Kupi Beungoh

Lampu Padam, Joget Masih Jalan

Joget itu bukan sekadar goyangan tubuh. Ia simbol. Simbol jarak. Simbol ketidakpedulian. Simbol betapa pesta memang belum benar-benar berhenti.

Editor: Agus Ramadhan
FOR SERAMBINEWS.COM
Alwy Akbar Al Khalidi 

*) Oleh: Alwy Akbar Al Khalidi

PESTA itu sudah usai. Musik berhenti. Lampu padam. Kursi-kursi kosong.

Tapi siapa yang membereskan ruangan?

Bukan tuan rumah. Bukan mereka yang tertawa keras di kursi empuk.

Yang menanggung justru pelayan.

Itulah rakyat.

Mereka yang harus bayar utang negara. Mereka yang menerima harga beras melambung. Mereka yang dipaksa percaya pada angka statistik yang tak pernah bisa dimakan.

Ironinya, di gedung megah itu para wakil rakyat justru berjoget. Kamera menyorot jelas. Tawa lepas. Badan bergoyang. Semua itu terjadi di hari ketika diumumkan tunjangan mereka naik.

Alasannya: efisiensi.

Betapa kasar logika itu. Efisiensi untuk rakyat artinya ikat pinggang makin kencang. Sementara efisiensi bagi mereka justru menambah kenyamanan. Pajak dinaikkan. Subsidi dicabut. Harga naik. Tapi di balik pintu kaca ber-AC, ada pesta kecil. Ada joget yang menyakiti hati bangsa.

Joget itu bukan sekadar goyangan tubuh. Ia simbol. Simbol jarak. Simbol ketidakpedulian. Simbol betapa pesta memang belum benar-benar berhenti. Hanya berganti panggung.

Dan seperti biasa, piring kotor dibiarkan menumpuk. Sampah berserakan. Siapa yang disuruh membersihkan? Rakyat lagi. Rakyat terus.

Ada yang bilang rakyat itu sabar. Benar. Tapi sabar bukan berarti tidak terluka. Sabar bukan berarti bisa terus diperas. Sejarah sudah menunjukkan: bahkan kesabaran punya titik akhir.

Dulu rakyat diam saat pajak ditambah. Rakyat diam saat harga melonjak. Rakyat diam saat tanah digusur. Tapi ketika diam itu dianggap persetujuan, maka kekuasaan keliru membaca. Diam bukan tanda setuju. Diam bisa saja hanya menunggu waktu.

Joget di gedung itu adalah gambaran nyata betapa jauh jarak antara kursi empuk dan kursi plastik warung kopi. Di warung kopi, rakyat berbicara tentang harga minyak goreng. Tentang biaya sekolah. Tentang cicilan motor. Sedang di kursi empuk, rakyat dijadikan angka. Dijadikan grafik. Dijadikan bahan pidato.

Seolah rakyat hanya statistik.

Padahal yang mereka butuhkan sederhana: harga stabil. Hidup tenang. Sekolah terjangkau. Bukan tarian anggota dewan di layar televisi.

Di luar gedung, rakyat menonton dengan getir. Mereka tahu, pesta di dalam ruangan itu dibayar dengan keringat di luar sana. Pajak yang dipotong dari gaji kecil. Harga beras yang terus menanjak. Subsidi yang makin menipis.

Apakah rakyat harus terus menjadi pelayan yang membereskan sisa pesta?

Ulama sufi selalu mengingatkan bahwa dunia ini bukan tempat tinggal. Dunia ini hanya ruang tunggu. Imam al-Ghazali berkata: “Dunia ini ibarat bayangan, bila engkau kejar ia akan lari, bila engkau berpaling ia akan mengikuti.”

Tapi siapa yang percaya kata-kata itu di gedung megah? Joget tetap berlangsung. Kursi tetap penuh. Gaji tetap bertambah.

Dan rakyat tetap diminta diam.

Namun tidak ada pesta yang abadi. Itu hukum sejarah. Itu hukum Tuhan. Semua kursi suatu hari akan kosong. Semua lampu akan padam. Semua musik akan berhenti.

Yang tertinggal hanya piring kotor.

Dan piring itu akan dicatat. Tidak ada yang luput. Tidak ada yang tertukar.

Catatan rakyat mungkin bisa dimanipulasi. Catatan media mungkin bisa dibeli. Tapi catatan sejarah tidak pernah keliru. Dan catatan Tuhan tidak pernah bisa ditawar.

Maka berhentilah berjoget di atas luka rakyat. Berhentilah menari di atas penderitaan orang banyak. Karena setiap tarian punya akhir. Setiap pesta punya bubar.

Dan ketika pintu ruangan itu benar-benar tertutup, yang masuk bukan lagi pelayan. Yang masuk adalah pengadilan.

Pertanyaan terakhirnya sederhana. Bukan tentang berapa tunjangan. Bukan tentang berapa kursi. Tetapi tentang seberapa layak seseorang mempertanggungjawabkan tarian kecilnya di hadapan rakyat, di hadapan sejarah, di hadapan Tuhan.(*)

*) PENULIS adalah Mahasiswa Doktoral Studi Islam UAD Yogyakarta, Aktivis Dayah Aceh, Pengajar Sosiologi Hukum dan Pemikiran Hukum Islam

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis.

BACA TULISAN KUPI BEUNGOH LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved