Yang membedakan Tu Sop bukan hanya sanad keilmuannya, melainkan keberaniannya menafsirkan ulang peran ulama di era digital dan demokrasi.
Ayah Sop bagaikan kolam ilmu yang mengalir dari dayah kepada kami, di tengah riuhnya transformasi sosial dan politik Aceh pasca-konflik.
Baca juga: Biografi dan Perjalanan Hidup Tu Sop, Cawagub Aceh yang Miliki Visi ‘Berlomba-lomba Dalam Kebaikan’
Satu hal lain yang membuat kami sangat terkesan, Ayah Sop yang dalam pandangan kami merupakan salah satu ulama paling berpengaruh di Aceh, nyaris tak pernah merasa lebih hebat dari teman diskusinya.
Saya yang bukan siapa-siapa, beliau perlakukan bagaikan seorang sahabat.
Saat pertama berjumpa pada sekira tahun 2017 lalu, beliau sudah memanggil saya dengan sapaan “Bang”.
Sebuah penghargaan besar bagi saya yang bukan siapa-siapa.
Saat itu, kami diundang datang ke dayah beliau, berdiskusi bagaimana menghadirkan warna “dayah multimedia” di Kompleks Babussalam Al-Aziziyah.
Dari sini kami melihat, Ayah Sop membangun Dayah ini lebih dari sekedar lembaga pendidikan.
Beliau menciptakan ekosistem dakwah yang terintegrasi dengan media, ekonomi, dan pemberdayaan masyarakat.
Radio Yadara dan produk air minum Ie Yadara adalah contoh nyata bagaimana nilai-nilai dayah bisa hidup dipadukan dengan inovasi bisnis.
Beliau mengajarkan bahwa kemandirian ekonomi adalah bagian dari keinginan dakwah.
Pembawa harapan baru
Kiprah Ayah Sop di ranah publik semakin kuat saat dipercaya memimpin Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA).
Di sana, Ayah Sop menjadi suara moderat yang merangkul perbedaan, memperkuat posisi ulama dalam kebijakan publik, dan mendorong kolaborasi antara dayah dan pemerintah.
Dalam berbagai forum, Ayah Sop tampil sebagai komunikator ulung--tegas dalam prinsip, namun lembut dalam pendekatan.
Puncak keterlibatannya di ranah politik terjadi saat ia maju sebagai Calon Wakil Gubernur Aceh pada Pilkada 2024.