Citizen Reporter

Menikmati Aneka Kuliner di Ampang, Kuala Lumpur

Biaya transportasi pun juga relatif lebih murah jika dibandingkan dengan ongkos naik pesawat dari Aceh ke Jakarta.

Editor: mufti
IST
CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari  Ampang, Kuala Lumpur,  Malaysia 

CHAIRUL BARIAH, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Kebangsaan Indonesia (Uniki) dan Anggota Forum Aceh Menulis (FAMe) Chapter Bireuen, melaporkan dari  Ampang, Kuala Lumpur,  Malaysia

Salah satu negara yang paling sering dikunjungi oleh masyarakat Aceh adalah Malaysia, karena dari segi bahasa kita masih serumpun Melayu, di samping berdekatan jarak tempuhnya dari Provinsi Aceh.

Biaya transportasi pun juga relatif lebih murah jika dibandingkan dengan ongkos naik pesawat dari Aceh ke Jakarta.

Alasan lainnya, karena kuliner Malaysia banyak yang menyerupai kuliner Aceh, terutama dalam penggunaan rempah-rempah pada menunya, seperti nasi lemak (kalau di Aceh dinamakan nasi gurih). Bumbu kuah kari kambing dan kari ayamnya pun mirip dengan kuah kari orang Aceh.

Bicara kuliner Melayu, yang paling saya sukai adalah nasi kandar. Aromanya menggugah selera.

Alhamdulillah, saya dan keluarga masih diberi kesempatan untuk mengunjungi Malaysia, tepatnya di Kuala Lumpur. Kota ini tak pernah mati. Setiap waktu aktivitas masyarakatnya terus berdenyut, seakan tidak pernah tidur. Pertumbuhan ekonomi masyarakatnya pun semakin hari semakin meningkat.

Terbang dari Bandara Sultan Iskandar Muda, Blang Bintang, Aceh Besar, pukul 11.00 WIB dengan maskapai Super Air Jet, kami tiba di Bandara Internasional Kuala Lumpur pada pukul 13.30 waktu setempat.

Dalam perjalanan ini kami didampingi oleh ananda yang sulung. Dari Jakarta ia langsung menuju Kuala Lumpur menggunakan maskapai Trans Nusa. Jadwal ketibaannya sama dengan kami. Tak ada kesepakatan untuk bertemu di suatu tempat, tapi tanpa kami sadari ternyata kami satu rombongan dalam perjalanan menuju conveyor bagasi, karena pesawatnya 25 menit lebih cepat tibanya.

Untuk menuju tempat pengambilan bagasi, kami harus naik kereta api bandara, kemudian  melewati pelaporan imigrasi bagi pendatang asing. Setelah itu, barulah kami ke bagian pengambilan bagasi  dan menuju ruang tunggu penjemputan di pintu keluar bandara.

Sebagai informasi, minimal tiga hari sebelum  berangkat  setiap warga asing yang akan masuk ke Malaysia diwajibkan mengisi biodata secara online melalui Malaysia Digital Arrival Card (MDAC), di bawah pengawasan Jabatan Imigresen Malaysia, Bahagian Keselamatan & Pasport.

Malaysia dikenal juga dengan pelayanan kesehatan yang ramah. Ini menjadi salah satu alasan banyaknya  masyarakat Aceh yang berobat ke negeri jiran ini, termasuk saya dan keluarga.

Akhirnya, setelah mengambil bagasi, kami menunggu dijemput oleh adik kandung saya, Yasri. Dia telah menetap ± 23 tahun di Malaysia. Pernah menjadi guru honorer di salah satu sekolah kebangsaan di Kedah, yang akhirnya dia tinggalkan dengan segudang cerita.  Saat ini dia telah menetap di Kuala Lumpur dan mengelola usaha menjahit, di samping mengurus rumah tangga sebagai istri.

Tujuan kami menyeberangi lautan ke Malaysia adalah sebagai ikhtiar untuk mencari kesembuhan bagi putra kami yang bungsu dengan menepis segala anggapan yang negative. Bukankah Allah telah menyediakan penawar untuk setiap penyakit, tinggal kita saja berusaha dan berjuang untuk mendapatkannya, walaupun penuh tantangan.

Kami bermalam di rumah tinggal sederhana berlantai dua, yang dihuni  adik  saya dan suaminya bernama Razali. Lokasinya di Cheras,  berada di kawasan Kota Kuala Lumpur.

Menurut cerita Razali, permukiman dasar yang ada di kawasan ini akan dihancurkan dengan pembayaran ganti rugi tentunya, kemudian akan dibangun gedung baru milik Pemerintah Malaysia.

Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved