Kupi Beungoh

Prabowo–Mualem: Otonomi Asimetris dan “Geografi Kebangsaan” - Bagian II

Editor: Muhammad Hadi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Humam Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Oleh Ahmad Humam Hamid*)

Tak mudah memahami Aceh hanya lewat lembar-lembar peraturan dan angka-angka statistik. 

Aceh adalah sebuah geografi kepemilikan, ruang hidup yang dihayati sebagai amanah dan anugerah. 

Ketika Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) Nomor 11 Tahun 2006 lahir, ia bukan sekadar produk politik, melainkan sebuah simpul sejarah, sebuah pengakuan bahwa Aceh memiliki cara dan denyutnya sendiri untuk menjadi bagian dari Indonesia.

UUPA menawarkan sesuatu yang langka terjadi dalam sejarah pemerintahan Indonesia-otonomi asimetris. 

Ini adalah bentuk pengakuan bahwa jalan menuju keadilan dan persatuan tak harus selalu seragam dan sama-rata. 

Di dalamnya terkandung sebuah pesan bahwa geografi kekuasaan dan geografi kepemilikan harus bisa berdialog dan berdampingan dalam keharmonian. 

Aceh bukanlah bagian yang ingin diasingkan, melainkan mozaik penting dalam keseluruhan gambar bangsa. 

Dengan otonomi asimetris, negara berusaha memberi ruang kepada Aceh agar tumbuh dalam karakternya, agar kehendaknya diresapi dan kehormatannya dihargai.

Di sinilah peran dua sosok itu menjadi begitu bermakna. Prabowo Subianto, sebagai Presiden, adalah representasi geografi kekuasaan pusat. 

Baca juga: Prabowo-Mualem: Mengubah “Rahmat” Menjadi “Nikmat” – Bagian I

Ia membawa amanat untuk memastikan keutuhan dan persatuan Indonesia, menenun kembali simpul-simpul kepercayaan di setiap pelosok negeri. 

Di sisi lain, Muzakir Mualem adalah representasi geografi kepemilikan Aceh — lelaki yang berakar di tanah kelahirannya, tumbuh dalam bahasa dan budaya rakyatnya, dan membawa aspirasi mereka dalam setiap tutur dan tindaknya. 

Pertemuan mereka, kedekatan mereka, adalah upaya untuk mempertemukan dua garis sejarah menjadi satu arah baru, di mana keberagaman dan persatuan bisa berdendang dalam harmoni.

Namun kedekatan Prabowo dan Mualem tak cukup hanya menjadi simbol di permukaan. Ia mesti diisi dan dirawat agar menjadi makna dan gerakan. 

Prabowo harus bisa melihat bahwa Aceh bukan sekadar kepingan di peta republik, tetapi ruang hidup yang perlu direngkuh dalam hangatnya pelukan kebangsaan. 

Halaman
123

Berita Terkini