MENYAPA NUSANTARA

Menyalakan Api Ambisi Pendidikan Tinggi

Narasi Menteri Pendidikan, Riset, dan Teknologi, Prof. Brian Yuliarto dalam kuliahnya di ITS, seakan menyalakan........

Editor: IKL
ANTARA FOTO/Moch Asim/rwa.
Menteri Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Mendikti Saintek) Brian Yuliarto (kiri) menyampaikan sambutan dan arahan didampingi Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Bambang Pramujati (kanan) saat Forum Wakil Rektor bidang kerja sama di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (25/9/2025). Forum wakil rektor yang dihadiri sebanyak 54 peserta dari 32 perguruan tinggi se-Indonesia tersebut sebagai upaya dalam membangun ekosistem kerja sama untuk kemandirian perguruan tinggi dan mengatasi berbagai persoalan bangsa. 

Namun, mencapai titik ini tidaklah sederhana. Dosen tidak bisa bekerja sendirian. Di sinilah peran strategis Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian menjadi krusial. Kantor mereka seharusnya bukan di dalam kampus, melainkan di luar: di kawasan industri, di ruang rapat Kadin, di lobi kementerian.

Mereka adalah duta besar kampus, yang bertugas menjemput peluang, menciptakan kolaborasi, dan memasarkan produk riset ke dunia nyata.

Pernyataan ini mengingatkan pandangan Prof. Michael Porter, pakar strategi bisnis dari Harvard, yang menegaskan bahwa inovasi tidak terjadi dalam isolasi. Dalam bukunya Competitive Advantage of Nations (1990), Porter menyoroti pentingnya klaster inovasi—kolaborasi erat antara universitas, industri, dan pemerintah.

Korea Selatan misalnya, Universitas seperti KAIST dan Seoul National University bekerja sama dengan raksasa industri seperti Samsung dan Hyundai, menghasilkan ekosistem inovasi yang mendorong ekonomi nasional.

Di Indonesia, kolaborasi semacam ini masih sporadis, terhambat oleh birokrasi, kurang keberanian, dan terjebak mentalitas “jam lima sore.”

 

Tantangan sistemik dan solusi struktural

Untuk mewujudkan visi tersebut, kita perlu mengatasi sejumlah tantangan sistemik.

Pertama, sistem insentif di kampus harus dirombak. Saat ini, dosen dinilai berdasarkan jumlah publikasi atau indeks kutipan, bukan dampak nyata penelitiannya. Sistem ini mendorong “produksi jurnal” demi angka, bukan solusi.

Kita perlu mengadopsi model seperti di Jerman, di mana Fraunhofer Society mengelola jaringan penelitian terapan yang langsung terhubung dengan industri. Dosen di sana didorong untuk menghasilkan paten dan produk yang marketable, bukan hanya makalah.

Kedua, peran Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Pusat Penelitian harus didefinisikan ulang sebagai “panglima perang” di medan industri. Mereka harus dilatih untuk bernegosiasi, memahami kebutuhan pasar, dan membangun jaringan strategis. Ini bukan tugas mudah, mengingat budaya akademik kita cenderung introvert dan terpaku pada rutinitas kampus.

Ketiga, mahasiswa harus dididik untuk menjadi agen perubahan, bukan sekadar pengejar nilai. Kurikulum harus diarahkan pada pengembangan keterampilan berpikir kritis, kreativitas, dan kewirausahaan. Program magang di industri, proyek riset kolaboratif, dan inkubator startup di kampus bisa menjadi langkah awal.

 

Menuju “Jam Sembilan Malam”

Kemajuan bukanlah hadiah, melainkan hasil dari kerja keras, ambisi, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Mentalitas “jam lima sore” adalah jalan yang nyaman tapi buntu. Sebaliknya, jalan “jam sembilan malam” penuh tantangan, namun di ujungnya ada tujuan besar: bangsa yang inovatif, industri yang kuat, dan ekonomi yang tangguh.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved