Oleh Ahmad Humam Hamid*)
PERDAMAIAN jarang lahir dari hati yang tenang, apalagi melankolis.
Ia biasanya muncul dari kelelahan, kadang juga dari keterpaksaan.
Dalam kasus Aceh, kedua belah pihak--Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia--masuk ke meja perundingan bukan karena tiba-tiba saling mencintai, melainkan karena sama-sama sudah kehabisan napas.
GAM telah bertahun-tahun bergerilya, mengandalkan logistik yang semakin menipis dan dukungan luar negeri yang perlahan surut.
Pemerintah Indonesia, di sisi lain, telah menguras energi dan dana untuk operasi militer yang mahal dan tak kunjung menutup bab konflik.
Dua kelelahan itu bertemu di ruang negosiasi.
Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, hadir bukan sebagai penyihir yang mengubah hati, melainkan sebagai sutradara yang sudah hafal naskah.
Ia tidak meminta kedua aktor mengubah karakter, hanya mengajak mereka bermain sampai tirai turun dengan tenang.
Namun sejarah sering memerlukan katalis eksternal.
Dalam konteks Aceh, katalis itu datang bukan dari meja perundingan, melainkan dari dasar laut.
Pagi 26 Desember 2004, bumi berguncang 9,1 Skala Richter di lepas pantai barat Sumatra.
Dalam hitungan menit, gelombang raksasa setinggi belasan meter menerjang pesisir Aceh.
Lebih dari 170.000 nyawa melayang di provinsi Aceh saja.
Tsunami ini bukan sekadar bencana alam.
Ia menjadi semacam “anaman keras dari ATAS”, peringatan yang membungkam senjata lebih efektif daripada gencatan senjata resmi mana pun.
GAM dan militer sama-sama kehilangan keluarga, sahabat, dan bahkan posisi strategis.
Semua berubah dalam satu pagi.
Lalu dunia datang, bukan sekadar mengirim surat belasungkawa atau bantuan simbolis, tapi benar-benar datang.
Negara demi negara mengirim kapal perang berisi bantuan kemanusiaan, pesawat kargo penuh logistik, tenaga medis, insinyur, dan relawan.
Organisasi internasional dari yang raksasa seperti Palang Merah, hingga komunitas kecil dari desa di Norwegia, membangun dapur umum di Meulaboh, memasang pompa air di Calang, membagikan selimut di Pidie.
Aceh, yang selama puluhan tahun relatif tertutup akibat perang, tiba-tiba menjadi panggung global.
Jalan-jalan yang dulu dijaga pos militer kini dilalui truk logistik bertuliskan “Norwegian Red Cross”.
Desa-desa terpencil yang dulu hanya bisa dimasuki lewat jalur gerilya, kini dijejali pekerja kemanusiaan dari Australia, Jepang, Cina komunis, Yahudi, bahkan Afrika Selatan.
Baca juga: Tidak Ada Instruksi Kibarkan Bintang Bulan Pada Peringatan 20 Tahun Damai Aceh
Post-disaster peace window
Fenomena ini bukan milik Aceh semata.
Dalam studi sejarah, ada pola yang disebut “post-disaster peace window”, momen ketika bencana alam besar memaksa pihak-pihak yang berkonflik untuk berbagi prioritas bertahan hidup, lalu membuka pintu diplomasi.
Haiti pasca gempa 2010 mengalaminya, meski gagal dimanfaatkan.
Mozambik setelah Topan Idai 2019 memakai koordinasi bantuan untuk mengawali dialog lintas pihak bersenjata.
Bahkan Balkan setelah gempa Skopje 1963 juga menunjukkan pola ini.
Bedanya, di Aceh, momentum kemanusiaan itu berhasil dikonversi menjadi kesepakatan politik formal.
Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005.
Para pemimpin GAM dan pemerintah RI tahu dunia sedang menonton.
Menolak berdamai berarti mempertontonkan kekerasan di tengah panggung bantuan global.
