Sebut Tak Ada Pemerkosaan Massal Mei 1998, Menteri Kebudayaan Fadli Zon Digugat ke PTUN
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon atas pernyataannya menyangkal pemerkosaan massal Mei 1998
SERAMBINEWS.COM - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menghadapi kecaman publik karena mengatakan tidak ada pemerkosaan massal pada kerusuhan Mei 1998.
Fadli Zon memberikan pernyataan bahwa pemerkosaan massal dalam tragedi Mei 1998 itu tidak ada.
Dalam program Real Talk with Uni Lubis, Senin (8/6/2025), dia mengatakan bahwa kejadian tersebut hanyalah rumor yang tidak bisa diverifikasi kebenarannya karena tidak ada bukti.
"Nah, ada perkosaan massal? Betul, enggak ada perkosaan massal. Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," ujar Fadli Zon.
Pernyataan ini pun menuai tanggapan dari banyak pihak yang menganggap Fadli Zon sangat keliru.
Sebab, terdapat bukti-bukti yang jelas mengenai pemerkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998.
Kini Fadli Zon digugat atas pernyataan kontroversialnya tersebut.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menggugat Menteri Kebudayaan Fadli Zon atas pernyataannya yang dinilai menyangkal pemerkosaan massal Mei 1998 beberapa waktu lalu.
Penggugat atas nama perorangan dan badan hukum telah menyampaikan laporannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada Kamis (11/9/2025). Gugatan ini telah terdaftar dengan nomor perkara 303/G/2025/PTUN-JKT.
Dalam konferensi pers Kamis (11/9/2025), Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Jane Rosalina Rumpia menyatakan bahwa alasan gugatan ini akan disampaikan oleh pihak-pihak terkait.
Namun, pokok gugatan ini berfokus pada ucapan Menteri Kebudayaan Fadli Zon bertentangan dengan beberapa sejumlah peraturan perundang-undangan.
"Tindakan administrasi berupa pernyataan tersebut itu telah tidak sesuai dengan kewenangan Fadli Zon sendiri selaku Menteri Kebudayaan karena dianggap melampaui kewenangannya," kata Jane dalam konferensi pers yang diikuti Kompas.com melalui live streaming YouTube KontraS, Kamis (11/9/2025).
Baca juga: Gibran Digugat Rp125 Triliun, Riwayat SMA Wapres di Singapura Dinilai Tak Sesuai Aturan RI
Lantas, bagaimana apa alasan dan tujuan gugatan terhadap Fadli Zon?
Pokok gugatan terhadap Fadli Zon
Menurut paparan Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas, Fadli Zon bertentangan dengan peraturan beriikut
-Undang-undang 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
-Undang-undang 39 tahun '99 tentang hak asasi manusia
-Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan itu, ucapan Fadli Zon dianggap melampaui kewenangannya sebagai Menteri Budaya.
Mereka menilai pernyataan itu melampaui kewenangan seorang menteri kebudayaan karena menyangkut perkara pelanggaran HAM berat.
Penanganan dan penyelesaian kasus semacam itu menjadi ranah lembaga berwenang, yakni DPR, Komnas HAM sebagai penyelidik, Kejaksaan Agung sebagai penyidik, serta Presiden Republik Indonesia.
"Sementara itu, Kementerian Kebudayaan tidak memiliki peran dalam proses penuntasan pelanggaran HAM berat," lanjutnya.
Selain itu, pernyataannya dinilai sebagai bentuk kebohongan dan informasi yang salah serta menyangkut delegimitasi kerja-kerja Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Mei 1998.
Baca juga: Profil dan Riwayat Pendidikan Gibran, Kini Digugat karena Tak Mempunyai Ijazah SMA
Adanya delegimitasi kinerja tim pencari fakta
Dalam konferensi pers tersebut, TGPF Mei 1998 menilai pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon telah melecehkan kerja tim resmi yang dibentuk negara.
Pernyataan tersebut dianggap mendelegitimasi hasil penyelidikan tragedi Mei 1998.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas bersama TGPF menegaskan, tim telah bekerja berdasarkan mandat enam kementerian sejak 1998 untuk mengungkap fakta kekerasan, terutama terhadap perempuan Tionghoa.
Karena itu, pernyataan menteri dinilai tidak berdasar dan berpotensi merugikan korban.
Ketua TGPF Mei 1998 Marzuki Darusman menyatakan, konferensi pers digelar untuk meluruskan pandangan publik dan menjelaskan mengenai gugatan ini.
Menurutnya, pernyataan menteri bertolak belakang dengan pengakuan negara atas tragedi Mei 1998 sebagai pelanggaran HAM berat.
Lebih lanjut, Marzuki menyatakan bahwa gugatan ini bertujuan untuk melindungi korban melalui pengakuan negara.
"Gugatan kepada P2N ini sepenuhnya tertuju untuk melindungi para korban," ujar Marzuki.
Marzuki memaparkan, saat ini proses menuju pertanggungjawaban masih berjalan dan menjadi kewajiban pemerintah.
Hal ini merupakan kelanjutan dari pengakuan pemerintah sebelumnya bahwa peristiwa Mei termasuk dalam rangkaian pelanggaran HAM berat yang telah diakui negara sebagai utang sejarah yang harus diselesaikan.
Adapun penyelesaian yang diperlukan yakni mengungkap dalang kekerasan Mei 1998 hingga dijatuhkannya sanksi kepada pelaku.
Gugatan bertujuan melindungi korban
Meskipun pemerintah tinggal melanjutkan penyelesaian pelanggaran HAM berat tersebut, hingga saat ini masih belum terwujud karena ada pihak yang mempersulit penyelesaiannya.
"Sudah sekian lama peristiwa ini tidak terselesaikan membuktikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia berat tidak memiliki masa daluarsa," jelas Marzuki.
Belum adanya pertanggungjawaban negara membuat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat semakin terhambat dan berpotensi mengaburkan peristiwa traumatis serta pelanggaran HAM tersebut tanpa batas waktu.
Sehingga, gugatan ini bertujuan untuk melindungi korban dari upaya pengingkaran dan penghapusan peristiwa tersebut.
Kemudian, mereka akan mendorong penyelesaian masalah yang semestinya melalui jalur hukum atau jalur non-judicial.
Lebih lanjut, Marzuki berharap agar dapat dihasilkan keputusan terbaik bagi para korban yang menunggu keadilan setelah puluhan tahun tidak mendapat perhatian.
"Mudah-mudahan kita dapat menerima keputusan yang terbaik bagi kepentingan mereka yang telah mengalami trauma ini," ujar Marzuki.
"Trauma yang selama puluhan tahun itu telah menjelma menjadi bagian dari tidak saja pengalaman traumatis tetapi sudah menjadi bagian dari kondisi kesengsaraan bangsa hingga saat ini," pungkasnya.
Selain melanggar peraturan hukum, Fadli Zon juga melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik.
Tindakan politisi Gerindra itu menyangkal tragedi perkosaan massal Mei 1998 itu melanggar:
-Azas kepastian hukum
-Azas kecermatan
-Azas ketidakberpihakan
-Azas perlindungan terhadap hak-hak warga masyarakat.
Jane Rosalina menjelaskan, gugatan ini penting dilakukan agar pejabat pemerintah selaku badan publik untuk tidak semena-mena dalam membuat pernuataan.
"Apalagi ini berkaitan dengan konteks penanganan kasus pelanggaran berat hak asasi manusia yang kami tengah raih tengah melakukan upaya penghalang-halangan dari proses hukum itu sendiri yang sedang berjalan melalui penyelidikan Komnas HAM maupun penyidikan dari Kejaksaan Agung," terangnya.
Sebagai tambahan, gugatan terhadap Fadli Zon tidak hanya diajukan oleh Ketua TGPF 1998, tetapi juga melibatkan sejumlah pihak lain, antara lain Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), serta Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI).
Pernyataan Fadli Zon
Menteri Kebudayaan Fadli Zon membantah adanya peristiwa perkosaan massal pada tahun 1998 saat menghadiri wawancara IDN Times.
Dalam program Real Talk With Uni Lubis, Senin (9/6/2025), ia mengklaim bahwa perkosaan massal Mei 1998 tidak ada buktinya.
"Nah, ada perkosaan massal. Betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu enggak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada," ujar Fadli Zon.
Ia bahkan pernah membantah keterangan tim pencari fakta yang memberikan keterangan ada peristiwa pemerkosaan massal pada awal era Reformasi.
"Saya sendiri pernah membantah itu dan mereka tidak bisa buktikan. Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa dan tone-nya harus begitu," lanjutnya.
Untuk diketahui, pemerintah saat ini tengah melakukan penulisan ulang sejarah di bawah naungan Kementerian Kebudayaan.
Fadli Zon menyatakan, penulisan ulang sejarah Indonesia akan mennggunakan pendekatan positif dan tidak "mencari-cari kesalahaan pihak tertentu" dalam peristiwa sejarah.
Di sisi lain, Komnas Perempuan sudah pernah menghimpun data temuan dari Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 termasuk soal perkosaan massal yang tengah menjadi topik hangat.
Bagaimana Komnas Perempuan menghimpun data korban pemerkosaan massal Mei 1998?
Dilansir publikasi Temuan Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 yang diterbitkan tahun 1999, Komnas Perempuan melaporkan mendokumentasikan fakta-fakta temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Dilatarbelakangi kerusuhan selama peralihan Orde Baru menjadi Reformasi pada 1998, TGPF melakukan penyelidikan untuk menemukan data korban kerusuhan sebagai acuan pihak berwenang dalam membentuk kebijakan baru.
TGPF mendapatkan berbagai sumber tim relawan, bakom PKB, Komnas HAM, YLBHI, Polri, dan hotlines yang dibuka untuk menampung informasi.
Apabila mengerucut pada ucapan Fadli Zon yang menyangkal adanya perkosaan massal pada peristiwa Mei 1998, maka Komnas Perempuan memiliki dokumentasi berdasarkan hasil kerja TGPF.
Pada peristiwa kerusuhan 13-15 Mei 1998, kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat merembet pada kekerasan seksual.
Dalam pengertiannya, tindakan kekerasan seksual mengacu pada Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan.
Menurut Deklarasi PBB, kekerasan seksual adalah "setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang".
TGPF membagi bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 lalu menjadi: perkosaan, perkosaan dan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual.
Berapa jumlah korban perkosaan selama kerusuhan Mei 1998?
Berdasarkan dokumentasi TGPF, tim menemukan korban perkosaan yang sudah diverifikasi dengan rincian sebagai berikut:
Korban perkosaan
Korban perkosaan massal ditemukan sebanyak, 52 orang dan terdiri dari:
Yang didengar langsung: 3 korban
Yang diperiksa dokter secara medis: 9 orang korban
Yang diperoleh keterangan dari orang tua korban: 3 orang korban
Yang diperoleh melalui saksi (perawat, psikiater, psikolog): 10 orang korban
Yang diperoleh melalui kesaksian rohaniawan atau pen- damping (konselor): 27 orang korban.
Perkosaan dengan penganiyaan
Ditemukan korban perkosaan dengan penganiayaan sebanyak 14 orang korban, terdiri dari:
Yang diperoleh dari keterangan dokter: 3 orang korban
Yang diperoleh dari keterangan saksi mata (keluarga): 10 orang korban
Yang diperoleh dari keterangan konselor: 1 orang korban
Baca juga: Yusril Klarifikasi soal Peristiwa 1998 Bukan Pelanggaran HAM Berat
Penyerangan/penganiayaan seksual
Jumlah korban penyerangan/penganiayaan seksual adalah 10 orang korban, terdiri dari:
Yang diperoleh dari keterangan korban: 3 orang korban
Yang diperoleh dari keterangan rohaniawan: 3 orang korban
Yang diperoleh dari keterangan saksi (keluarga): 3 orang korban
Yang diperoleh dari keterangan dokter : 1 orang korban.
Pelecehan seksual
Korban pelecehan seksual ditemukan sebanyak 9 orang, terdiri dari:
Yang diperoleh dari keterangan korban: 1 orang korban
Yang diperoleh dari keterangan saksi: 8 orang korban (dari Jakarta).
Jumlah korban ini didapatkan dari hasil penelusuran di Jakarta dan sekitarnya, Surabaya, hingga Medan.
Bagaimana TGPF menemukan jumlah korban perkosaan massal pasca kerusuhan 1998?
Dalam prosesnya, mendapatkan pengakuan korban tidaklah mudah. Sehingga laporan-laporan bukan hanya didapat melalui pengakuan korban, melainkan juga dari hasil uji silang dengan sumber lain.
Hingga 3 Juli 1998, jumlah total korban perkosaan dan pelecehan seksual massal yang melapor adalah 168 orang.
Dari total korban, 153 orang di antaranya berasal dari Jakarta dan sekitarnya, sedangkan 16 orang dari Solo, Medan, Palembang, dan Surabaya.
Selain itu, masih banyak laporan dari korban yang mengalami pelecehan seksual setelah kerusuhan reda.
Dalam mencari data tersebut TGPF mendapatkan temuan bahwa 20 korban telah meninggal dunia dan kebanyakan lainnya berada dalam kondisi fisik dan psikis yang sangat berat.
Baca juga: VIDEO - Tragis! Sepulang dari Gaza Tentara Israel Tewas di Hari Pernikahannya
Baca juga: VOD - 30 KPM di Abdya Terima Bantuan UEP, Bupati Berikan Nasihat ini
Sudah tayang di Kompas.com
KONI Aceh Digugat ke BAKI |
![]() |
---|
Update Demo Gen Z di Nepal: 22 Orang Tewas, 900 Tahanan Kabur Usai Penjara Diserbu |
![]() |
---|
Istri Mantan Perdana Menteri Nepal Tewas usai Rumahnya Dibakar Demonstran |
![]() |
---|
Gibran Digugat Rp125 Triliun, Riwayat SMA Wapres di Singapura Dinilai Tak Sesuai Aturan RI |
![]() |
---|
Digugat Rp 125 Triliun, Sidang Perdana Wapres Gibran Dimulai, Disebut Tidak Pernah Sekolah SMA |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.