Peneliti Gempa Ingatkan, Jakarta Bisa Bernasib Seperti Aceh

Editor: Yocerizal
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

MENANGIS - Warga Aceh menangis di atas pusara para korban di Kuburan Massal, Ulee Lheue, Kota Banda Aceh, pada peringatan gempa dan tsunami Aceh ketiga, Rabu, 26 Desember 2007.

SERAMBINEWS.COM - Gempa bumi dengan magnitudo 4,9 yang mengguncang wilayah Bekasi, Jawa Barat, pada Rabu (20/8/2025) malam terasa hingga ke Jakarta. Warga pun sempat dibuat panik.

Informasi resmi BMKG, pusat gempa berada di koordinat 6.52 LS dan 107.25 BT, tepatnya di darat sekitar 19 km tengara Kabupaten Bekasi dengan kedalaman 10 kilometer.

Hingga Kamis (21/8/2025) pagi, BMKG mencatat adanya 13 gempa susulan. Gempa susulan dengan magnitudo terbesar M 3,9 dan magnitudo terkecil M 1,7. Adapun kejadian gempa tersebut dirasakan sekali

"Jumlah event susulan 13. Magnitudo terbesar M 3,9 dan magnitudo terkecil M 1,7," kata Direktur Gempabumi dan Tsunami BMKG, Daryono.

Penyebab Gempa

Kepala Badan Geologi, Muhammad Wafid menjelaskan, analisis sumber gempa menunjukkan adanya pergerakan sesar naik pada zona Sesar Baribis.

“Analisis parameter sumber gempa bumi menunjukkan bahwa gempa ini diakibatkan oleh sesar naik pada zona Sesar Baribis,” ujar Wafid di Bandung, Rabu, dikutip dari Antara.

Untuk diketahui, struktur Sesar Baribis ini diperkirakan membentang sepanjang 100 kilometer, terbagi ke dalam beberapa segmen.

Segmen Jakarta melintas di sisi selatan Ibu Kota, sementara di bagian timur terdapat segmen Bekasi–Purwakarta.

Baca juga: Penyebab Wamenaker Immanuel Ebenezer Ditangkap KPK, Diduga Terkait Kasus Pemerasan Sertifikasi K3

Baca juga: Alhamdulillah, Insentif Rp 2,1 Juta untuk Guru Cair, Ini Alur dan Dokumen yang Diperlukan

Menurut penelitian, Sesar Baribis ini merupakan pemicu utama kejadian gempa-gempa besar yang pernah terjadi di Jakarta.

Dua peristiwa besar tercatat dalam sejarah Batavia, yaitu gempa pada 22 Januari 1780 dan 10 Oktober 1834.

Catatan Arsip Gempa 1780 dan 1834

Arsip kolonial Belanda menggambarkan betapa kerasnya guncangan gempa yang terjadi di Jakarta (dulu Batavia) pada tahun 1780 dan 1834.

Catatan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW) dan Dagregister VOC menggambarkan situasi Batavia saat gempa tahun 1780 terjadi.

“Pada jam delapan pagi, bumi bergetar keras di Batavia. Dinding-dinding rumah retak, atap runtuh, dan orang-orang berlarian ke jalan dengan panik,"

"Banyak bangunan roboh, sementara mereka yang selamat berdiri ketakutan di udara terbuka,” tulis catatan tersebut.

Terjemahan catatan tersebut menggambarkan suasana yang cukup kacau di Batavia. Warga berhamburan ke jalan, rumah-rumah retak dan roboh, dan kepanikan melanda pusat kota.

Dari gambaran catatan ini, intensitas guncangan diperkirakan setara VII–VIII MMI (Modified Mercalli Intensity), cukup kuat untuk meruntuhkan bangunan bata tanpa rangka.

Baca juga: VIDEO - Gebrak Meja Saat Sidak, Kini Wamenaker Immanuel Ebenezer Terseret OTT KPK

Baca juga: Korban Selamat Kecelakaan di Jalan Tol Sibanceh- Padang Tiji Dirujuk ke Banda Aceh

Lima dekade kemudian, gempa 1834 kembali memorakporandakan kawasan Batavia dan sekitarnya. Arsip Javasche Courant menulis catatan suasana yang terjadi saat gempa terjadi.

Meski dampaknya di Batavia tidak separah gempa 1780, namun gempa ini juga menyebabkan beberapa kerusakan.

“Di Buitenzorg, istana gubernur jenderal hancur sebagian,"

"Di Batavia, getaran terasa kuat, banyak rumah mengalami keretakan besar dan orang-orang dicekam ketakutan. Mereka mengira dunia akan runtuh,” tulis catatan tersebut.

Peneliti memperkirakan guncangan gempa 1843 ini di Batavia mencapai VII–VIII MMI, sementara di Bogor (Buitenzorg) bahkan lebih kuat, sekitar VIII–IX MMI.

Sayangnya saat itu belum ada teknologi akurat untuk mencatat secara detail besaran gempa yang mengguncang Batavia pada 1780 dan 1834.

Namun, dari suasana yang tergambar dalam catatan arsip dapat diperkirakan skala Modified Mercalli Intensity (MMI) yang terjadi.

Bisa Bernasib Seperti Aceh

Namun ancaman satu-satunya bukan hanya berasal dari sesar Baribis. Zona Megathrust Selat Sunda juga menjadi salah satu ancaman utama bagi Jakarta.

Zona ini sewaktu-waktu bisa pecah dan menghasilkan gempa dahsyat dengan kekuatan yang diperkirakan hingga magnitudo 9,1.

Baca juga: Gadis Meukek - Aceh Selatan Hilang 3 Bulan, Sang Ibu Khawatir Jadi Korban Perdagangan Orang

Baca juga: VIDEO - 40.000 Prajurit Mesir Menuju Perbatasan Gaza, Siap Lawan Israel ?

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa mengatakan potensi bencana gempa megathrust di wilayah selatan Jawa bisa terjadi kapan saja dan dapat memicu tsunami.

Bahkan hingga skala besar seperti yang terjadi di Aceh pada 20 tahun silam.

"Potensi megathrust ini dapat memicu guncangan gempa yang besar dan tsunami, yang menjalar melalui Selat Sunda hingga ke Jakarta dengan waktu tiba sekitar 2,5 jam," ujar Rahma usai menghadiri acara peringatan 20 tahun tsunami Aceh di Banda Aceh, Kamis (26/12/2024), dikutip dari laman resmi BRIN.

Hasil simulasi yang dilakukan BRIN dan tim peneliti dari berbagai institusi menunjukkan tinggi gelombang tsunami imbas gempa megathrust Selat Sunda diperkirakan mencapai 20 meter di pesisir selatan Jawa, 3-15 meter di Selat Sunda, dan sekitar 1,8 meter di pesisir utara Jakarta.

Penelitian ini menunjukkan fenomena serupa pernah terjadi dalam sejarah, yakni tsunami Pangandaran 2006 yang dipicu marine landslide di dekat Nusa Kambangan.

"Energi yang terkunci di zona subduksi selatan Jawa terus bertambah seiring waktu,"

"Jika dilepaskan sekaligus, goncangan akan memicu tsunami tinggi yang bisa berdampak luas, tidak hanya di selatan Jawa tetapi juga di wilayah pesisir lainnya," tutur Rahma.

Menurut Rahma daerah perkotaan seperti Jakarta memiliki kepadatan penduduk tinggi dan sedimen tanah yang rentan mengamplifikasi goncangan.

Dengan demikian, upaya mitigasi juga harus mencakup retrofitting atau penguatan struktur bangunan.

"Retrofitting sangat penting, terutama untuk bangunan di kawasan padat penduduk, karena goncangan kuat berpotensi menyebabkan kerusakan masif dan korban jiwa," jelasnya.

Baca juga: Sosok & Sepak Terjang Rudy Tanoe, Kakak Hary Tanoe Terjerat Korupsi Bansos,Bikin Negara Rugi Rp200 M

Baca juga: Mualem Tegaskan Komitmen Jalankan Keberlanjutan Perdamaian Aceh, Siap Kawal Hasil Rekomendasi

Eks Ketua Ikatan Alumni Akademi Meteorologi dan Geofisika (IKAMEGA) Subardjo dalam acara Sarasehan Nasional IKAMEGA pada 2018 silam sempat menjelaskan soal ancaman tersebut.

"Berdasarkan segmentasi megathrust pada Peta Gempa Bumi Nasional pada tahun 2017, kita ketahui ada dua megathrust yang dekat dengan Jakarta, yang bisa mempengaruhi kerusakan bangunan atau infrastruktur yang ada di Jakarta," tutur Subardjo saat itu.

Subardjo menyebut kekhawatiran para ilmuwan pada zona Megathrust Selat Sunda dikarenakan saat ini merupakan zona seismic gap.

Menurutnya, jika Megathrust Selat Sunda pecah, bukan tidak mungkin Jakarta akan mengalami nasib serupa seperti Aceh pada 2004 silam.

"Jika terjadi, Megathrust Selat Sunda itu berpotensi gempa dengan 8,7 SR, setara dengan 9.0 Magnitude Moment atau MW. Itu setara dengan gempa di Aceh (Desember 2004), sehingga akan menimbulkan tsunami," kata Subardjo.

"Tapi yang menjadi kekhawatiran bagi kita adalah bukan tsunaminya, tapi getarannya atau goncangannya, mengingat jarak antara Megathrust Selat Sunda dengan Jakarta itu sekitar 200-250 km,"

"Di bawah tanah Jakarta itu adalah tanah endapan atau aluvial yang bisa menimbulkan amplifikasi atau pun besaran-besaran amplitudo," imbuhnya.(*)

Baca juga: Putin tak Peduli dengan Nasib Mantan Marinir Indonesia Satria Kumbara

Baca juga: Konferensi 20 Tahun Damai Hasilkan 10 Rekomendasi

Berita Terkini