Di satu sisi, perpanjangan dan penambahan dana dianggap vital untuk keberlanjutan pembangunan Aceh.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan tentang efektivitas penggunaan anggaran selama ini, terutama terkait tidak tepat sasaran dan dugaan korupsi yang membayangi pengelolaan dana Otsus.
Dengan aliran dana belasan triliun rupiah setiap tahunnya, laporan dan indikasi penyelewengan anggaran sering muncul ke permukaan, seperti kerap disuarakan para aktivisi antikorupsi.
Kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada 2018, misalnya, terkait dugaan suap dari proyek yang bersumber dari Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA), menjadi bukti nyata betapa rentannya dana ini terhadap praktik rasuah.
Contoh lain adalah kasus korupsi yang melibatkan Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Suhendri, yang telah divonis 9 tahun penjara.
Belasan miliar yang seharusnya diperuntukkan bagi para korban konflik untuk meningkatkan perekonomian mereka, malah dikorupsi.
Dugaan korupsi dana Otsus seperti penyakit kronis yang menggerogoti.
Bagaimana mungkin dana sebesar Rp110 triliun tidak memberikan dampak maksimal pada kemakmuran rakyat, jika banyak yang akhirnya masuk kantong pribadi atau proyek fiktif?
Pengelolaan kurang transparan dan akuntabel tak hanya menghambat pembangunan yang seharusnya bisa melompat jauh dengan dana sebesar itu, tapi juga mengikis kepercayaan publik.
Jika praktik ini tak dihentikan dan para pelakunya ditindak tegas, maka upaya Aceh untuk mandiri bila dana Otsus tidak diperpanjang akan semakin berat, karena modal kepercayaan dan integritas telah terkikis.
Lalu, mau dibawa kemana Aceh kalau sampai usulan penambahan dan perpanjangan dana Otsus ditolak Pemerintah Pusat?
Luka lama
Satu noda hitam yang terus membayangi perdamaian Aceh adalah belum tuntasnya isu hak-hak korban konflik dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Ribuan korban dan keluarga mereka masih menanti keadilan, kompensasi, dan rehabilitasi yang telah dijanjikan.
Impunitas terhadap para pelaku pelanggaran HAM berat terus menghambat proses rekonsiliasi sejati dan penyembuhan luka sejarah.
Para korban sudah 20 tahun menunggu. Janji-janji pemenuhan hak mereka hanya sebatas janji manis di mulut, apabila ada seremoni.