Jurnalisme Warga
Dari Bung Karno ke Prabowo: Arsip yang Menggema di Ruang Waktu
Ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di sana tahun 2025, suara Indonesia kembali menggema di forum dunia.
Enam puluh lima tahun kemudian, giliran Prabowo yang berdiri di mimbar yang sama. Ia bukan lagi jenderal yang memimpin pasukan, tetapi presiden yang mengemban mandat rakyat. Suaranya lugas, tegas, tanpa banyak basa-basi.
Ia bicara tentang ketidakadilan global, tentang rakyat yang masih lapar di satu sisi, sementara dunia lain berlimpah pangan. Ia bicara tentang ketidaksetaraan energi, tentang konflik yang tak kunjung selesai, terutama nasib bangsa Palestina. Pesannya jelas: kemanusiaan harus ditempatkan di atas kepentingan politik.
Dari sudut pandang kearsipan, pidato Prabowo adalah “dokumen hidup” yang suatu saat akan menjadi arsip statis. Arsip ini akan dikenang sebagai rekaman Indonesia di awal abad ke-21: bangsa yang menolak diam, yang berani bicara di tengah ketidakadilan global.
Arsip lain
Bangsa ini tahu, arsip bisa menentukan arah sejarah. MoU Helsinki 2005 adalah contohnya. Sebuah dokumen yang mengakhiri tiga dekade konflik di Aceh. Tanpa arsip itu, rekonsiliasi bisa buyar.
Ada pula Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang ditandatangani Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dokumen itu mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang membatasi hak-hak warga keturunan Tionghoa. Arsip tersebut menjadi simbol keberanian bangsa ini untuk menghapus diskriminasi dan menegakkan kesetaraan.
Arsip-arsip monumental itu adalah tonggak bangsa. Ia menjadi penopang memori kolektif. Dan kini, pidato Prabowo di PBB harus ditempatkan dalam deretan yang sama: sebuah dokumen kebangsaan yang nilainya melampaui masa jabatan presiden.
Tugas ANRI yang mendesak
Sekretariat Negara tentu mendokumentasikan pidato Prabowo dengan rapi. Namun, mandat negara menegaskan: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) adalah lembaga yang bertanggung jawab menjaga memori kolektif bangsa.
ANRI tidak boleh menunggu. Arsip pidato ini harus segera diselamatkan: teks pidato, rekaman audio, video, hingga foto-foto di sidang PBB. Semua itu harus dijaga keasliannya, dilestarikan dalam berbagai bentuk, dan diamankan dari ancaman kerusakan maupun kehilangan.
ANRI perlu melangkah lebih jauh: mengalihmediakan arsip ke bentuk digital, membuat salinan cadangan, dan memastikan akses publik di masa mendatang. Ingat, arsip yang hanya disimpan tanpa bisa diakses, sama saja dengan suara yang dikubur dalam diam.
Jangkar identitas
Di era digital, informasi datang bagai banjir, deras, dan menenggelamkan. Namun, di tengah arus deras itu, arsip adalah jangkar. Ia menahan kita agar tidak tercerabut dari akar sejarah.
Arsip pidato Bung Karno adalah jangkar yang mengingatkan kita pada keberanian bangsa yang baru merdeka. Arsip MoU Helsinki adalah jangkar yang mengikat ikrar perdamaian. Arsip Keppres Gus Dur adalah jangkar yang menegakkan kesetaraan. Dan, arsip pidato Prabowo akan menjadi jangkar yang mengikat komitmen Indonesia pada aras kemanusiaan global.
Bangsa yang kehilangan arsipnya akan kehilangan arah. Bangsa yang menjaga arsipnya akan menemukan pijakan untuk melangkah lebih jauh.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.