Opini

Bireuen dan Mimpi yang Masih Jauh, Refleksi HUT Ke-26 Bireuen

Pola ini menandakan bahwa diversifikasi ekonomi belum berjalan optimal. Angka kemiskinan Bireuen memang sedikit lebih baik dari rata-rata

Editor: Ansari Hasyim
IST
Khairil Miswar, mantan Sekjend Jeumpa Mirah (Front Mahasiswa dan Pemuda Aceh Jeumpa). 

Demokrasi pun kehilangan maknanya ketika hak politik ditukar dengan imbalan sesaat yang menjadi tanda rapuhnya legitimasi publik terhadap proses politik lokal. 

Selain itu, kebijakan penertiban odong-odong oleh Dinas Perhubungan Bireuen baru-baru ini memunculkan perdebatan antara penataan kota dan hak ekonomi rakyat kecil.

Dalam kerangka habitus Pierre Bourdieu, praktik odong-odong mencerminkan pola hidup masyarakat kelas bawah yang tumbuh dari keterbatasan ekonomi sekaligus kebutuhan akan ruang sosial yang terjangkau.

Bagi warga, odong-odong bukan sekadar hiburan, melainkan arena interaksi dan solidaritas. Ketika penertiban dilakukan secara sepihak, terjadi benturan antara habitus birokratik yang menekankan ketertiban dan habitus rakyat yang menekankan keberlangsungan hidup.

Karena itu, kebijakan yang tidak partisipatif bukan hanya menghilangkan sumber penghidupan, tetapi juga menghapus ruang budaya yang lahir dan berkembang dari bawah.

Menjelang perayaan HUT Bireuen 2025, muncul polemik terkait keputusan pemerintah daerah yang menempatkan sebagian besar anggaran di salah satu dinas. Publik menyoroti potensi konflik kepentingan karena kepala dinas tersebut diduga memiliki hubungan keluarga dengan bupati (acehnews.id).

Meski tudingan itu belum tentu benar, persepsi publik yang muncul sudah cukup untuk menggerus kepercayaan terhadap pemerintah daerah.

Dalam etika pemerintahan, persepsi publik sering kali sama pentingnya dengan fakta, karena legitimasi politik tidak hanya dibangun dari kebenaran formal, tetapi juga dari kejelasan moral. 

Kritik publik juga datang dari pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang menilai biaya sewa lapak untuk berpartisipasi dalam perayaan hari jadi daerah terlalu tinggi.

Bagi banyak pelaku usaha kecil, momentum tersebut seharusnya menjadi ruang promosi dan penguatan ekonomi rakyat, bukan ajang komersialisasi yang justru menambah beban.

Jika pemerintah daerah sungguh ingin menjadikan perayaan itu sebagai wadah pemberdayaan ekonomi lokal, maka kebijakan tarif tinggi perlu dikoreksi dan diganti dengan mekanisme subsidi atau kuota gratis.

Sebab, keberpihakan pembangunan tidak diukur dari megahnya panggung perayaan, melainkan dari seberapa nyata manfaatnya bagi masyarakat kecil.

Dalam konteks kepemimpinan, Bupati Mukhlis sempat menarik perhatian publik melalui janji moralnya untuk tidak membeli mobil dinas baru dan mengalihkan dananya bagi masyarakat miskin, serta komitmen menyumbangkan gaji pokok untuk anak yatim.

Secara simbolik, langkah ini mencerminkan semangat memimpin dengan kesederhanaan dan empati sosial.

Namun, menurut kerangka etika tanggung jawab Max Weber, niat baik saja tidak cukup; legitimasi dan efektivitas kepemimpinan ditentukan oleh sejauh mana niat itu terwujud dalam tindakan nyata yang berdampak bagi publik. 

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved