SERAMBINEWS.COM - Tita Delima (27), seorang perawat asal Boyolali, harus berhadapan dengan tuntutan hukum yang mengejutkan.
Niatnya untuk resign dan beralih profesi menjadi penjual roti rumahan justru membuatnya digugat Rp120 juta oleh kantor lamanya.
Gugatan ini dilayangkan karena Tita dianggap melanggar perjanjian kerja.
Lantas, bagaimana duduk perkaranya?
Resign dan mulai merintis usaha
Gugatan ini berawal dari perjalanan karier Tita yang dulu sempat bekerja sebagai perawat di sebuah klinik gigi di kawasan Solo Baru.
Dilansir dari Tribun Solo, Kamis (31/7/2025), Tita dilaporkan telah bekerja di klinik tersebut selama hampir dua tahun dengan ikatan kontrak.
Namun sebelum kontraknya habis, ia mulai merasakan ketidaknyamanan.
Ia pun mengajukan pengunduran diri lebih cepat sebelum masa kontraknya habis.
Pengunduran diri itu juga disetujui oleh pemilik klinik pada November 2024.
Baca juga: Kisah Tita, Perawat Muda Digugat Rp120 Juta Usai Resign Demi Rintis Usaha Roti, Ini Persoalannya
“Waktu itu saya memutuskan resign sekitar Desember 2024. Tapi pemilik klinik menyetujui untuk saya berhenti lebih cepat, tepatnya pada November 2024. Saya pikir ini kabar baik,” ujar Tita, Rabu (30/7/2025), dikutip dari Tribun Solo.
Tita mengaku tidak menerima gaji untuk bulan terakhirnya.
Menurutnya, hal itu sebagai bentuk penalti karena dianggap telah melanggar kontrak, berhenti sebelum masa kontrak selesai.
Mulai bisnis roti dan suplai ke klinik lain.
Setelah resign, Tita memulai bisnis kuliner rumahan untuk bertahan hidup.
Ia membuka usaha roti rumahan, dan produk utamanya adalah nastar.
Selama merintis usaha tersebut, ia mengaku masih mencoba melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan di luar bidang klinik gigi.
Ini dilakukan menyesuaikan dengan isi perjanjian lamanya, yang menyatakan dirinya tidak boleh bekerja di bidang sejenis dalam kurun waktu satu tahun.
Dinilai melanggar perjanjian
Sementara itu, tanpa disangka usaha roti rumahannya ternyata disukai oleh salah pasien di Klinik Gigi Symmetry, sebuah klinik lain di Solo Baru.
Klinik tersebut lantas menjadi pelanggan tetap, dan Tita secara rutin mengantarkan pesanan roti ke sana.
“Pasien mereka suka roti saya. Jadi saya hanya antar pesanan ke sana. Sama sekali bukan jadi perawat lagi, apalagi pegawai tetap,” terang Tita.
Baca juga: Mantan Perawat Ungkap Kelakuan Bejat Dokter Kandungan Syafril Firdaus, Menangis saat Dilecehkan
Tita menegaskan bahwa hubungannya dengan klinik tersebut sebatas pemasok makanan, bukan sebagai tenaga medis atau karyawan.
Ia mengakui pihak Klinik Symmetry memang sempat mempertimbangkan untuk merekrutnya kembali sebagai perawat, karena mengetahui latar belakangnya.
Namun hal itu tidak pernah terjadi.
Menurutnya pihak klinik Symmetry juga memahami kondisi Tita yang masih terikat perjanjian kontrak dari tempat kerja lamanya, yaitu tidak boleh bekerja di klinik sejenis salama masa tunggu tertentu.
Sebagai gantinya, ia hanya diperbantukan jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Tidak ada surat kontrak, tanda tangan, atau gaji tetap dari pihak Klinik Symmetry.
Namun, bekas perusahaannya menafsirkan hubungan bisnis tersebut sebagai pelanggaran kontrak kerja.
Empat kali disomasi
Meskipun ia tidak kembali bekerja sebagai tenaga medis, bekas tempat kerja Tita menganggap aktivitas tersebut sebagai pelanggaran kontrak.
Tita menerima empat kali somasi antara April hingga Juni 2025.
Somasi pertama dilayangkan 27 April 2025 oleh perwakilan dari pihak klinik ke rumah Tita.
