MUHAJIRUL FADHIL, Petugas Haji Daerah (PHD) Aceh 2025, Dosen Ilmu Al-Qur’an, dan Tafsir UIN Ar-Raniry Banda Aceh, melaporkan dari Makkah Al-Mukarramah
Musim haji tahun 2025 M/1446 H ini menjadi pengalaman yang bersejarah bagi kami, bukan hanya karena mendapat amanah sebagai Petugas Haji Daerah (PHD), melainkan juga karena saya menyaksikan langsung bagaimana nilai-nilai persaudaraan dan kebersamaan hidup begitu hangat di antara jemaah haji Aceh.
Daerah yang terkenal dengan kekompakan warganya ini, ketika berpindah dari Tanah Air ke Tanah Suci, membawa serta karakter khas itu dan menjelmakannya dalam bentuk solidaritas yang patut diteladani.
Sejak pertama tiba di Makkah, suasana hotel penginapan kami di kawasan Misfalah-Mekkah sudah dipenuhi dengan semangat saling melayani. Di setiap lantai, tampak jemaah saling berbagi, mulai dari lauk khas Nanggroe seperti keumamah hingga sambal teri (kareng) kacang dan rendang yang menambah selera makan.
Jemaah muda pun tak segan membantu para lansia yang tidak memiliki pendamping. Setiap kamar menjadi tempat berbagi cerita, tawa, dan rezeki. Tak ada yang makan sendiri; semua merasa bahwa apa yang mereka miliki adalah milik bersama.
Yang paling menyentuh adalah semangat tolong-menolong terhadap jemaah lanjut usia.
Di Kloter 8 tempat saya bertugas, sekitar 60 persen dari 392 jemaah merupakan lansia, termasuk jemaah tertua berusia 95 tahun dari Padang Tiji, Kabupaten Pidie. Jemaah muda seakan berlomba-lomba membantu dan melayani mereka seperti melayani orang tua sendiri. "Nyoe takalon abu dan umi di sinôe, sang-sang teuingat u gampông teuh," ujar seorang jemaah muda sambil mendorong kursi roda dengan penuh kasih sayang.
Ketika ada seorang jemaah dari Kembang Tanjong wafat beberapa hari lalu, suasana duka terasa begitu kolektif, para petugas bersigap mendampingi mulai dari proses memandikan jenazah di tempat tahjiz khusus jenazah, kemudian mengantarkannya dishalatkan di Masjidilharam sampai dimakamkan di tempat pemakaman Sharaya-Makkah.
Kami semua ikut melaksanakan doa bersama dan samadiah usai shalat Magrib berjemaah di hotel.
Tak hanya itu, bila ada keluarga yang meninggal dunia di Aceh kami juga melaksanakan shalat ghaib berjemaah, sebuah pelukan spiritual untuk mereka yang berduka dari keluarga besarnya di Tanah Suci.
Kebersamaan ini makin kuat dengan adanya peran para petugas haji yang mendampingi kloter sejumlah tujuh orang yang saling bersinergi menjaga kekompakan jemaah kloter.
Ketua Kloter dengan bijaksana menjadi komando utama dalam setiap agenda besar. Pembimbing ibadah selalu hadir dengan bimbingan yang menyejukkan hati. Tenaga kesehatan tanpa mengenal lelah selalu siap siaga melayani Jemaah yang membutuhkan penanganan medis.
Lebih dari itu, peran ketua rombongan (karom) dan ketua regu (Karu) yang membawahi kelompok 40 10 orang menjadi jantung solidaritas. Mereka tidak hanya mengorganisasi teknis, tapi menjadi sahabat, pengingat, dan penyejuk suasana.
Dari mendistribusikan makanan tiga kali sehari, hingga menjadi pelipur lara ketika jemaah merasa rindu rumah, mereka hadir penuh cinta.
Struktur ini bukan hanya sistem manajemen, melainkan sistem kasih sayang yang bekerja nyata.