Opini

Mensyukuri Nikmat dan Ibadah, Jalan Menuju Kesuksesan Sejati

Dalam kegelisahan inilah, ayat-ayat Allah dalam Surah Al-Hadid hadir memberi pencerahan. QS. Al-Hadid: 22 mengingatkan kita bahwa setiap

Editor: Ansari Hasyim
IST
Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh. 


Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh

DALAM pusaran kehidupan modern, manusia sering kali tercerabut dari akar eksistensinya. Kita berlari mengejar kesuksesan yang didefinisikan oleh materi, jabatan, dan pengakuan sosial, namun kerap menemui kehampaan di puncaknya. 

Dalam kegelisahan inilah, ayat-ayat Allah dalam Surah Al-Hadid hadir memberi pencerahan. QS. Al-Hadid: 22 mengingatkan kita bahwa setiap peristiwa, baik yang kita anggap sebagai keberuntungan maupun musibah, telah tercatat dalam Lauh Mahfuz. 

Ini bukanlah fatalisme, melainkan landasan kokoh untuk membangun sebuah paradigma kesuksesan yang berbeda dalam sebuah kesuksesan yang bermula dari sikap syukur dan dirajut dalam setiap helaan nafas ibadah.

Landasan Filosofis: Ketetapan Ilahi sebagai Sumber Ketenteraman

Firman Allah, "Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. 
Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah" (QS. Al-Hadid: 22), bukanlah ajaran untuk pasif. Justru sebaliknya, ia adalah pondasi ketenangan jiwa. 

Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Positive Psychology (2018) membuktikan bahwa individu yang memiliki keyakinan kuat pada takdir ilahi (qadha dan qadar) menunjukkan tingkat ketahanan stres (resilience) yang lebih tinggi dan pemulihan yang lebih cepat dari peristiwa traumatis. 

Keyakinan ini menghilangkan kegelisahan akan masa depan dan penyesalan atas masa lalu, memungkinkan kita untuk fokus sepenuhnya pada upaya optimal di saat ini, dalam koridor yang telah Allah gariskan.

Tiram, Mutiara Ekonomi Biru Aceh  

Dengan dasar ketenteraman inilah, kita diajak untuk menyikapi hidup sebagaimana perintah dalam QS. Al-Hadid: 23: "Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu." Ayat ini adalah rumus emosional yang canggih. 

"Tidak bersedih atas yang luput" mencegah kita dari depresi dan putus asa, sementara "tidak terlalu gembira" melindungi kita dari euforia dan kesombongan yang melenakan. 
Dalam dunia bisnis dan karir, sikap ini dikenal sebagai emotional equilibrium, sebuah kondisi psikologis yang sangat dikagumi dalam kepemimpinan modern. 

Para pemimpin besar tidak mudah goyah oleh kegagalan maupun terjebak dalam kesuksesan sesaat. Mereka tetap rendah hati dan terus bergerak maju. Inilah cerminan duniawi dari ayat ini.

Syukur: Pengubah Energi dan Pemandu Rezeki

Syukur sering disalahartikan sebagai sekadar ucapan "alhamdulillah". Padahal, ia adalah sebuah energi aktif yang mentransformasi realitas. Syukur adalah pengakuan bahwa segala sesuatu napas, kesehatan, peluang, bahkan cobaan adalah amanah dari Allah SWT. 

Dalam QS. Ibrahim: 7, Allah berfirman, "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, 'Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'"

Janji "penambahan" ini memiliki dimensi duniawi dan ukhrawi. Secara psikologis, rasa syukur mengaktifkan sistem reward di otak, memicu pelepasan dopamin dan serotonin, yang dikenal sebagai "hormon kebahagiaan".

Penelitian Dr. Robert A. Emmons dari University of California membuktikan bahwa praktik syukur harian secara signifikan meningkatkan kesejahteraan psikologis, kualitas tidur, dan bahkan sistem kekebalan tubuh.

Secara sosial, orang yang bersyukur cenderung lebih optimis, lebih disukai dalam pergaulan, dan membangun jaringan sosial yang lebih kuat yaitu faktor-faktor kunci dalam kesuksesan profesional mana pun.

Namun, "tambahan" yang Allah janjikan lebih dari sekadar materi. Ia adalah keberkahan. Seorang dengan penghasilan pas-pasan yang bersyukur akan merasakan ketentraman dan kecukupan yang mungkin tidak dirasakan oleh seorang miliuner yang selalu merasa kekurangan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kepuasan hidup tidak selalu berkorelasi linier dengan pendapatan. Banyak masyarakat di daerah dengan GDP rendah justru melaporkan tingkat kebahagiaan yang tinggi, yang sebagian dapat diatribusikan kepada kehidupan religius dan rasa syukur yang mendalam. Inilah "keberkahan" itu: nilai dan manfaat yang melampaui kuantitas.

Ibadah: Pemutus Rantai Kekikiran dan Pencetak Karakter Sukses

Setelah syukur membuka pintu hati, ibadah mengisi dan membentuknya. Ibadah dari shalat, puasa, zakat, hingga sedekah adalah latihan spiritual untuk melawan penyakit hati yang menghambat kesuksesan sejati. QS. Al-Hadid: 24 dengan tegas mengutuk sifat kikir dan sombong. Kikir (bukhl) adalah kanker sosial yang memutuskan aliran rezeki.

Dalam ekonomi Islam, zakat dan sedekah bukan sekadar amal, tetapi instrumen pembersih harta dan peredaran kekayaan yang menciptakan ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

Setiap ibadah memiliki "value proposition" duniawinya. Shalat, dengan disiplin waktunya, melatih manajemen waktu dan konsistensi. Puasa melatih pengendalian diri (self-control), sebuah kualitas terpenting bagi para pengusaha dan pemimpin untuk menghindari keputusan impulsif yang merugikan.

Sedekah melatih empati dan kepedulian sosial, yang membangun modal sosial (social capital) dan kepercayaan (trust) modal utama dalam bisnis modern. Seorang pengusaha yang jujur dan dermawan akan lebih dipercaya oleh mitra dan pelanggannya.

Ibadah juga merupakan mekanisme mental reset. Dalam shalat, beberapa kali sehari kita melepaskan diri sejenak dari kesibukan dunia untuk kembali mengingat Sang Pemilik Segalanya.

Ini mencegah kita dari kesombongan dan ilusi bahwa kesuksesan adalah murni hasil jerih payah kita sendiri. Sebuah laporan dari Harvard Business Review (2020) menyoroti tren "mindfulness and contemplation in leadership" yang ternyata sejalan dengan praktik ibadah dalam Islam. Para eksekutif yang meluangkan waktu untuk refleksi dan kontemplasi menunjukkan kemampuan pengambilan keputusan yang lebih baik dan visi yang lebih jernih.

Menyatukan Jejak Dunia dan Akhirat

Kesuksesan sejati bukanlah garis finish yang kita raih dengan menginjak-injak orang lain atau mengorbankan prinsip. Ia adalah sebuah perjalanan yang bermartabat, di mana setiap langkahnya adalah ibadah dan setiap nafasnya adalah syukur. Paradigma yang diajarkan Al-Qur'an dalam Surah Al-Hadid ini adalah sebuah solusi holistik bagi kegelisahan zaman.

Dengan meyakini ketetapan Allah, kita menjadi tangguh. Dengan mengelola emosi agar tidak terlampau sedih atau gembira berlebihan, kita menjadi bijaksana.

Dengan memerangi kekikiran melalui ibadah dan sedekah, kita menjadi dermawan dan terhubung dengan sesama. Rantai inilah iman, syukur, ibadah yang memutus siklus "terombang-ambing dalam ketidakpastian" dalam kehidupan manusia.

Pada akhirnya, kesuksesan duniawi seperti kesehatan, kekayaan, dan penghormatan adalah buah sampingan (by-product) dari sebuah kehidupan yang dijalani dengan penuh kesadaran ilahiah. Kesuksesan akhirat yaitu ridha dan surga-Nya adalah tujuan utamanya.

Dengan mensyukuri nikmat dan beribadah dengan khusyuk, kita tidak lagi memilih antara sukses di dunia atau di akhirat.

Kita justru merajutnya menjadi satu kesatuan, menapaki kehidupan dengan tenang dan penuh keyakinan, karena tahu bahwa di setiap detik yang disyukuri dan di setiap ruku' yang khusyuk, terdapat tangga menuju kemenangan ganda: kesalehan individu yang membuahkan kedamaian komunitas, dan ketundukan pada Ilahi yang justru memerdekakan jiwa. Inilah jalan lurus menuju sukses sejati, dunia dan akhirat.

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved