Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Para pemimpin GAM dan pemerintah RI tahu dunia sedang menonton.
Menolak berdamai berarti mempertontonkan kekerasan di tengah panggung bantuan global.
Menerima perdamaian berarti mengubah narasi, dari “daerah konflik” menjadi “daerah darurat”dan “daerah bangkit”, narasi yang jauh lebih mudah dijual ke donor internasional.
Helsinki melahirkan paket kesepakatan yang luar biasa luas.
Ada otonomi khusus yang kemudian diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006.
Ada hak membentuk partai politik lokal.
Ada pengelolaan sebagian besar sumber daya alam sendiri.
Dan ada pula dana otonomi khusus dalam jumlah besar yang mengalir selama 20 tahun.
Secara legal, ini adalah konsesi politik terbesar yang pernah diberikan Jakarta pada daerah pasca-Reformasi.
Dua puluh tahun kemudian, jika kemenangan perdamaian diukur hanya dari absennya suara senjata, Aceh memang menang.
Konflik bersenjata praktis berhenti. Ruang sipil terbuka. Infrastruktur dasar meningkat.
Tetapi ukuran ini malas dan dangkal.
Kemenangan sejati seharusnya diukur dari keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan martabat warga.
Dengan ukuran ini, ceritanya jauh lebih kompleks.
Baca juga: Dua Dekade Damai Aceh dalam Sorotan Film Dokumenter, Ini Jadwal dan Lokasi Pemutaran Film