100 Tahun Hasan Tiro
100 Tahun Hasan Tiro: Mengenal Sosok Brilian, Sang Deklarator GAM dan Jejak Perjuangannya
Hasan Tiro adalah seorang intelektual, sastrawan, dan diplomat ulung yang mengorbankan segalanya demi perjuangan yang diyakininya.
Penulis: Yeni Hardika | Editor: Nur Nihayati
SERAMBINEWS.COM - Tanggal 25 September 2025 menjadi sebuah momentum penting.
Hari ini menandai 100 tahun kelahiran Teungku Hasan Muhammad di Tiro, sosok sentral dalam sejarah modern Aceh.
Lebih dari sekadar deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Tiro adalah seorang intelektual, sastrawan, dan diplomat ulung yang mengorbankan segalanya demi perjuangan yang diyakininya.
Jejaknya mengalir dari gemerlap kota New York ke dinginnya hutan Aceh, meninggalkan warisan yang hingga kini masih diperbincangkan.
"Saya akan merasa gagal jika tidak mampu mewujudkan hal ini, harta dan kekuasaan bukanlah tujuan hidup saya dan bukan pula tujuan perjuangan ini. Saya hanya ingin rakyat Aceh makmur sejahtera dan bisa mengatur dirinya sendiri.”
Kutipan yang tertuang dalam buku hariannya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary (1981), adalah cerminan dari idealismenya.
Hasan Tiro meninggalkan kesuksesan besar dalam dunia bisnis di Amerika Serikat, di mana ia memiliki relasi dengan 50 pengusaha ternama AS dan menjalin hubungan baik dengan para diplomat, termasuk Raja Faisal dari Arab Saudi.

Ia memimpin delegasi bisnis dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara.
Namun, ia tidak pernah mencampuradukkan urusan bisnis dengan ambisi politiknya.
Dibalik semua kesuksesan itu, Hasan Tiro adalah seorang Aceh yang tidak pernah melupakan akar dan cita-citanya.
Baca juga: Peringati 100 Tahun Teungku Hasan Tiro, Buku The Price of Freedom Terjemahan Haekal Afifa Dibedah
Intelektual dan sastrawan di tengah perang
Pengetahuan sejarahnya yang mumpuni menjadi pondasi bagi perjuangannya.
Ia meyakini bahwa Aceh tidak pernah menyerah kepada penjajah Belanda, dan perlawanannya adalah kelanjutan dari sejarah kedaulatan yang pernah dimiliki.
Ia menuangkan semua ide perjuangan gerilya dan diplomatik dalam beberapa buku, seperti Acheh in World History (1968) dan The Struggle for Free Acheh (1976), yang efektif membuka mata dunia tentang kedaulatan Aceh.
Namun, yang paling otentik adalah tulisannya dalam naskah drama "The Drama of Achehness History”.
Tulisan tersebut dituangkan Hasan Tiro di tengah medan gerilya yang penuh tantangan, membuktikan bahwa dirinya memang seorang sastrawan handal.

Naskah drama epik tersebut diketik dengan ketekunan luar biasa, mulai dari pukul 7 pagi hingga 6 sore.
Bahkan sesekali ia harus berhenti, ketika pengawal memberitahu bahwa pasukan musuh sedang mendekat.
“Kadang-kadang ketika Teungku mengetik, seorang pengawal dari balai penjagaan mesti mendatanganinya untuk menyuruh Tengku berhenti mengetik karena penjaga melihat pasukan musuh yang lewat dekat mereka,” kata mantan Menteri Pendidikan Negara Aceh Sumatera, Dr Husaini M Hasan MD dalam bab pendahuluan naskah tersebut.
Naskah drama tersebut kemudian diangkat menjadi sandiwara radio, dengan para prajurit GAM sebagai pemainnya, untuk menyebarkan semangat perjuangan.

Rekaman suara Hasan Tiro dari era 70-an dan 80-an yang beredar luas di internet juga menjadi bukti otentik bahwa ia tidak hanya menjadi ideolog, tetapi juga seorang guru spiritual dan sejarah bagi para pengikut setianya.
Suara aslinya yang kharismatik masih dapat didengarkan hingga sekarang.
Baca juga: 100 Tahun Hasan Tiro: Arsitek Narasi Keacehan
Pebisnis yang sukses
Dalam bukunya, The Price of Freedom: The Unfinished Diary of Teungku Hasan di Tiro, disebutkan meski pun berada dalam pengintaian Pemerintah Indonesia, selama di Amerika, Hasan Tiro merasa dirinya sukses besar dalam dunia bisnis.
Dilansir dari Serambinews.com (4/12/2025), Hasan Tiro masuk ke jaringan bisnis besar dan berhasil menembus lingkaran pemerintahan di banyak negara, seperti di AS, Eropa, Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan, kecuali Indonesia.
Ia menghindari berhubungan dengan Indonesia.
Dari hasil keuletannya itu, Hasan Tiro memiliki relasi bisnis dekat dengan 50 pengusaha ternama AS.
Perusahaan-perusahaan mereka bergerak dalam bidang petrokimia, pengapalan, konstruksi, penerbangan, manufaktur, dan industri pengolahan makanan.
Hasan Tiro punya hubungan kerja sama dengan beberapa perusahaan itu.
Sebagai seorang konsultan, dia banyak memimpin delegasi-delegasi pengusaha AS untuk bernegosiasi dalam transaksi bisnis besar di Timur Tengah, Eropa, dan Asia.
Salah satu kunjungan adalah tahun 1973. Hasan Tiro melawat ke Riyadh dan disambut Raja Faisal.
Ada dua hadiah yang dipersembahkan Hasan Tiro kepada Raja Arab Saudi itu.
Satu potret Raja Faisal berlatar belakang industri Arab Saudi.
Dan, satu lagi adalah album koleksi perangko bergambar Al- Malik Tengku Tjhik di Tiro.
Ini diberikan untuk mengingatkan Raja Faisal akan kepahlawanan Aceh, sekaligus kakek buyut yang dikaguminya.
Baca juga: Hasan Tiro, Surat Ultimatum dan Tragedi Pulot Cot Jeumpa Aceh Besar
Meskipun Hasan Tiro datang sebagai ketua konsorsium pengusaha Amerika, dia masih tetap seorang Aceh, bukan warga Indonesia.
Rekan-rekan bisnisnya tidak tahu apa yang ada dalam benak Tgk Hasan Tiro yang tinggal di pengasingan.
Terutama tentang ambisinya mewujudkan kemerdekaan Aceh Sumatera.

Ia tidak pernah meminta simpati, nasihat, dan dukungan mereka.
Karenanya, nama dan perusahaan para pengusaha AS itu tidak disebutkan Hasan Tiro dalam buku hariannya yang belum selesai tersebut.
Sisi lain Sang Deklarator
Di balik citranya yang tegas, Hasan Tiro memiliki sisi humanis yang menyentuh.
Dikutip dari Serambinews.com, (4/12/2024), Hasan Tiro dikenal sebagai sosok yang disiplin dan sangat menjaga penampilannya, selalu mengenakan jas dan sepatu pantofel.
Ia bahkan lebih suka menerima tamu yang berpenampilan rapi, termasuk para wartawan yang meliput kepulangannya pada tahun 2008.

Ia juga sosok penyayang, terutama kepada putranya, Karim Tiro, yang ia tinggalkan di Amerika Serikat.
Nama "Karim" begitu istimewa hingga ia mendedikasikan naskah dramanya untuk sang putra dan menamai salah satu kamp di hutan dengan nama tersebut.

