Opini
Membangun Kemitraan Strategis Produk Halal
Data berbicara jelas tentang besarnya potensi yang dimiliki kedua negara. Pada tahun 2022, nilai ekspor produk halal Malaysia mencapai
Tantangan dan Jalan Keluar
Tentu saja, jalan menuju kemitraan yang sukses tidak tanpa hambatan. Beberapa tantangan utama yang perlu diantisipasi meliputi:
Pertama Harmonisasi Regulasi dan Sertifikasi: Perbedaan standar antara BPOM Indonesia dan JAKIM Malaysia dapat memperlambat proses. Solusinya adalah dengan membentuk tim sinkronisasi untuk menciptakan "sertifikasi ganda" yang efisien (Halal MUI + JAKIM + ISO/HACCP), yang bahkan dapat menjadi pilot project untuk "One Halal Standard ASEAN".
Perbedaan standar halal antara LPPOM MUI (Indonesia) dan JAKIM (Malaysia) menciptakan kompleksitas birokrasi, memperlambat laju produk ke pasar kedua negara dan meningkatkan biaya untuk mendapatkan sertifikasi ganda.
Kedua Infrastruktur dan Tenaga Kerja: Infrastruktur industri dan logistik di Aceh masih perlu ditingkatkan. Pemerintah Aceh didorong untuk membentuk Halal Industrial Cluster di kawasan strategis seperti Takengon atau Lhokseumawe.
Selain itu, program pelatihan vokasi dan inkubasi bisnis halal dengan dukungan ahli dari Malaysia sangat diperlukan untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal. Sebagai basis produksi potensial, wilayah seperti Aceh masih memiliki fasilitas industri dan logistik yang terbatas dibandingkan standar Malaysia. Ketimpangan ini diperparah oleh kesiapan SDM lokal yang masih membutuhkan pelatihan signifikan untuk mengoperasikan teknologi pengolahan modern.
Ketiga Penerimaan Pasar, dimana merek baru hasil kolaborasi membutuhkan waktu untuk dikenal. Strategi pemasaran perlu fokus pada edukasi melalui media sosial dan influencer Muslim, serta menawarkan produk dengan skema harga bertahap varian reguler untuk pasar massal dan varian premium untuk ekspor dan segmen niche.
Kemitraan berisiko terjebak dalam pola lama, di mana Indonesia hanya menyuplai bahan mentah, sementara Malaysia menguasai tahap pengolahan, branding, dan distribusi yang memberikan margin keuntungan lebih tinggi. Jika tidak dikelola dengan baik, hal ini akan menciptakan ketergantungan dan menghambat pembagian manfaat yang adil.
Oleh karena itu, solusi berkelanjutan membutuhkan pendekatan kolaboratif yang menyelaraskan standar, meningkatkan kapasitas produksi di Indonesia, dan menciptakan model bisnis yang memastikan pembagian nilai tambah yang setara, sehingga kedua negara bukan hanya menjadi mitra dagang, tetapi pemilik bersama masa depan industri halal regional.
Menuju Kedaulatan Halal ASEAN
Kerjasama investasi produk halal antara Malaysia dan Aceh bukan sekadar proyek bisnis biasa. Ini adalah langkah strategis menuju terwujudnya kedaulatan industri halal ASEAN yang mandiri dan berdaya saing global. Kolaborasi ini memungkinkan kedua negara untuk memanfaatkan keunggulan komparatif masing-masing: kekuatan bahan baku dan pasar domestik Indonesia, serta keunggulan teknologi dan jaringan global Malaysia.
Dengan komitmen yang kuat dari semua pemangku kepentingan pemerintah, industri, dan akademisi (model Triple Helix)—kolaborasi ini dapat mentransformasi Aceh menjadi halal industrial hub baru. Target peningkatan ekspor produk halal olahan dari Aceh senilai USD 100 juta dalam lima tahun pertama bukanlah hal yang mustahil.
Pada akhirnya, kemitraan strategis ini akan memperkuat posisi ASEAN sebagai episentrum industri halal dunia, membawa manfaat ekonomi yang berkeadilan dan berkelanjutan bagi kedua negara serumpun. Inilah waktunya untuk bersinergi, bukan berkompetisi, demi membangun masa depan industri halal yang gemilang.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.