Oleh: Ahmad Humam Hamid*)
HAMPIR dua dekade telah berlalu sejak lonceng perdamaian dibunyikan di Helsinki, dan Otonomi Khusus resmi menjadi bingkai baru Aceh dalam NKRI.
Sejak saat itu, dana mengalir deras, wewenang dilimpahkan, dan janji-janji sejarah ditulis ulang dalam bahasa perundang-undangan.
Namun ketika sejarah nanti mengambil pena untuk mencatat tahun-tahun perjalanan ini, apa yang akan dituliskan?
Apakah kisah pemulihan atau pengabaian yang berkelanjutan?
Aceh bukanlah provinsi biasa.
Ia dibentuk dari luka yang panjang, dari darah yang menetes di pegunungan Pidie hingga doa-doa yang membumbung dari kamp pengungsian di Lhokseumawe, Peureulak, dan Jeumpa.
Ketika Dana Otsus pertama kali ditransfer, sebagian melihatnya sebagai kompensasi, bahkan suap sejarah.
Tapi lebih dari itu, ia adalah modal politik untuk membangun ulang kepercayaan yang pernah hancur total.
Antara 2008 dan 2023, lebih dari Rp100 triliun dana Otsus digelontorkan ke Aceh.
Ditambah Dana Alokasi Umum dan Dana Bagi Hasil Migas, maka Aceh menjadi salah satu provinsi dengan kapasitas fiskal tertinggi di Indonesia.
Namun, kekayaan fiskal tidak secara otomatis melahirkan kemakmuran struktural.
Uang membangun gedung, tetapi tidak serta-merta membangun manusia.
Statistik pendidikan dan kesehatan Aceh hari ini adalah catatan muram bahwa transformasi sosial tidak terjadi semudah menekan tombol anggaran.
Angka melek huruf generasi muda boleh membaik, tetapi kualitas literasi dan numerasi--diukur dari asesmen nasional--menunjukkan bahwa banyak siswa Aceh tertinggal dua tahun pelajaran dibanding rekan mereka di provinsi maju.
Di sektor kesehatan, situasinya tak kalah mengkhawatirkan.
Statistik kesehatan daerah yang menyangkut dengan AKI yang tersedia hanya pada tahun 2021 mencapai 223 per 100.000 kelahiran.
Angka ini jauh di atas standar nasional sekitar 130-180 per 100.00 berdasarkan RPJMN dan WHO.
Angka ini jauh dari rata-rata provinsi seperti Jawa Timur atau Bali.
Prevalensi stunting mencapai 31,2 persen pada 2022, bahkan sempat menduduki peringkat ke-5 tertinggi nasional.
Fasilitas layanan dasar memang diperbanyak, tetapi persebaran dokter, bidan, dan tenaga kesehatan tetap timpang.
Ada kecamatan di Aceh Tengah atau Simeulue yang masih harus menempuh puluhan kilometer untuk mengakses puskesmas rawat inap.
Baca juga: Partai Politik di Aceh Dapat Bantuan Dana Rp 29 Miliar
Ladang patronase
Ironisnya, Aceh adalah salah satu daerah dengan belanja kesehatan per kapita tertinggi secara nasional.
Tapi angka-angka itu seperti air hujan yang tak pernah mencapai akar.
Sejarah tidak akan menulis bahwa Aceh kekurangan uang.
Yang akan dicatat adalah bahwa uang itu gagal membangun kapasitas manusia.
Dana Otsus telah menjelma menjadi jaring pengaman fiskal yang terlalu nyaman, bukan alat untuk memacu inovasi atau efisiensi, melainkan ladang patronase.
Di banyak tempat, anggaran belanja rutin seperti gaji, perjalanan dinas, dan kegiatan seremonial masih mendominasi.
Sementara investasi pada pendidikan, pelatihan guru, atau insentif tenaga medis yang berkinerja tinggi belum menjadi kebijakan utama.
Yang ironis, pada saat Aceh menikmati dana Otsus, tercatat tingkat pengangguran terbuka tertinggi di Sumatera selama bertahun-tahun.
Bahkan pada 2023, Aceh mencatat angka 6,03 % , lebih tinggi dari provinsi-provinsi tetangga seperti Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak tumbuh dari bawah, dari produksi riil rakyat.
Pertanian, sektor yang menyerap lebih dari 40 % tenaga kerja, masih dihuni petani gurem dengan lahan sempit dan akses sarana produksi yang tidak gampang.
Tak heran bila sektor informal tumbuh tak terkendali, menciptakan ‘pekerjaan semu’ tanpa perlindungan dan masa depan.
Dahulu, harapan publik sempat muncul ketika kader-kader eks kombatan memasuki sistem pemerintahan.