Karim, anak semata wayangnya dari pernikahan dengan Dora, seorang warga Amerika keturunan Yahudi yang memeluk Islam, kini diketahui menetap di New York sebagai akademisi dan asisten profesor.
Sampai akhir hayat ayahnya, Karim tidak pernah muncul ke publik, meninggalkan misteri di balik hubungan mereka.
Selain itu, siapa sangka bahwa sang deklarator GAM ini ternyata sangat menyukai soft drink Coca-Cola.
Minuman ini kerap menemaninya hingga usia 84 tahun, sebuah kebiasaan yang ia bawa sejak menetap di New York.
Baca juga: Demi Merdekakan Aceh, Hasan Tiro Tinggalkan Kemewahan di AS & Anak Semata Wayang: Karim yang Misteri
Warisan Hasan Tiro
Perjuangan Hasan Tiro melahirkan simbol-simbol yang kini menjadi bagian dari identitas Aceh.
Salah satunya adalah Bendera Bulan Bintang.
Bendera Bulan Bintang diciptakan sebagai simbol perjuangan GAM.
Pada masa pemerintahan Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf tahun 2013, bendera tersebut resmi ditetapkan sebagai bendera Provinsi Aceh.
Penetapan ini dituangkan dalam Qanun Aceh Nomor 3 tahun 2013.
Disebutkan Bendera Aceh berbentuk segi empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 dari panjang, 2 buah garis lurus putih di bagian atas, 2 buah garis lurus putih di bagian bawah, 1 garis hitam di bagian atas, 1 garis hitam di bagian bawah.
Setiap garis dan warna pada bendera ini memiliki makna mendalam.
Pada bagian tengah bendera terdapat gambar bulan bintang dengan warna dasar merah, putih, dan hitam.
Garis hitam bermakna untuk mengenang jasa para syuhada yang telah syahid dalam perjuangan.
Garis putih bermakna kesucian perjuangan atau perang di jalan Allah (prang sabi).
Lambang bintang bulan bermakna Islam sebagai hukum tertinggi mengatur tatanan pemerintah.
Sedangkan latar belakang bendera berwarna merah adalah simbol darah para syuhada dalam memperjuangkan dan mempertahankan agama Islam dan tanah air Aceh.
Bendera bintang bulan ini juga disebut sebagai Pusaka Nanggroe.
Sampai sejauh ini tidak diketahui kapan awal mulanya bendera ini gunakan dalam sejarah perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah.
Namun sejak Tgk Hasan Muhammad Ditiro mendeklarasikan GAM pada 3 Desember 1976, bendera ini sudah digunakan.
Baca juga: Jejak Perjuangan Deklarator GAM Tgk Hasan Tiro Memimpin Gerilya, Sosok Brilian yang tak Tergantikan
Sejatinya Tgk Hasan Muhammad Ditiro adalah sosok yang diangkat rakyat Aceh sebagai Wali Nanggroe.
Namun cita-cita itu terputus di tengah jalan menyusul deklarator GAM itu menghadap Sang Khalik.
Status Wali Nanggroe pun dijabat Tgk Malik Mahmud Al Haytar, rekan seperjuangan Hasan Tiro.
Lembaga Wali Nanggroe juga menjadi salah satu simbol kekhususan Aceh, dan poin penting yang disepakati dalam perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM di Helsinki 15 Agustus 2005.
Dengan adanya Lembaga Wali Nanggroe ini, Pemerintah Aceh turut membangun sebuah 'istana' megah di Jalan Soekarno-Hatta, Aceh Besar sebagai kantor menjalankan fungsi dan tugas-tugasnya di pemerintahan.
Bersamaan dengan itu, di Aceh juga dibentuk Partai Politik Lokal sebagai jalur perjuangan politik rakyat Aceh di parlemen.
Akhiri perjalanan di pangkuan tanah kelahiran
Seperti sudah mendapat panggilan hati, Hasan Tiro akhirnya kembali ke Aceh, tanah kelahirannya setelah 30 tahun mengasingkan diri dan menetap di Stockhlom, Swedia.
Hasan Tiro pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008.
Namun kepulangan itu ternyata menjadi akhir dari perjuangannya di organisasi GAM.
Pada 3 Juni 2010, Hasan Tiro meninggal dunia.
Ia dimakamkan di Desa Murue, Indrapuri, Aceh Besar, tepat di samping makam kakek buyutnya, Pahlawan Nasional Tengku Cik di Tiro.

Hasan Tiro menghembuskan nafas terakhirnya di RSUZA Banda Aceh, setelah 13 hari dirawat karena komplikasi penyakit, terutama infeksi saluran pernapasan.
Sehari sebelum ia menutup mata untuk terakhir kalinya, Pemerintah Indonesia resmi memulihkan status WNI Hasan Tiro.
Surat itu disampaikan Menkopolhukkam Djoko Suyanto kepada perwakilan mantan petinggi GAM, Malik Mahmud dan kerabat dekat Tiro, di Banda Aceh.
Dalam surat itu disebutkan salah-satu pertimbangannya, yaitu alasan kemanusiaan, khusus dan politik.
Pertimbangan lainnya adalah nota kesepahaman damai antara Indonesia dan GAM.
Sebelumnya, Hasan Tiro memegang kewarganegaraan Swedia sejak tahun 1979.
Hingga kini sosok Tgk Hasan Tiro belum ada penggantinya, sosok yang loyal dan teguh memperjuangkan hak-hak dan martabat rakyat Aceh di mata dunia.
(Serambinews.com/Yeni Hardika)
BACA BERITA LAINNYA DI SINI
Hasan Tiro
Teungku Hasan Muhammad di Tiro
Hasan di Tiro
sosok
profil
Sejarah
Rekam Jejak
Deklarator GAM
GAM
Perjuangan GAM
Gerakan Aceh Merdeka
Ekslusif
multiangle
Meaningful
Peringati 100 Tahun Teungku Hasan Tiro, Buku The Price of Freedom Terjemahan Haekal Afifa Dibedah |
![]() |
---|
100 Tahun Hasan Tiro: Arsitek Narasi Keacehan |
![]() |
---|
Profil dan Jejak Karier Brigjen TNI Yudha Fitri, Alumni SMA 1 Banda Aceh Jabat Kasdam IM |
![]() |
---|
100 Tahun Hasan Tiro: “The Great Storyteller” |
![]() |
---|
Mertua Bongkar Tabiat Buruk Briptu Rizka yang Tega Bunuh Suami Sendiri: Karakternya Keras |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.