Jusuf Kalla: Konflik Aceh Bukan Soal Syariat, Masalahnya adalah Ketidakadilan dalam Ekonomi Politik

Jusuf Kalla: penyebab utama dari masalah perdamaian di Provinsi Aceh, adalah ketidakadilan ekonomi.

Editor: Amirullah
YouTube/Mahfud MD Official
JUSUF KALLA DAN ACEH - Dalam foto: Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK). Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Drs. H. Mohammad Jusuf Kalla, mengisahkan kiprahnya dalam menyelesaikan konflik Aceh, satu di antara belasan konflik besar yang terjadi dalam kurun 80 tahun Indonesia Merdeka. 

SERAMBINEWS.COM - Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Mohammad Jusuf Kalla, kembali mengisahkan kiprahnya dalam proses penyelesaian konflik Aceh salah satu dari belasan konflik besar yang mewarnai perjalanan 80 tahun Indonesia merdeka.

Dalam refleksinya, tokoh yang akrab disapa JK itu juga memaparkan sejumlah faktor yang memicu konflik panjang tersebut.

Dikenal luas sebagai Bapak Perdamaian, Jusuf Kalla memainkan peran sentral dalam berbagai proses mediasi.

Ia terlibat langsung menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh, Poso, dan Ambon, serta menjadi tokoh yang kerap dipercaya untuk menjembatani dialog antara pihak-pihak yang berseteru.

JK menjelaskan bahwa konflik Aceh tidak muncul begitu saja. Selain dipengaruhi faktor ketidakpuasan politik dan ekonomi, konflik itu juga dipicu oleh ketimpangan pembangunan dan rasa ketidakadilan yang dirasakan masyarakat setempat.

Pria kelahiran Watampone, Bone, 15 Mei 1942 itu tidak hanya berpengaruh dalam konflik domestik.

Di tingkat internasional, ia juga dipercaya menjadi mediator dalam perundingan perdamaian di Thailand Selatan pada 2008, ketika menjabat Wakil Presiden mendampingi Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Atas kontribusinya yang luas dalam memajukan perdamaian, Jusuf Kalla telah menerima berbagai penghargaan dari lembaga nasional maupun internasional.

Salah satu di antaranya adalah Piagam Bapak Inspirasi Perdamaian Dunia Bagi Pemuda Indonesia yang diberikan oleh Indonesia Youth Forum pada 11 Oktober 2019.

Baca juga: Pasokan Menipis, Harga Ikan di Aceh Tamiang Merangkak Naik

Baca juga: Awas Kena Razia, Lengkapi Surat Kendaraan Anda, Operasi Zebra Akan Dimulai, Termasuk di Aceh Timur

Konflik Aceh Bukan Soal Syariat

Terbaru, Jusuf Kalla berbicara lagi tentang konflik Aceh, yang ia pimpin dalam upaya perundingan damainya pada 2005 silam via Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

Jusuf Kalla yang menjadi tokoh kunci pun dianugerahi Ar Raniry Award dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh pada 18 Agustus 2025, dalam peringatan dua dekade perdamaian Aceh

Menurut pria yang akrab disapa JK ini, kerapkali masalah ideologi agama dan syariat dianggap sebagai akar konflik di provinsi yang menjadi rumah bagi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) tersebut.

Padahal, tidak demikian.

Justru, lanjut Jusuf Kalla, penyebab utama dari masalah perdamaian di Provinsi Aceh, yang saat itu masih bernama Nangroe Aceh Darussalam, adalah ketidakadilan ekonomi.

Sebagian besar masyarakat masih belum mendapat manfaat secara maksimal dari sumber daya alam tersebut.

Hal ini terbukti ketika, kata Jusuf Kalla, Presiden RI ke-4 K.H Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang pelaksanaan syariat Islam, tetapi konflik di Aceh masih terus berlangsung.

"Kalau mengusahakan perdamaian, tentu harus mengetahui dulu penyebab terjadinya ketidakdamaian. Masalahnya apa," jelas Jusuf Kalla, saat menjadi narasumber dalam Webinar Diskusi Penguatan Aktor Resolusi Konflik D'PARK #50, Jumat (14/11/2025).

