengamalan nilai-nilai syariat dan bentuk jihad untuk mewujudkan Aceh yang bersih.
Warisan ke aksi
Kita tidak kekurangan aturan. Yang kita kurang adalah keteladanan dan kesadaran yang belum tertanam pada jiwa dan cara pandang terhadap lingkungan. Qanun hannyalah instrumen, tapi ruhnya harus dibangkitkan melalui pendekatan Siyasah Syar’iyah yang hidup yang menyentuh akal dan hati masyarakat.
Sejarah telah memberi contoh: Sultan Iskandar Muda dan para pemimpin Islam di masa lalu tidak menunggu masyarakat sadar, tapi membangkitkan kesadaran itu dengan kebijakan yang tegas, dakwah yang menggerakkan, dan penegakan hukum yang adil.
Kini, tugas kita bukan sekadar tenggelam dengan mengenang kejayaan masa lalu, tetapi melanjutkannya dalam bentuk aksi nyata: membersihkan lingkungan, menegakkan aturan, dan menjadikan syariat sebagai jalan hidup yang menyelamatkan alam semesta.
Syariat bukan hanya mengatur hubungan dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama makhluk sosial dan lingkungan. Allah swt telah mengingatkan yang artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. Ar-Rum: 41).
Allah menyebutkan bahwa kerusakan ini tidak dibiarkan begitu saja. Sebagian dari akibat perbuatan itu dikembalikan kepada manusia, sebagai bentuk peringatan, agar mereka sadar dan kembali ke jalan yang benar. Jalan itu adalah jalan kesadaran, tanggung jawab, dan penghambaan yang sejati. Kerusakan tidak hanya serta merta terjadi dengan perbuatan besar, justru kerusakan diakibatkan dengan perilaku kecil dan dianggap sepele, seperti membuang sampah sembarangan dan tidak berprinsip pada kebersihan lingkungan.
Ayat ini bukan hanya teguran, tapi juga undangan untuk bertobat dan berubah. Alam yang rusak bukan sekadar bencana, tapi cermin kegagalan manusia menjaga amanah sebagai khalifah di bumi. <231009002>