Banyak yang percaya bahwa mereka membawa api idealisme dan legitimasi sejarah untuk memperbaiki sistem yang sebelumnya mereka lawan.
Namun, dua dekade kemudian, impian itu seperti dilapisi debu kotor dan pragmatisme politik.
Partai lokal yang dulu lahir dari semangat perjuangan kini lebih sibuk mengelola alokasi proyek dan konsesi, alih-alih merumuskan peta jalan pembangunan jangka panjang.
Baca juga: Reaksi Tom Lembong Usai Jokowi Akui Impor Gula Kebijakan Presiden: Seharusnya dari Awal
Siapkah Aceh otsus?
Kini, ketika masa berakhirnya dana Otsus sudah di depan mata, resmi akan berakhir 2027 dan mulai menyusut sejak 2023, pertanyaan paling keras adalah, apakah Aceh siap hidup tanpa infus fiskal pusat?
Apakah Aceh telah membangun basis PAD yang kuat? Apakah investasi di sektor produktif sudah cukup untuk menopang kemandirian fiskal?
Jawabannya, sejauh ini belum menggembirakan.
Belanja pemerintah masih menjadi penopang utama ekonomi Aceh.
Penerimaan asli daerah (PAD) hanya menyumbang sebagian kecil dari total APBA.
Ini artinya, ketika dana Otsus surut, apalagi bila ditiadakan, guncangan struktural akan tak terhindarkan kecuali ada reformasi besar-besaran.
Beberapa sinyal positif memang mulai terlihat.
Penurunan angka kemiskinan pada Maret 2025, dari 14,23 % ke 12,33?lam setahun, adalah capaian penting.
Ini penurunan tercepat selama satu dekade.
Tetapi sekali lagi, fenomena ini lebih banyak ditopang oleh bantuan sosial seperti BLT Dana Desa dan bansos lainnya.
Bukannya tidak penting, tetapi sejarah tidak akan mencatat siapa yang banyak memberi bantuan.
Ia akan bertanya, mengapa bantuan itu terus dibutuhkan?
Gubernur baru, Muzakkir Manaf, menghadapi warisan kompleks.
Ia memimpin dalam masa transisi fiskal dan transisi politik.
Ia bukan hanya harus menjawab soal masa depan fiskal Aceh, tetapi juga meyakinkan publik bahwa kepemimpinan berbasis sejarah konflik bisa juga memproduksi kebijakan rasional dan inklusif.
Tiga pertanyaan besar
Muzakir Manaf atau Mualem harus menjawab tiga pertanyaan besar yang akan ditinggalkan Otsus, terutama bila Dana Otsus diperpanjang.
Pertama, bagaimana mengubah kemakmuran fiskal menjadi kemandirian ekonomi?
Kedua, bagaimana menciptakan struktur sosial yang lebih egaliter, terutama ketimpangan kemiskinan antar kabupaten yang sangat mencolok?
Ketiga, bagaimana memulihkan kepercayaan rakyat terhadap politik sebagai alat perbaikan hidup, bukan sekadar pertunjukan kuasa?
Jawaban-jawaban itu tidak ada dalam naskah lama.
Ia harus ditulis ulang.
Banyak yang berharap ia membawa semangat rekonsiliasi bukan hanya ke dalam narasi politik.
Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat.
Tapi sejarah sering kali tidak melihat panjang pendeknya masa, melainkan kedalaman dampaknya.
Otonomi Khusus pernah menjadi proyek harapan, untuk perdamaian, untuk keadilan, dan untuk mempercepat pembangunan.
Dalam praktiknya, Otonomi Khusus lebih sering menjadi arena tarik menarik kepentingan elite, jauh dari urusan publik.
Ketika tinta sejarah mulai ditorehkan, mungkin tulisan akan berkata bahwa Aceh telah berhasil menjaga perdamaian.
Bahwa senjata sudah diam, bahwa bendera tak lagi menjadi alasan darah ditumpahkan.
Tapi sejarah juga akan bertanya.
Mengapa dengan semua kewenangan dan uang yang tersedia, Aceh masih tertinggal dalam pendidikan dasar dan menengah, masih mencatat tingginya kematian ibu, dan masih menggantungkan nasib ekonomi pada kemurahan pusat?
Sejarah bukanlah hakim, tapi ia juga bukan penghibur.
Sejarah hanya mencatat apa yang ada, dan meninggalkan pertanyaan bagi generasi berikutnya.
Jika dulu kalian diberi semua yang dibutuhkan untuk bangkit, lalu apa yang kalian lakukan dengan kesempatan itu?
Dan sejarah, sebagaimana biasa, akan mencatat dengan tajam, tanpa belas kasihan bagi mereka yang diberi peluang namun gagal menggunakannya.
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.