Opini

Pajak Antara Cita Syariah dan Realita Pasar

PAJAK yang adil dalam sistem ekonomi Islam harus memenuhi prinsip maslahah mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemuda

Editor: Ansari Hasyim
For Serambinews.com
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh 

Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

PAJAK yang adil dalam sistem ekonomi Islam harus memenuhi prinsip maslahah mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudaratan.

Dalam bingkai syariah, setiap pungutan negara wajib mensejahterakan rakyat, bukan sekadar mengisi kas. Namun di Aceh, provinsi dengan otonomi khusus dan status istimewa sebagai daerah Syariat Islam, praktik perpajakan justru sering menciptakan paradoks.

Di satu sisi, cita-cita syariah dijunjung tinggi; di sisi lain, realita pasar menunjukkan distorsi yang kontraproduktif terhadap kesejahteraan.

Paradoks Pajak di Negeri Syariat

Sebagai daerah otonomi khusus, Aceh memiliki kewenangan merancang kebijakan fiskal melalui Qanun. Dalam lima tahun terakhir, kinerja penerimaan daerah terlihat menggembirakan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Pendapatan Asli Daerah (PAD) Aceh tahun 2023 mencapai Rp4,1 triliun, naik dari Rp3,92 triliun pada 2022. Angka ini menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam menggali sumber pendapatan mandiri.

Namun, di balik tren positif tersebut, terdapat cerita pilu. Para pelaku usaha mulai dari pengusaha kecil, pedagang pasar, hingga pelaku pariwisata mengeluhkan beban ganda.

Pajak yang semestinya menjadi alat redistribusi justru menekan daya beli masyarakat dan menghambat pertumbuhan sektor riil.

Dalam ekonomi konvensional, pajak memang menciptakan deadweight loss kehilangan efisiensi yang sulit dihindari. 

Tetapi dalam perspektif ekonomi syariah, kebijakan fiskal harus lulus uji maqashid syariah: melindungi harta (mal), agama (din), akal (aql), jiwa (nafs), dan keturunan (nasl). Pertanyaannya, sudahkah pajak Aceh memenuhi kaidah itu?

Ketika Pajak Menjadi Regresif

Contoh paling nyata adalah pajak rokok. Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2023 menetapkan tarif pajak rokok 10 persen dengan dua tujuan mulia: menambah PAD dan melindungi kesehatan masyarakat. Sayangnya, realitas berkata lain.

Data Dinas Kesehatan Aceh menunjukkan prevalensi perokok dewasa justru naik dari 28,2 % (2018) menjadi 29,5 % (2022). Tujuan kesehatan tidak tercapai, sementara kelompok berpendapatan rendah menanggung beban paling berat.

Mengapa demikian? Secara ekonomi, permintaan rokok pada kelompok miskin bersifat inelastis kenaikan harga tidak banyak mengurangi konsumsi.

Akibatnya, mereka mengorbankan anggaran kebutuhan pokok demi membeli rokok yang kian mahal. Inilah yang disebut regressive tax: pajak yang persentase bebannya lebih besar bagi masyarakat miskin dibanding kelompok kaya.

Ironisnya, kenaikan pajak justru memicu peredaran rokok ilegal. Penelitian LSM Setara Aceh menemukan 35 % pasar rokok di Aceh Utara dan Bireuen dikuasai produk ilegal tanpa pajak. Pemerintah kehilangan potensi penerimaan, sementara pasar gelap kian subur dua kerugian sekaligus.

Menekan Potensi Pariwisata

Sektor pariwisata Aceh seharusnya menjadi motor pertumbuhan ekonomi pasca-konflik dan tsunami. Sabang dengan keindahan bawah lautnya berpotensi menjadi destinasi kelas dunia. Namun, tarif pajak hotel 10?n restoran 5 % justru menjadi penghambat.

Menurut survei Asosiasi Perusahaan Perjalanan Indonesia (ASITA) Aceh, 65 % hotel kelas menengah di Banda Aceh mengalami penurunan tingkat hunian 15–20 % sejak kenaikan tarif pajak pada 2022. Pariwisata adalah sektor dengan permintaan elastis wisatawan mudah beralih ke destinasi lain ketika harga naik.

Akibatnya, banyak restoran dan penginapan terpaksa mengurangi karyawan atau menutup usaha. Dampak berantai pun terasa pada pemandu wisata, sopir tur, hingga pedagang souvenir.

