KUPI BEUNGOH

Lulusan Bertambah, Lapangan Pekerjaan Semakin Susah

Ironisnya, sebagian besar dari mereka berada di kota-kota pusat pendidikan seperti Banda Aceh.

Editor: Firdha Ustin
FOR SERAMBINEWS.COM
Putro Davina Yasmin, PENULIS adalah (Anggota Muda Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A) 

Oleh Putro Davina Yasmin *)

Banda Aceh dikenal sebagai kota pelajar.

Setiap tahun, kampus-kampus melepas ribuan wisudawan dengan harapan besar.

Tapi begitu lampu pesta padam, banyak dari mereka justru gamang, di mana tempat mereka akan bekerja, jika lapangan kerja tetap sempit dan stagnan?

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Aceh mencapai 5,50 persen atau sekitar 149 ribu orang dari 2,7 juta angkatan kerja.

Jumlah ini memang mengalami sedikit penurunan dari tahun sebelumnya, tetapi angka pengangguran lulusan perguruan tinggi justru tetap tinggi.

Ironisnya, sebagian besar dari mereka berada di kota-kota pusat pendidikan seperti Banda Aceh.

Angka statistik ini tidak berdiri sendiri. Ia tercermin nyata dalam cerita banyak lulusan muda, salah satunya Kintan Kirani, lulusan pertanian dari USK, mengaku telah melamar ke lebih dari 20 tempat namun belum ada hasil.

“Bukan karena saya tidak mampu, tapi tidak ada lowongan yang sesuai dengan bidang,” ungkapnya.

Sementara itu, Khalis Anwar, lulusan Ilmu Perpustakaan, memilih menjadi guru TPA dengan honor Rp250.000 per bulan karena belum menemukan pekerjaan sesuai jurusannya.

Cerita seperti mereka bukan pengecualian, tapi gejala umum yang menunjukkan bahwa sistem pendidikan dan dunia kerja kita sedang tidak sejalan.

Lebih miris lagi, tidak sedikit lowongan pekerjaan yang disebarkan secara terbatas. Banyak informasi kerja hanya berputar di kalangan dalam, membuat lulusan yang tidak punya akses jaringan akhirnya tertinggal.

Tak jarang pula lulusan perempuan diprioritaskan hanya untuk posisi resepsionis atau administrasi, meski punya latar belakang teknik atau ilmu sains.

Ini memperlihatkan bahwa diskriminasi berbasis gender dan keterbatasan akses informasi turut memperparah masalah pengangguran.

Ketika lowongan kerja hanya disebar lewat jaringan terbatas, yang tertinggal biasanya mereka dari latar keluarga biasa, bukan yang punya koneksi kuat. Ini menciptakan kesenjangan baru dalam pasar kerja

Padahal, Aceh memiliki banyak potensi lokal yang dapat dikembangkan menjadi sektor ekonomi baru.

Dari sektor pertanian organik, industri kreatif berbasis digital, sampai pariwisata sejarah dan budaya.

Namun sayangnya, belum banyak lulusan yang diarahkan untuk menjadi pelaku usaha dalam bidang-bidang tersebut.

Kampus juga masih terlalu berfokus pada pencapaian akademik tanpa cukup mempersiapkan lulusannya untuk menghadapi dunia kerja yang dinamis.

Dalam situasi seperti ini, dibutuhkan langkah kolaboratif yang nyata.

Pemerintah Kota Banda Aceh perlu membangun sistem pendataan lulusan dan kebutuhan dunia usaha lokal. 

Program pelatihan transisi kerja (bridging program) perlu dilaksanakan secara rutin agar lulusan tidak hanya pintar secara teori, tapi juga siap terjun di lapangan.

Kampus pun harus mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan dan pembentukan skill digital ke dalam kurikulumnya sejak dini.

Selain itu, akses terhadap informasi lowongan kerja harus dibuka seluas-luasnya.

Pemerintah dapat membentuk satu portal informasi karir khusus lulusan Aceh yang transparan, terbuka, dan bebas diskriminasi. Dunia usaha lokal juga perlu diberi insentif agar bersedia membuka peluang bagi lulusan baru tanpa pengalaman.

Kita tidak kekurangan lulusan cerdas, tapi kita kekurangan sistem yang siap menampung mereka.

Bila dibiarkan, pengangguran intelektual ini tidak hanya merugikan individu, tapi juga menciptakan pemborosan sosial dan ekonomi jangka panjang.

Sudah saatnya Banda Aceh tidak hanya dikenal sebagai kota pelajar, tetapi juga kota yang mampu memberikan ruang kerja bagi generasi mudanya. Karena sebaik apa pun kualitas pendidikan, akan sia-sia jika tidak ada tempat untuk mengaplikasikannya.

Kita perlu membenahi arah pembangunan ekonomi lokal agar gelar sarjana bukan menjadi akhir dari perjuangan, tapi awal dari pengabdian yang bermakna.

Generasi muda Aceh tidak butuh janji-janji baru, mereka butuh ruang untuk berkarya. Mari kita pastikan gelar sarjana bukan sekadar simbol, tapi jembatan menuju masa depan yang bermakna.

PENULIS adalah (Anggota Muda Generasi Edukasi Nanggroe Aceh (GEN-A)

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved