Opini

Utang Luar Negeri: Bumerang atau Bahan Bakar Pertumbuhan Ekonomi 

Dalam situasi ini, utang luar negeri (ULN) hadir sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi penyelamat

Editor: Ansari Hasyim
IST
Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 

Oleh: Prof Dr Apridar SE MSi, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

 INDONESIA, seperti banyak negara berkembang lainnya, menghadapi dilema klasik: membutuhkan dana besar untuk membangun infrastruktur, mendanai program sosial, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara sumber pendapatan domestik seringkali belum mencukupi. 

Dalam situasi ini, utang luar negeri (ULN) hadir sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi penyelamat yang mendanai pembangunan. Di sisi lain, ia bisa menjadi bumerang yang membebani generasi mendatang jika dikelola dengan ceroboh.

Lalu, di manakah posisi Indonesia saat ini? Apakah utang kita sudah pada taraf membahayakan, atau justru masih dalam batas wajar sehingga mampu menjadi bahan bakar bagi pertumbuhan ekonomi?

Berdasarkan analisis data dari Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan periode 2018-2022, jawabannya cenderung optimis. Rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Debt to GDP Ratio (DGDP) secara konsisten berada di bawah 40 persen. 

Angka ini masih jauh di bawah batas maksimal 60 % yang diamanatkan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan juga berada dalam koridor aman yang ditetapkan IMF (26 % -58 % ) serta Bank Dunia (21 % -49 % ).

Ini adalah indikator terpenting. Ia menunjukkan bahwa besarnya utang kita masih proporsional dengan ukuran ekonomi nasional. Dengan PDB yang terus bertumbuh, kemampuan negara untuk menanggung beban utang juga semakin kuat. 

Utang digunakan untuk membiayai proyek-proyek strategis seperti pembangunan jalan tol, bandara, dan pembangkit listrik, yang pada ujungnya diharapkan akan memacu produktivitas dan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, sebagaimana ditemukan dalam penelitian Rafikhalif & Nirmalawati (2021).

Namun, gambaran yang sehat dari rasio DGDP tidak serta merta menutup semua celah risiko. Ada indikator lain yang perlu dicermati, yaitu Debt Service Ratio (DSR). Rasio ini mengukur besarnya pembayaran pokok dan bunga utang dibandingkan dengan penerimaan ekspor. 

Data menunjukkan bahwa pada periode 2019-2020, DSR Indonesia sempat menyentuh angka di atas 26 % , melampaui batas aman 20 % menurut Guidotti-Greenspan Rule.

Ini adalah lampu kuning. Meski pada 2022 angka ini turun drastis menjadi 16,71 % , fluktuasinya mengingatkan kita bahwa Indonesia pernah mengalami periode di mana beban membayar utang cukup memberatkan compared to devisa yang masuk dari ekspor. 

Hal ini membuat kita rentan terhadap gejolak harga komoditas di pasar global. Jika harga ekspor andalan seperti batu bara dan minyak sawit turun, sementara kewajiban bayar utang tetap, tekanan pada neraca pembayaran bisa terjadi.

Indikator ketiga, Debt to Export Ratio (DER), juga sempat memberikan sinyal peringatan. Pada puncak pandemi 2020, rasio ini melonjak hingga 214,62 % , melebihi batas aman 200 % yang ditetapkan Bank Dunia. Artinya, nilai utang luar negeri kita pada tahun itu lebih dari dua kali lipat nilai ekspor. 

Untungnya, situasi ini berhasil dikendalikan. Pada 2022, DER kembali turun ke level 118,71 % , berkat pemulihan ekonomi dan kinerja ekspor yang membaik. Ini menunjukkan bahwa upaya diversifikasi ekonomi dan meningkatkan daya saing ekspor non-migas mutlak diperlukan untuk mengurangi kerentanan.

Terakhir, rasio cadangan devisa terhadap utang jangka pendek (FXR/STED) Indonesia sangat kuat, selalu berada di atas 130?hkan mendekati 166 % pada 2021. Ini adalah bantal pengaman yang sangat penting. 