Menerima perdamaian berarti mengubah narasi, dari “daerah konflik” menjadi “daerah darurat”dan “daerah bangkit”, narasi yang jauh lebih mudah dijual ke donor internasional.
Helsinki melahirkan paket kesepakatan yang luar biasa luas.
Ada otonomi khusus yang kemudian diatur dalam UU No. 11 Tahun 2006.
Ada hak membentuk partai politik lokal.
Ada pengelolaan sebagian besar sumber daya alam sendiri.
Dan ada pula dana otonomi khusus dalam jumlah besar yang mengalir selama 20 tahun.
Secara legal, ini adalah konsesi politik terbesar yang pernah diberikan Jakarta pada daerah pasca-Reformasi.
Dua puluh tahun kemudian, jika kemenangan perdamaian diukur hanya dari absennya suara senjata, Aceh memang menang.
Konflik bersenjata praktis berhenti. Ruang sipil terbuka. Infrastruktur dasar meningkat.
Tetapi ukuran ini malas dan dangkal.
Kemenangan sejati seharusnya diukur dari keadilan sosial, kesejahteraan rakyat, dan martabat warga.
Dengan ukuran ini, ceritanya jauh lebih kompleks.
Baca juga: Dua Dekade Damai Aceh dalam Sorotan Film Dokumenter, Ini Jadwal dan Lokasi Pemutaran Film
Cerita miris paskadamai
Sejak 2008 hingga kini, Aceh menerima lebih dari seratus triliun rupiah dana otonomi khusus.
Ditambah Dana Bagi Hasil migas dan berbagai transfer lain, APBD Aceh termasuk yang tertinggi di luar Jawa.
Namun, meski uang melimpah, angka kemiskinan hanya turun dari 23,5 persen pada 2008 menjadi 14,45 % pada Maret 2023.
Bahkan ketika pada Maret 2025 turun lagi menjadi 12,33 % , Aceh tetap menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan masih masuk 10 besar termiskin nasional.
Indeks Pembangunan Manusia Aceh mandek di peringkat 24 dari 38 provins
Angka stunting tetap mengkhawatirkan, 31,2 % pada 2022, lebih buruk dari rata-rata nasional.
Pendidikan pun tidak jauh berbeda.
Hasil Asesmen Nasional menunjukkan capaian literasi dan numerasi siswa Aceh berada di bawah rata-rata nasional, bahkan tertinggal dari provinsi tetangga seperti Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Ini adalah cermin awal lemahnya fondasi kemampuan dasar yang berdampak jangka panjang.
Transisi dari SMP ke SMA berjalan lambat akibat kombinasi faktor ekonomi, perkawinan dini, dan akses geografis yang sulit.
Sementara itu distribusi guru berkualifikasi belum merata meski rasio guru–murid di atas kertas terlihat baik.
Angka putus sekolah, khususnya di wilayah pedesaan, masih tinggi, diperparah oleh rendahnya akses pendidikan anak usia dini yang mengurangi kesiapan belajar sejak awal.
Rendahnya partisipasi di pendidikan tinggi, dengan disparitas gender di sejumlah daerah, semakin menegaskan bahwa tantangan pendidikan Aceh bersifat sistemik.
Sedari awal telah terasa embriyo efek domino dari lemahnya fondasi PAUD dan SD hingga stagnasi di perguruan tinggi.
Ini artinya tanpa intervensi struktural yang kuat, kesenjangan dengan capaian nasional akan terus melebar
Sejarah mencatat bahwa perjanjian damai di banyak tempat—Irlandia Utara, misalnya—selalu disertai lonjakan investasi di pendidikan sebagai fondasi rekonsiliasi sosial.
Bagimana dengan yang lain?
Dalam politik, partai lokal hadir, tetapi demokrasi di Aceh justru mengeras menjadi oligarki tertutup.
Partai nasional tidak ada apa apanya, setidaknya tidak lebih baik dan hebat dari partai lokal. Dan ini tragis.