Namun karena Tita tidak berada di rumah, ibunya yang menerima surat tersebut.
“Ibu saya bilang ketakutan setelah kedatangan mereka. Saya pun takut ke sana (klinik) karena khawatir diintimidasi atau disuruh tanda tangan dokumen lain,” kata Tita.
Baca juga: Pengusaha LH dan Perawat NA Tewas di Kos Surabaya, Ternyata Sudah Nikah Siri, Terungkap Sosok Korban
Tita mengaku tidak menanggapi somasi karena merasa tidak bersalah.
Namun penolakan tersebut membuatnya kembali menerima somasi kedua.
Pada somasi kedua Tita juga tetap memilih tidak menghadiri panggilan.
“Di somasi kedua saya sudah jelaskan, saya tidak bekerja sebagai perawat, tidak menandatangani kontrak baru, jadi tidak merasa perlu datang,” jelas Tita.
Situasi serupa berulang di somasi ketiga dan keempat.
Pada somasi ketiga, Tita menolak menerima tamu karena sedang sibuk.
Sementara di somasi keempat, somasi disampaikan langsung oleh kuasa hukum pihak klinik, yang juga tak digubris karena Tita mengaku takut dan merasa tekanan terlalu besar.
Digugat ke Pengadilan, tapi berujung penolakan
Pada akhir Juli 2025, gugatan resmi dilayangkan ke Pengadilan Negeri Boyolali.
Klinik menuntut ganti rugi Rp 120 juta, yang terdiri dari Rp 50 juta sebagai pengganti gaji selama dua tahun kontrak dan Rp 70 juta untuk ganti rugi immateriil karena dianggap melanggar komitmen.
“Dalam berkas perkara tertulis Rp 50 juta itu sebagai bentuk penggantian gaji selama dua tahun. Sisanya Rp 70 juta karena perusahaan merasa kecewa dan sakit hati karena Tita dianggap melanggar komitmen,” jelas drg. Maria Santiniaratri, Co-Founder Klinik Gigi Symmetry, dikutip dari Kompas.com, Minggu (3/8/2025).
Pada Jumat (1/8/2025), majelis hakim Pengadilan Negeri Boyolali akhirnya memutus bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima.
Menurut Humas PN Boyolali, Tony Yoga Saksana, gugatan tersebut memiliki cacat formil.
Baca juga: Perawat di Aceh Utara Rudapaksa Santriwati Saat Berobat, Alat Vital dan Dada Diraba: Korban Histeris
Dasarnya, perjanjian kerja sama yang diajukan oleh penggugat tidak ditandatangani langsung oleh kedua belah pihak.
“Dalam perjanjian kerja sama, yang menandatangani kerja sama itu bukan penggugat dan tergugat. Tapi tergugat dengan orang lain selain penggugat. Karena dasar gugatannya adalah adanya kerja sama tadi, maka ini menurut hakim menjadi kabur,” ujar Humas PN Boyolali, Tony Yoga Saksana, dikutip dari Kompas.com.
Hal ini membuat konstruksi hukum yang diajukan menjadi lemah dan tidak membuktikan adanya hubungan kerja langsung antara penggugat dan tergugat.
Meskipun Tita kini bisa bernapas lega, ia berharap kasus ini menjadi pelajaran bagi semua pihak. Ia ingin kembali fokus pada usaha rotinya yang menjadi sumber penghasilan utama, dan melanjutkan hidup dengan tenang tanpa harus berurusan dengan masalah hukum.
Meski demikian, pihak yang keberatan dengan putusan hakim diberikan waktu tujuh hari untuk mengajukan keberatan.
Tita ingin damai tapi ditolak
Sementara itu, dalam persidangan, Tita sempat menyatakan keinginan berdamai dan siap meminta maaf.
Namun hal itu ditolak oleh penggugat.
“Mereka tidak mau karena katanya sudah terlanjur sakit hati,” ujarnya.
Tita berharap masalah ini menjadi pelajaran bersama dan tidak berlarut.
Ia ingin fokus kembali membesarkan usaha rotinya yang selama ini menjadi sumber penghasilan utama.
“Saya tidak pernah berniat melanggar kontrak atau merugikan siapa pun. Saya hanya ingin hidup tenang dan jualan roti,” ucapnya.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI