Hal ini kadang kala dibangkitkan oleh kepentingan politik, terutama ketika menjelang pesta demokrasi, atau bahkan perebutan sumber daya alam yang kerap kali tidak melibatkan masyarakat lokal.
Tahun 2027 menjadi deadline yang terus membayangi.
Berakhirnya dana Otsus yang selama ini menjadi tulang punggung APBA akan menciptakan defisit fiskal yang masif jika tak diantisipasi.
Faktanya selama ini, ketergantungan Aceh pada dana pusat sangat tinggi.
Kemampuan daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara signifikan masih dipertanyakan.
Sejak pertama kali digelontorkan pada 2008 hingga 2025, total alokasi dana Otsus yang diterima Aceh mencapai lebih dari Rp110 triliun.
Ini jumlah yang fantastis, setara dengan anggaran pembangunan banyak provinsi lain di Indonesia selama puluhan tahun.
Aceh harus realistis, karena dana Otsus selama ini sangat vital.
Pertanyaannya, apa rencana konkret untuk mandiri secara finansial setelah 2027?
Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi juga kemandirian ekonomi secara keseluruhan.
Dalam menghadapi tantangan ini, Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah mengusulkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Bolanya sekarang ada di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Pemerintah Pusat.
Salah satu poin krusial dalam revisi ini adalah permintaan perpanjangan masa berlaku dana Otsus, serta penambahan persentase alokasinya dari 2 persen menjadi 2,5?ri plafon Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
Permintaan ini jelas mencerminkan kekhawatiran mendalam akan kemampuan fiskal Aceh jika dana Otsus dihentikan sepenuhnya.
Namun, upaya revisi UUPA juga memicu perdebatan.