Sebagian mantan kombatan menjadi elite administratif yang lihai mengelola proyek, tetapi sering melupakan akar perjuangan.
Rakyat biasa merasa perdamaian ini seperti festival eksklusif yang tiketnya hanya bisa dibeli oleh kelompok tertentu.
Tahun 2027 akan menjadi titik kritis bagi Aceh.
Masa alokasi penuh dana otonomi khusus berakhir, dan jumlah transfer dari pusat akan menurun drastis.
Jika Aceh belum mandiri secara ekonomi, krisis fiskal bisa berubah menjadi krisis sosial.
Tidak akan ada lagi ruang menyalahkan Jakarta atau MoU.
Bagi dunia, Aceh adalah studi kasus unik tentang bagaimana dua kelelahan--militer dan gerilya--dipertemukan oleh satu bencana besar, lalu dikunci dalam perjanjian damai formal.
Tetapi ini juga peringatan bahwa perdamaian adalah proyek panjang.
Bantuan global bisa membuka pintu, tetapi hanya kapasitas lokal yang bisa menjaga pintu itu tetap terbuka.
Aceh berhasil menjaga damai fisik selama dua dekade, prestasi yang patut diapresiasi.
Namun, damai sosial-ekonomi masih berjalan setengah jalan.
Menang atau kalah?
Maka, dua dekade setelah MoU, pertanyaan penting hari ini adalah, apakah Aceh telah memenangkan perdamaian?
Jawabannya bergantung pada definisi “menang” yang kita pilih.
Jika menang berarti tidak ada perang, ya Aceh telah menang.
Jika menang berarti diakui secara politik dan memiliki ruang mengatur diri sendiri, Aceh bisa disebut menang.
Jika menang berarti rakyat terbebas dari kemiskinan struktural, jawabannya belum.
Jika menang berarti generasi pasca-MoU hidup lebih sehat, lebih cerdas, dan lebih sejahtera daripada generasi sebelumnya, jawabannya belum.
Jika menang berarti keadilan sosial bagi seluruh rakyat Aceh, jaraknya masih panjang.
Dan sejarah--seperti selalu diingatkan oleh para ahli--tidak menunggu mereka yang lambat mengambil keputusan.
Sejarah Aceh dua dekade lalu mengajarkan satu hal yang seharusnya menjadi peringatan permanen.
Perang berakhir bukan karena satu pihak kalah total, tapi karena dua pihak sama-sama kelelahan.
Tsunami hanya mempercepat kesepakatan, bukan menciptakan kasih sayang politik.
MoU Helsinki adalah sebuah kontrak moral dingin, bukan janji manis.
Maka, jika kita memperlakukannya seperti pusaka yang hanya dipajang tanpa dirawat, ia akan lapuk.
Dan ketika itu terjadi, yang runtuh bukan hanya dokumen, tapi seluruh rasa percaya yang dibangunnya.
Membangun keadilan dalam damai
Dua dekade bukan waktu singkat, tetapi juga bukan akhir.
Waktu yang tersisa sebelum 2027 harus dipakai untuk reorientasi struktural- dari fiskal ke produktif, dari birokrasi ke pelayanan, dari simbol ke substansi.
Jika mereka yang dahulu sanggup mengangkat senjata demi cinta pada tanah ini bisa menandatangani damai, maka mereka juga harusnya bisa membangun keadilan dalam damai.
Bukan lewat slogan, melainkan kerja nyata yang memastikan anak-anak Aceh bisa bermimpi tanpa takut gagal karena sistem yang lumpuh.
Pada akhirnya, sejarah tidak akan menulis perdamaian Helsinki sebagai kemenangan hanya karena tidak ada perang.
Sejarah akan menulisnya sebagai kemenangan jika, dan hanya jika, damai itu berhasil melahirkan kesejahteraan dan martabat bagi semua rakyat Aceh.(*)
*) PENULIS adalah Sosiolog dan Guru Besar Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.
Artikel dalam rubrik Pojok Humam Hamid ini menjadi tanggung jawab penulis.