Opini
Infrastruktur Pariwisata Bernapaskan Syariat untuk Kemakmuran Aceh
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat, sebelum pandemi, kunjungan wisatawan mancanegara ke Aceh pada 2019 mencapai sekitar
Oleh:Prof. Dr. Apridar, S.E., M. Si, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK dan Ketua Dewan Pakar ICMI Orwil Aceh
ACEH, Bumi Serambi Mekkah, menyimpan mutiara pariwisata yang tak ternilai. Dari gemuruh Samudera Hindia di Pantai Lhoknga hingga kekayaan bahari Pulau Weh, dari napak tilas sejarah Tsunami di Museum Tsunami hingga kemegahan Masjid Baiturrahman yang ikonik. Namun, potensi sebesar ini bagai mutiara dalam cangkang yang belum sepenuhnya terbuka.
Kunci untuk membukanya terletak pada satu hal: infrastruktur ekonomi yang komprehensif. Dalam konteks Aceh yang unik, pengembangan infrastruktur ini bukan hanya soal aspal dan beton, melainkan sebuah strategi holistik yang mengintegrasikan konektivitas, aksesibilitas, dan fasilitas pendukung dengan nilai-nilai syariat Islam yang menjadi roh negeri ini. Inilah jalan menuju kemakmuran yang mandiri, berkelanjutan, dan bermartabat.
Potensi Pariwisata Aceh
Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat, sebelum pandemi, kunjungan wisatawan mancanegara ke Aceh pada 2019 mencapai sekitar 22.000 orang, sementara wisatawan nusantara mendekati 1,5 juta. Angka ini masih jauh di bawah Bali atau Yogyakarta.
Salah satu hambatan terbesar adalah konektivitas. Bandara Sultan Iskandar Muda (SIM) sebagai gerbang utama masih memiliki rute penerbangan terbatas, terutama penerbangan internasional langsung. Begitu pula dengan akses darat menuju destinasi-destinasi unggulan seperti Danau Laut Tawar di Takengon atau Pantai Pulau Weh yang masih membutuhkan waktu tempuh lama.
Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh mencatat kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD masih dapat ditingkatkan. Pada 2022, sektor perdagangan, hotel, dan restoran menyumbang sekitar 7,5 persen terhadap PDRB Aceh. Ini adalah potensi yang belum tergali optimal.
Setiap peningkatan akses dan fasilitas bukan hanya akan mendatangkan lebih banyak wisatawan, tetapi langsung berimbas pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui retribusi, pajak hotel, dan restoran, serta menggerakkan roda ekonomi rakyat.
Infrastruktur Fisik: Menjembatani Jarak, Memperpendek Waktu
Investasi strategis dalam infrastruktur transportasi adalah langkah pertama yang krusial. Peningkatan kapasitas dan penambahan rute penerbangan di Bandara SIM, termasuk membuka kembali penerbangan langsung dari negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura yang memiliki kedekatan budaya dan historis dengan Aceh, mutlak diperlukan.
Data dari Otoritas Bandara SIM menunjukkan peningkatan jumlah penumpang setiap tahunnya, menjadi sinyal bahwa pasar ada dan siap untuk dikembangkan.
Selain udara, infrastruktur darat juga perlu menjadi prioritas. Perbaikan dan pelebaran jalan menuju destinasi wisata utama akan mengurangi waktu tempuh dan meningkatkan kenyamanan. Pembangunan pelabuhan yang lebih representatif di Sabang, misalnya, dapat mengembalikan kejayaan pulau itu sebagai pintu gerbang Nusantara, sekaligus menjadi hub untuk kapal pesiar (cruise ship). Infrastruktur yang baik akan menciptakan efek multiplier.
Sebuah studi yang dirilis Bank Dunia menyebutkan bahwa setiap 1 % peningkatan investasi infrastruktur dapat meningkatkan PDB sektor pariwisata hingga 0,3-0,5?lam jangka menengah.
Infrastruktur Syariat: Menciptakan Unique Selling Proposition (USP) Aceh
Di sinilah letak pembeda Aceh. Pengembangan infrastruktur tidak boleh berhenti pada hal fisik. Aceh memiliki "infrastruktur lunak" yang tak kalah penting: Syariat Islam. Alih-alih dipandang sebagai hambatan, penerapan syariat Islam justru dapat menjadi unique selling proposition (USP) yang powerful. Bagaimana mewujudkannya?
Pertama, melalui pengembangan akomodasi syariah. Data dari Global Muslim Travel Index (GMTI) 2023 memprediksi pasar wisata halal global akan mencapai 225 miliar dolar AS pada 2028. Aceh dapat menjadi episentrum wisata halal di Indonesia. Hotel dan homestay yang menerapkan konsep syariah dengan pemisahan fasilitas kolam renang dan spa untuk laki-laki dan perempuan, menyediakan makanan halal yang terjamin, adanya fasilitas shalat yang memadai di setiap kamar, dan staf yang memahami nilai-nilai Islam akan menjadi magnet bagi wisatawan muslim domestik dan internasional.
Kedua, menciptakan ekosistem ekonomi syariah di sekitar destinasi wisata. Kawasan wisata harus didukung dengan restoran yang jelas sertifikat halalnya, pusat oleh-oleh yang menjual produk-produk khas Aceh yang diproduksi dengan prinsip syariah, dan pusat perbelanjaan yang tidak menjual minuman keras. Ini menciptakan rasa aman dan nyaman bagi segmen wisatawan tertentu sekaligus menguatkan identitas Aceh.
Infrastruktur Digital dan SDM: Memasuki Pasar Global
Di era digital, infrastruktur teknologi adalah nadi pariwisata modern. Penguatan jaringan internet hingga ke pelosok destinasi wisata, pengembangan aplikasi pemandu wisata "Aceh Travel" yang terintegrasi dengan informasi destinasi syariah, transportasi, dan akomodasi, serta promosi melalui platform digital dan media sosial adalah keharusan. Aplikasi tersebut juga dapat menyediakan informasi tentang jadwal shalat, arah kiblat, dan masjid terdekat, memperkuat positioning Aceh sebagai destinasi ramah muslim.
Tubuh Kurus di Tengah Piring Penuh karena Cacingan dan Ketimpangan Gizi Anak Indonesia |
![]() |
---|
Dari Meunasah ke Meja Makan, Menyatukan Sosial, Perilaku, Lingkungan, & Gizi demi Generasi Sehat |
![]() |
---|
Pemadaman Listrik Aceh: Antara Krisis Energi dan Krisis Tata Kelola |
![]() |
---|
Inovasi Budidaya Perikanan, Harapan Baru Ekonomi Aceh |
![]() |
---|
Aceh Daerah Modal yang Perlu Modal Untuk Membangun Ketertinggalan |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.