"Kalau di Aceh, masalahnya adalah keadilan dalam bidang ekonomi," sambungnya.

Baca juga: Siti Nurhaliza Rilis Musik Video ‘Rencong’, Tampilkan Budaya Melayu: Sindirian untuk Generasi Muda

"[Sementara] orang banyak menganggap, konflik Aceh itu masalah agama dan syariat yang berkembang," imbuhnya.

"Tahun 2000, Bapak Presiden RI Gus Dur mengeluarkan Keppres untuk menjalankan syariat Islam di Aceh, ternyata tetap ada konflik. Jadi, masalahnya bukan itu [agama]," tegasnya.

Terletak di ujung utara Pulau Sumatera, sebagai provinsi yang kaya akan minyak bumi dan gas alam beserta komoditas mineral logam seperti emas, perak, tembaga, dan nikel, masyarakat Aceh dinilai belum bisa dibilang makmur secara keseluruhan.

Jusuf Kalla bilang, saat itu masyarakat Aceh hanya mendapat 15 persen dari hasil pengelolaan sumber daya alam di daerah mereka, persentase yang terbilang begitu kecil.

Selain itu, menurut JK, penyebab lain dari ketidakadilan ekonomi di masyarakat Aceh adalah ketimpangan lapangan kerja.

Di mana, para pekerja di Aceh justru bukan merupakan warga setempat, melainkan berasal dari luar Aceh.

"Ternyata, masalahnya adalah ketidakadilan dalam ekonomi politik, karena di Aceh itu kaya sumber daya alam minyak dan gas, tapi masyarakat tidak mendapat manfaat besar dari hal tersebut," jelas JK.

"Mereka hanya mendapat 15 persen dari hasilnya, juga banyak orang yang bekerja berasal dari luar Aceh. Di situlah masalah kurangnya peranan politik dan pemerintah," tambahnya.

"Maka, waktu itu kita berikan kesempatan masyarakat Aceh untuk menikmati manfaat kekayaan sumber daya yang lebih besar daripada sebelumnya, serta diberi kemudahan-kemudahan serta kepentingan yang diatur, sehingga terjadilah perdamaian di Aceh," kata dia.

Baca juga: Revisi UUPA Sedang Dibahas, Prof Humam Sebut Aceh Patut Berterima Kasih Pada Empat Sosok Ini

MoU Helsinki

Adapun konflik Aceh terjadi antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sebuah kelompok separatis yang menyatakan ingin membentuk pemerintahan sendiri, keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

GAM sudah melakukan perlawanan terhadap Pemerintah RI sejak 1976, hingga akhirnya konflik berakhir setelah tercapainya kesepakatan damai yang tertuang dalam nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki.

Sesuai namanya, MoU Helsinki merupakan hasil perundingan yang dilaksanakan antara Pemerintah RI dengan GAM yang digelar di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005.

Dalam perundingan tersebut, delegasi Pemerintah RI diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM RI (Menkumham) saat itu, Hamid Awaludin.

Sementara, pihak GAM diwakili Malik Mahmud Al Haytar. Kedua perwakilan ini pun menandatangani MoU Helsinki, dengan sejumlah kesepakatan yang dicapai.

Poin inti dalam MoU Helsinki adalah GAM mencabut tuntutan untuk memisahkan diri dari Indonesia, sedangkan Pemerintah RI memberi kebebasan kepada GAM untuk membentuk partai politik yang bersifat lokal.

Bahkan, GAM bisa melakukan perdagangan internasional sendiri dalam rangka menjamin kehidupan berdemokrasi di Aceh. 

Di sisi lain, Indonesia juga sepakat untuk membebaskan tahanan GAM.

Terkait sumber daya alam di Aceh, sebelum MoU Helsinki, Pemerintah Aceh hanya mendapatkan keuntungan sebesar 5 persen dari bagi hasil minyak bumi dan gas, sedangkan 95 persen lainnya masuk ke kas negara.
 
Setelah MoU Helsinki, pembagian ini menjadi 70 persen untuk Pemerintah Aceh dan 30 persen untuk negara.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Jusuf Kalla Tegaskan Konflik Aceh Bukan Soal Syariat: Akarnya Ketidakadilan Ekonomi

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved