Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
HARI ini adalah awal dari sebuah pengembaraan intelektual yang belum saya tahu kapan akan berakhir.
Saya, insya Allah, akan menulis setiap akhir pekan--semampu saya--sesuatu tentang sejarah Aceh, bukan sebagai laporan akademik, bukan pula sebagai doktrin identitas.
Tulisan yang berpenampilan serial ini saya beri judul “Membaca Sejarah Aceh dengan Kacamata Abad ke-21”, selanjutnya disingkat MSAKA21.
Sejarah Aceh bukanlah kitab suci.
Ia tidak turun dari langit dan tidak boleh dibacakan dengan nada khusyuk sambil menundukkan kepala.
Sejarah Aceh, sebagaimana sejarah mana pun di dunia, adalah arena pertempuran ingatan--antara yang ingin dilupakan dan yang ingin dipertahankan, antara mereka yang dulu memegang kuasa dan mereka yang tak pernah ditulis.
Serial yang akan saya tulis bukanlah upaya memuja, melainkan membongkar.
Membaca sejarah Aceh dengan kacamata abad ke-21 bukan berarti mengganti lensa dengan yang lebih terang, tapi mungkin justru lebih buram, karena hanya dengan kabut kita bisa melihat bahwa masa lalu bukan peta datar, melainkan ladang ranjau.
Baca juga: Dana Otsus: Apa Beda “Penyakit Belanda” dan “Penyakit Aceh”?
Pelajaran untuk Gen-Z
Saya menulis untuk mereka yang akan hidup lebih lama dari saya.
Generasi Z Aceh dan Indonesia yang sekarang disodori identitas siap saji, slogan kosong, dan monumen tanpa makna.
Mereka berhak bertanya.
Mengapa kita dikuliahi tentang perang, tapi tidak tentang perdamaian yang dibangun perempuan?
Mengapa kita hafal nama sultan, tapi tidak tahu siapa yang membangun masjid Indrapuri di atas sebuah kuil kecil tempat umat hindu memuja para dewa?
Mengapa sejarah selalu ditulis dari pinggir meja istana, tapi bukan dari serambi dayah atau pojok pasar?