Opini
Tiram, Mutiara Ekonomi Biru Aceh
Aceh memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh banyak daerah lain di Indonesia: perairan yang masih bersih dan minim polusi industri
Oleh: Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
DI ANTARA hamparan hijau hutan mangrove dan birunya laut Samudera Hindia, tersimpan sebuah potensi ekonomi yang masih terpendam: tiram atau kerang.
Aceh, negeri Serambi Mekah yang dikenal dengan kekuatan syariat Islam dan ketangguhan masyarakatnya, ternyata dianugerahi kekayaan laut yang luar biasa.
Dalam konteks inilah, budidaya tiram tidak hanya sekadar urusan ekonomi, tetapi dapat diangkat menjadi sebuah model pembangunan yang berkelanjutan, berkeadilan, dan sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam untuk mensejahterakan nelayan, umat, dan daerah.
Anugerah Laut yang Suci
Aceh memiliki keunggulan komparatif yang tidak dimiliki oleh banyak daerah lain di Indonesia: perairan yang masih bersih dan minim polusi industri. Dalam sudut pandang ekologi, ini adalah anugerah. Dalam sudut pandang ekonomi, ini adalah modal dasar.
Dan dalam sudut pandang syariat Islam, ini adalah amanah untuk dikelola dengan baik (ri'ayatul bi'ah/menjaga lingkungan).
Fakta bahwa tiram Aceh memiliki kadar logam berat yang sangat rendah bukan hanya sekadar data teknis. Itu adalah sertifikat halal thayyib yang paling berharga. Dalam Islam, konsumsi tidak hanya dituntut halal secara prosedural, tetapi juga thayyib (baik, sehat, dan bersih).
Tiram Aceh, yang lahir dari perairan yang terjaga, secara intrinsik memenuhi prinsip ini. Ini adalah nilai jual terkuat yang harus diusung ke pasar domestik dan internasional, terutama ke negara-negara yang sangat concern terhadap keamanan pangan seperti Singapura, Malaysia, dan Timur Tengah.
• Saatnya UMKM Aceh Menjadi Pelopor Ekonomi Syariah yang Berkeadilan
Potensinya sangat nyata. Hampir seluruh pesisir Aceh cocok untuk budidaya. Inovasi lokal seperti penggunaan media ban bekas di Alue Naga, Banda Aceh, telah membuktikan bahwa nelayan bisa meningkatkan pendapatan tanpa harus mengambil risiko menyelam ke laut lepas.
Apalagi dengan adanya varietas tiram jumbo seperti Genius Austria yang harganya bisa mencapai Rp 250.000 per ekor di pasar global. Bayangkan dampak ekonominya jika ribuan nelayan beralih dari pencari menjadi pembudidaya.
Memutus Mata Rantai Ketergantungan
Namun, jalan menuju "Swasembada Tiram" masih berliku. Tantangan terbesarnya adalah mentalitas dan metode tradisional. Banyak nelayan masih bergantung pada menangkap di alam, yang hasilnya tidak menentu dan merusak ekosistem jika tidak dikelola. Ini bertentangan dengan prinsip hifdzul bi'ah (menjaga lingkungan) dalam maqashid syariah.
Tantangan lain adalah ketergantungan bibit dari luar daerah dan rendahnya pengetahuan pengolahan. Hal ini membuat nilai tambah ekonomi dari tiram itu sendiri tidak sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Aceh.
Mereka hanya menjadi penyuplai bahan mentah, sementara nilai tambah dari pengolahan dan pemasaran diraup oleh pihak lain. Dalam ekonomi syariah, ini dapat dikategorikan sebagai ketimpangan yang harus diluruskan, karena prinsip keadilan ('adl) dan pemerataan manfaat adalah fondasinya.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.