Tantangan Dunia Bisnis di Aceh: Berlayar di Tengah Ombak Ketidakpastian Ekonomi Global


Bukannya menambah kas daerah, kebijakan ini justru mematikan “angsa bertelur emas”. Aceh kehilangan potensi pertumbuhan jangka panjang demi target pendapatan jangka pendek.

Qanun Tanpa Analisis: Niat Baik, Dampak Buruk

Keistimewaan Aceh memungkinkan penyusunan Qanun pajak secara mandiri. Sayangnya, proses legislasi kerap minim kajian ekonomi yang memadai.

Studi Pusat Kajian Ekonomi Syariah Universitas Syiah Kuala (2023) terhadap 15 Qanun perpajakan menunjukkan hanya 20 % yang disertai analisis dampak ekonomi.

Sebanyak 80 % dirancang berdasarkan target pendapatan semata, tanpa memperhitungkan elastisitas permintaan, potensi deadweight loss, atau efek domino terhadap pasar.

Kasus pajak reklame menjadi contoh nyata. Tarif tinggi membuat banyak pelaku usaha enggan memasang reklame legal.

Akibatnya, penerimaan pajak reklame stagnan di kisaran Rp45–50 miliar per tahun, jauh di bawah potensi riilnya. Ketika kebijakan tidak berbasis data dan analisis, niat baik dapat berujung pada kerugian.

Jalan Tengah: Pajak Berkeadilan dan Bermaslahat

Bagaimana Aceh dapat menyeimbangkan cita syariah dan realita pasar? Beberapa langkah penting patut dipertimbangkan:

Pertama Analisis Dampak Ekonomi Sebelum Qanun. Setiap kebijakan pajak harus melewati economic impact assessment yang menilai elastisitas permintaan, insiden pajak, dan potensi deadweight loss. Dengan begitu, pemerintah bisa memprediksi dampak terhadap harga, konsumsi, dan investasi.

Kedua Penerapan Pajak Progresif. Prinsip progressive taxation sesuai dengan nilai keadilan Islam: yang mampu membayar lebih besar.

Pajak kendaraan bermotor, misalnya, dapat disesuaikan berdasarkan kapasitas mesin dan harga kendaraan agar beban tidak menimpa rakyat kecil.

Ketiga Fokus pada Pajak Minim Distorsi. Daripada mematok tarif tinggi pada hotel atau restoran, pemerintah dapat mengoptimalkan pajak properti atau kendaraan bermotor yang lebih stabil dan memiliki dampak ekonomi lebih kecil.

Keempat Penguatan Zakat sebagai Instrumen Fiskal. Potensi zakat di Aceh diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun per tahun, namun baru sekitar 30 % yang terhimpun (data BAZNAS Aceh). Zakat memiliki keunggulan unik: bersifat wajib bagi muslim, tidak menimbulkan deadweight loss, dan langsung berfungsi sebagai redistribusi kekayaan.

Kembali ke Khittah Maqashid Syariah

Prinsip utama dalam ekonomi Islam adalah kemaslahatan umat. Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in menegaskan, “Di mana pun kemaslahatan itu berada, di situlah syariat Allah berada.” Jika kebijakan pajak menimbulkan kemudharatan yang lebih besar daripada manfaatnya, maka kebijakan itu perlu direvisi.

Aceh memiliki peluang emas untuk menjadi model perpajakan berbasis syariah yang tidak hanya efisien secara ekonomi, tetapi juga adil secara sosial. Pajak bukan sekadar angka dalam APBD, melainkan instrumen untuk melindungi harta, menguatkan solidaritas, dan menyejahterakan seluruh lapisan masyarakat.

Sudah waktunya Aceh melampaui kebanggaan simbolik sebagai “daerah syariat” dan membuktikannya melalui kebijakan fiskal yang sesuai dengan maqashid syariah. Pajak harus menjadi alat keberkahan, bukan sekadar beban.

Hanya dengan cara itu, cita-cita syariah dan realita pasar dapat berjalan seiring menuju Aceh yang adil, makmur, dan bermaslahat.

Semoga cita-cita Aceh yang “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur” sebuah negeri yang mampu mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya dapat dicapai dengan adanya niat baik dan kerja cerdas dari pengambil kebijakan untuk Aceh yang lebih bermartabat kedepan.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved