Pojok Humam Hamid

Dua “Lelah”, Satu Bencana: MoU Helsinki dan Damai, Menang?

Editor: Zaenal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. Ahmad Human Hamid, MA, Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala Banda Aceh.

Sejak 2008 hingga kini, Aceh menerima lebih dari seratus triliun rupiah dana otonomi khusus. 

Ditambah Dana Bagi Hasil migas dan berbagai transfer lain, APBD Aceh termasuk yang tertinggi di luar Jawa. 

Namun, meski uang melimpah, angka kemiskinan hanya turun dari 23,5 persen pada 2008 menjadi 14,45 % pada Maret 2023. 

Bahkan ketika pada Maret 2025 turun lagi menjadi 12,33 % , Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan masih masuk 10 besar termiskin nasional. 

Indeks Pembangunan Manusia Aceh mandek di peringkat 24 dari 38 provins

Angka stunting tetap mengkhawatirkan, 31,2 % pada 2022, lebih buruk dari rata-rata nasional. 

Pendidikan pun tidak jauh berbeda.

Hasil Asesmen Nasional menunjukkan capaian literasi dan numerasi siswa Aceh berada di bawah rata-rata nasional, bahkan tertinggal dari provinsi tetangga seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Ini adalah cermin awal lemahnya fondasi kemampuan dasar yang berdampak jangka panjang. 

Transisi dari SMP ke SMA berjalan lambat akibat kombinasi faktor ekonomi, perkawinan dini, dan akses geografis yang sulit.

Sementara itu distribusi guru berkualifikasi belum merata meski rasio guru–murid di atas kertas terlihat baik. 

Angka putus sekolah, khususnya di wilayah pedesaan, masih tinggi, diperparah oleh rendahnya akses pendidikan anak usia dini yang mengurangi kesiapan belajar sejak awal. 

Rendahnya partisipasi di pendidikan tinggi, dengan disparitas gender di sejumlah daerah, semakin menegaskan bahwa tantangan pendidikan Aceh bersifat sistemik.

Sedari awal telah terasa embriyo efek domino dari lemahnya fondasi PAUD dan SD hingga stagnasi di perguruan tinggi. 

Ini artinya tanpa intervensi struktural yang kuat, kesenjangan dengan capaian nasional akan terus melebar

Sejarah mencatat bahwa perjanjian damai di banyak tempat—Irlandia Utara, misalnya—selalu disertai lonjakan investasi di pendidikan sebagai fondasi rekonsiliasi sosial. 

Bagimana dengan yang lain?

Dalam politik, partai lokal hadir, tetapi demokrasi di Aceh justru mengeras menjadi oligarki tertutup. 

Partai nasional tidak ada apa apanya, setidaknya tidak lebih baik dan hebat dari partai lokal. Dan ini tragis.

Sebagian mantan kombatan menjadi elite administratif yang lihai mengelola proyek, tetapi sering melupakan akar perjuangan. 

Rakyat biasa merasa perdamaian ini seperti festival eksklusif yang tiketnya hanya bisa dibeli oleh kelompok tertentu.

Tahun 2027 akan menjadi titik kritis bagi Aceh. 

Masa alokasi penuh dana otonomi khusus berakhir, dan jumlah transfer dari pusat akan menurun drastis. 

Jika Aceh belum mandiri secara ekonomi, krisis fiskal bisa berubah menjadi krisis sosial. 

Tidak akan ada lagi ruang menyalahkan Jakarta atau MoU.

Bagi dunia, Aceh adalah studi kasus unik tentang bagaimana dua kelelahan--militer dan gerilya--dipertemukan oleh satu bencana besar, lalu dikunci dalam perjanjian damai formal. 

Tetapi ini juga peringatan bahwa perdamaian adalah proyek panjang. 

Bantuan global bisa membuka pintu, tetapi hanya kapasitas lokal yang bisa menjaga pintu itu tetap terbuka. 

Aceh berhasil menjaga damai fisik selama dua dekade, prestasi yang patut diapresiasi. 

Namun, damai sosial-ekonomi masih berjalan setengah jalan.

Menang atau kalah?

Maka, dua dekade setelah MoU, pertanyaan penting hari ini adalah, apakah Aceh telah memenangkan perdamaian? 

Jawabannya bergantung pada definisi “menang” yang kita pilih. 

Jika menang berarti tidak ada perang, ya Aceh telah menang. 

Jika menang berarti diakui secara politik dan memiliki ruang mengatur diri sendiri, Aceh bisa disebut menang. 

Jika menang berarti rakyat terbebas dari kemiskinan struktural, jawabannya belum.

Jika menang berarti generasi pasca-MoU hidup lebih sehat, lebih cerdas, dan lebih sejahtera daripada generasi sebelumnya, jawabannya belum. 

Jika menang berarti keadilan sosial bagi seluruh rakyat Aceh, jaraknya masih panjang.

Dan sejarah--seperti selalu diingatkan oleh para ahli--tidak menunggu mereka yang lambat mengambil keputusan.

Sejarah Aceh dua dekade lalu mengajarkan satu hal yang seharusnya menjadi peringatan permanen. 

Perang berakhir bukan karena satu pihak kalah total, tapi karena dua pihak sama-sama kelelahan. 

Tsunami hanya mempercepat kesepakatan, bukan menciptakan kasih sayang politik. 

MoU Helsinki adalah sebuah kontrak moral dingin, bukan janji manis. 

Maka, jika kita memperlakukannya seperti pusaka yang hanya dipajang tanpa dirawat, ia akan lapuk. 

Dan ketika itu terjadi, yang runtuh bukan hanya dokumen, tapi seluruh rasa percaya yang dibangunnya.

Membangun keadilan dalam damai

Dua dekade bukan waktu singkat, tetapi juga bukan akhir. 

Waktu yang tersisa sebelum 2027 harus dipakai untuk reorientasi struktural- dari fiskal ke produktif, dari birokrasi ke pelayanan, dari simbol ke substansi. 

Jika mereka yang dahulu sanggup mengangkat senjata demi cinta pada tanah ini bisa menandatangani damai, maka mereka juga harusnya bisa membangun keadilan dalam damai. 

Bukan lewat slogan, melainkan kerja nyata yang memastikan anak-anak Aceh bisa bermimpi tanpa takut gagal karena sistem yang lumpuh. 

Pada akhirnya, sejarah tidak akan menulis perdamaian Helsinki sebagai kemenangan hanya karena tidak ada perang. 

Sejarah akan menulisnya sebagai kemenangan jika, dan hanya jika, damai itu berhasil melahirkan kesejahteraan dan martabat bagi semua rakyat Aceh.(*)

 

*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.

Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.

Berita Terkini