Cadangan devisa kita yang kini berkisar sekitar 140 miliar dolar AS lebih dari cukup untuk menutupi semua utang luar negeri yang jatuh tempo dalam waktu satu tahun. Kekuatan ini melindungi Indonesia dari krisis likuiditas atau serangan spekulasi terhadap nilai rupiah, yang merupakan momok yang pernah menghancurkan perekonomian nasional pada 1998.

Lalu, bagaimana dampak keseluruhan utang ini terhadap pertumbuhan ekonomi?

Bukti empiris menunjukkan bahwa utang luar negeri pemerintah memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang, sebagaimana diteliti oleh Karimah (2017) dan diperkuat oleh Rafikhalif & Nirmalawati (2021). 

Utang telah menjadi instrumen vital untuk menutup kesenjangan investasi, membiayai defisit transaksi berjalan, dan yang terpenting, membangun infrastruktur yang menjadi tulang punggung logistik dan konektivitas nasional.

Namun, penelitian Karimah juga mengingatkan adanya “efek threshold”. Ditemukan bahwa jika rasio utang terhadap PDB melampaui 48 % , dampaknya justru akan berbalik menjadi negatif dan signifikan menghambat pertumbuhan. 

Ini terjadi karena sumber daya yang seharusnya untuk investasi produktif justru habis untuk membayar bunga dan cicilan utang (crowding out effect).

Kesimpulannya, analisis terhadap empat rasio kunci utang luar negeri Indonesia hingga 2022 menunjukkan bahwa kita belum berada pada kondisi over-borrowing. Utang masih dikelola dengan prudent dan berada dalam batas aman. Ia berhasil berperan sebagai bahan bakar pertumbuhan, bukan menjadi bumerang.

Akan tetapi, kita tidak boleh berpuas diri. Peringatan dari rasio DSR dan DER yang  sempat melewati batas, serta temuan threshold 48 % , harus menjadi kompas bagi  kebijakan keuangan negara ke depan. Pemerintah harus terus: Pertama memastikan utang dialokasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan memiliki multiplier effect tinggi bagi ekonomi. 

Jangan sampai hutang digunakan untuk konsumsi atau subsidi terhadap impor yang tidak meningkatkan produksi. 

Kedua memperkuat fundamental ekonomi dengan mendorong diversifikasi ekspor dan menarik investasi langsung untuk mengurangi ketergantungan pada pinjaman. Apabila fondasi ekonomi yang dapat mendorong ekspor lemah, perolehan devisa untuk melunasi kewajiban kedepan juga akan teganggu. 

Ketiga mengelola struktur utang dengan memperhatikan jangka waktu dan nilai tukar untuk memitigasi risiko gejolak pasar keuangan global. Bank Indonesia perlu melakukan pengawasan secara ketat, agar dapat mengantisipasi secara dini atas berbagai kemungkinan yang terjadi. 

Keempat meningkatkan penerimaan pajak secara optimal untuk memperkuat kemandirian anggaran dan mengurangi celah defisit. Sumber-sumber penerimaan yang belum mencapai target secara rasional, perlu diperhatikan secara serius penataannya.

Dengan langkah-langkah bijak tersebut, utang luar negeri akan tetap menjadi sahabat bagi pembangunan, dan bukan menjadi musuh yang membayangi masa depan generasi Indonesia. 

Semoga petugas yang diberi amanah untuk tugas mulia tersebut dapat mengoptimalkan tugas dan fungsinya untuk Kebajikan bangsa dan negara masa depan yang lebih baiklagi kedepan.

Membangan serta menata kembali pengelolaan transaksi perdagangan luar negeri yang lebih baik dengan cara membangun fondasi infrastruktur produksi terhadap komoditi eksport merupakan suatu keharusan, agar tabungan devisa untuk keberlanjutan transaksi ekonomi jangka panjang dapat tercipta secara berkelanjutan. 

Mencintai produksi dalam negeri merupakan salah satu langkah bijak dalam penguatan kemandirian ekonomi jangka panjang yang berkelanjutan.

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved