Oleh: Azhar Abdullah Panton*)
“Amin Cicem” adalah nama khas yang disematkan kepada Mohammad Amin Sarjana Hukum (SH).
Salah seorang putra Aceh yang berprofesi sebagai hakim.
Ia mengakhiri tugasnya sebagai hakim tinggi di Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh, tahun 1994 silam.
Panggilan unik ini didapatnya ketika melanjutkan studi sebagai mahasiswa di “Kota Pelajar”, Yogyakarta.
Ketika itu teman-teman se-asrama melekatkan nama “Amin Cicem” kepadanya, karena ia memelihara seekor burung (cicem: bahasa Aceh).
Berbagai julukan bernuansa Aceh lainnya juga disematkan kepada pelajar atau mahasiswa “Tanah Rencong” yang menghuni berbagai asrama Aceh di Yogyakarta.
Amin tinggal di Asrama Mahasiswa Aceh, Kebon Dalem, Yogyakarta.
Sayang, pada tahun 1989, asrama ini lepas dari tangan Aceh setelah kalah menghadapi gugutan kepemilikan.
Pria kelahiran Kutaraja (sekarang Banda Aceh), 13 Desember 1931 ini, memulai karirnya pada tahun 1964.
Baca juga: Melirik Potensi Ekowisata di Samar Kilang
Ia diangkat sebagai ahli hukum dengan tugas hakim tingkat empat pada Pengadilan Negeri (PN) Banda Aceh. Masa tugasnya terhitung 1 April 1964.
Tiga bulan setelah menerima ijazah kelulusan ujian Doktoral Ilmu Hukum, Jurusan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada (UGM), 11 Desember 1963.
Dua bulan setelah pengangkatan pertama, Amin juga ditugaskan sebagai hakim ekonomi pada PN Banda Aceh.
Berikutnya, terhitung 1 Oktober 1965 ditunjuk sebagai hakim khusus untuk memeriksa dan memutuskan perkara subversi di PN Banda Aceh dan PN Sabang.
Karirnya terus meningkat, pada bulan Januari 1968 diangkat sebagai wakil ketua PN Banda Aceh.
Sejak Agustus 1968 hingga Februari 1970, ia ditunjuk sebagai ketua PN Banda Aceh,
Berikutnya, Amin diangkat sebagai ketua PN Sabang.
Ia efektif bertugas sejak 29 Januari 1970 hingga dipromosikan sebagai hakim anggota di Pengadilan Tinggi (PT) Banda Aceh, 5 Juni 1981.
Sebelum pindah ke Sabang, Amin juga mengabdi sebagai dosen tamu pada Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala (USK) yang saat itu masih berusia “balita”.
Lebih satu dekade Amin bertugas di Sabang. Sampai-sampai, hampir semua warga “Pulau Weh” ini mengenalnya.
Ia akrab disapa “Pak Hakim”. Hingga sekarang, walau Amin sudah berpulang ke Rahmatullah, “warga tua” Sabang masih mengingatnya.
Ia dikenal sebagai sosok hakim yang jujur, lurus, adil, dan berani.
Dari Sabang, Amin sebenarnya dipromosikan sebagai hakim anggota pada PT Jayapura, Irian Jaya (sekarang Papua).
Namun atas permohonannya agar bisa merawat ayahnya yang sudah sepuh –ibunya sudah terlebih dahulu meninggal dunia-, penugasan Amin ke PT Jayapura ditinjau ulang.
Ia akhirnya ditetapkan sebagai hakim anggota pada PT Banda Aceh.
Baca juga: Hindari Pertengkaran dalam Rumah Tangga!
Setelah tujuh tahun lebih mengemban amanah di PT Banda Aceh, Amin dimutasi ke PT Pekanbaru, Riau, pada tahun 1988.
Lima tahun setelahnya Amin kembali ditugaskan di tanah kelahirannya, sampai memasuki masa pensiun.
Pendidikan
Amin menempuh pendidikan dasar di Sekolah Rakyat (SR) enam tahun, Banda Aceh dan lulus tahun 1946.
SMP juga ditamatkan di Banda Aceh pada tahun 1949.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di kampung halaman, putra dari pasangan Nyak Ali dan Tjut Meurah Siti ini merantau ke Medan, Provinsi Sumatera Utara.
Di Medan, ia sekolah di SMA Negeri 1 Medan, jurusan sastra, tamat 1953.
Setelah tamat SMA, perantauan Amin berlanjut ke Pulau Jawa.
Ia diterima sebagai mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Amin lulus di Fakultit Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik Universitit Negeri Gadjah Mada (sekarang Fakultas Hukum UGM).
Amin tercatat sebagai penerima beasiswa ikatan dinas Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (kini Kemdiktisaintek).
Amin menyelesaikan kuliah dan berhak menyandang gelar SH setelah melalui berbagai tahapan akademik.
Tahun 1956, tepatnya 31 Oktober 1956, ia sukses menempuh ujian Propaedeuse Baccalaureat ilmu hukum jurusan kepidanaan. Kemudian lulus ujian Baccalaureat, 24 Juni 1960.
Tiga tahun setelahnya lulus ujian doktoral persiapan (8 Juli 1963).
Perkuliahan Amin berakhir setelah dinyatakan lulus ujian Doktoral ilmu hukum jurusan hukum pidana.
Ia memperoleh ijazah asli UGM tertanggal 11 Desember 1963, dua hari sebelum usianya genap 32 tahun.
Keluarga
Jum’at, 19 November 1965, pemuda Gampong Peulanggahan, Banda Aceh ini melangsungkan pernikahan di Gampong Seulalah, Kota Langsa.
Ia menikah dengan gadis pujaan hatinya, Tjut Meurah Asiah.
Guru olahraga yang dikemudian hari memilih menjadi ibu rumah tangga sejati.
Dari pernikahannya, Amin dikaruniai tujuh anak.
Lima perempuan dan dua laki-laki. Anak perempuannya adalah Nuzul Asmilia, Nurul Asmiati, Nurchaili, Nursiti, dan Nurbaiti.
Dua anak terakhirnya adalah laki-laki, Muhammad Yasin dan Muhammad Nur.
Anak sulung, ke empat dan ke lima berprofesi sebagai dosen di USK.
Anak kedua, ASN di Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Putri ke tiganya berprofesi sebagai guru.
Sementara Muhammad Yasin adalah karyawan Bank Aceh Syariah dan si bungsu, Muhammad Nur adalah alumnus Fakultas Pertanian USK yang menjadi syuhada Tsunami Aceh.
Baca juga: Masih Adakah Ulama Alumni Dayah?
Hakim Berintegritas
Selama 30 tahun delapan bulan lebih menjalankan profesinya, Amin dikenal sebagai hakim berintegritas. Perkataan dan tindakannya selalu selaras dengan perilakunya sehari-hari.
Ia selalu berpijak pada kebenaran dan keadilan. Amin menyadari betul, tugas hakim itu sangat berat.
“Dengan palu keadilan di tangan, seorang hakim sesungguhnya berdiri ditepi jurang yang memisahkan surga dan neraka. Keberpihakan pada kebenaran akan mengangkatnya ke surga, namun kesalahan dalam memutuskan perkara membuatnya tergelincir dalam neraka”, ujar Amin di hadapan anak-anaknya
Sepanjang hayatnya, anak ke lima dari sebelas bersaudara ini selalu memegang teguh prinsip jujur, lurus, berani, adil, dan amanah.
Penulis sendiri pernah mendengar langsung beberapa pernyataan karib kerabat dan tokoh masyarakat tentang sosok Amin.
Salah seorang tokoh masyarakat Gampong Paya Seunara, Sabang -penulis lupa namanya- menyatakan, “Amin hakim yang adil dan berani, ia tidak gentar menegakkan kebenaran walau berhadapan dengan aparat berseragam”.
Di lain waktu, ketika melayat atas meninggalnya Amin (14 Februari 1999), penulis mendengar beberapa pernyataan terkait integritas Amin, misalnya: “Sepanjang kaki melangkah, almarhum dikenal sebagai orang yang jujur”, ujar sahabat Amin.
Sementara, dalam sebuah kesempatan bincang-bincang penulis dengan Prof Yusny Saby –mantan rektor UIN Ar-Raniry-, penulis banyak mendapat informasi tentang keseharian Amin di masa kuliah.
“Pak Amin galak maguen (hobi masak), orangnya jujur dan alim”, ujar Yusny yang ketika itu melanjutkan studi di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN), Yogyakarta. Dari Prof Yusny pula penulis tahu nama khas “Amin Cicem”.
Amin adalah pribadi yang sangat sederhana.
Baca juga: "Joging Di Tempat Umum", Jangan Dengan Celana Ketat, Baju Di Atas Pantat Wahai Muslimah
Jabatan hakim tidak membuatnya silau dengan gemerlapnya dunia.
Ia tidak pernah berpikir untuk memenuhi keinginan, tapi selalu bersyukur dengan apa yang sudah didapat.
Amin hanya memiliki sebuah sedan butut DODGE Avanger keluaran 1978. Sedan ini didapatnya dari proses pengalihan aset mobil dinas.
Satunya lagi sepeda motor Honda Super Cub 800 tahun 1980-an yang dibeli secara cicilan. Sepeda motor ini dikendarai berbagi antara isteri dan anak-anaknya.
Keseharian Amin sangat bersahaja.
Pria yang rajin bersilaturahmi ini suka berjalan kaki atau lebih memilih angkutan umum jika ingin bepergian diluar jam dinas.
Bahkan, ia tidak malu berwirausaha untuk menambah penghasilan secara halal.
Banyak orang berpikir, menjadi hakim adalah kesempatan untuk bergelimang harta.
Terlihat aneh dan bodoh jika hakim itu berpenampilan sederhana dengan harta seadanya.
Sampai-sampai ada yang menyebut ”hakim pantengong” untuk Amin.
Inilah “Amin Cicem”, yang telah meninggalkan legacy sebagai hakim berintegritas.
Ia adalah pribadi yang selalu menjaga kemuliaan profesi.
Tanpa korupsi, kolusi dan kong kali kong.
Amin menghembuskan napas terakhir bakda Magrib di rumahnya sendiri, yang dibangun sejak 1983 dan belum selesai seratus persen hingga ia mangkat.
*) PENULIS adalah Alumnus Universitas Syiah Kuala, peminat literasi sejarah Aceh
KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.
Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI