Jurnalisme Warga
Dari Bung Karno ke Prabowo: Arsip yang Menggema di Ruang Waktu
Ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di sana tahun 2025, suara Indonesia kembali menggema di forum dunia.
MUHAMAD IHWAN, penulis dan pemerhati kearsipan, melaporkan dari Gampong Bakoy, Aceh Besar
Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu punya cara memahat sejarah. Mikrofon di podium, sorot lampu yang jatuh ke wajah para pemimpin negara, hingga detik hening sebelum kalimat pertama diucapkan, semuanya adalah panggung yang lebih besar dari sekadar ruang sidang.
Ketika Presiden Prabowo Subianto berdiri di sana tahun 2025, suara Indonesia kembali menggema di forum dunia. Ia berbicara dengan tegas: Hentikan kekerasan terhadap warga sipil, akui Palestina, wujudkan perdamaian, dan tata ulang keadilan global. Kalimat-kalimat itu meluncur, menembus ruang, melintasi jarak, dan menyentuh nadi kemanusiaan.
Di balik gema itu, ada gaung lama yang ikut hadir: Bung Karno. Pada 30 September 1960, Presiden pertama Republik Indonesia itu berdiri di podium yang sama pada Sidang Umum Ke-15 PBB. Dengan pidato berjudul “To Build The World Anew”, ia menentang tata dunia yang timpang, menolak dominasi blok, dan menyerukan dunia baru yang berkeadilan.
Dalam pidato tersebut, Bung Karno mengajak dunia untuk membangun tatanan baru yang lebih adil dan damai, sebagai perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Alhamdulillah, judul pidato ini telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Memory of the World (MoW).
Nah, dua pidato, dua zaman, satu benang merah: keberanian Indonesia untuk berbicara lantang di hadapan para pemimpin dunia.
Arsip penjaga gema
Bagi diplomat, pidato di PBB adalah instrumen politik luar negeri. Bagi arsiparis, pidato itu adalah lebih dari sekadar teks. Ia adalah jejak sejarah, dokumen yang merekam arah bangsa, memori kolektif yang akan menentukan bagaimana generasi mendatang memahami jati diri Indonesia.
Arsip menjaga suara yang mungkin akan terlupakan. Tanpa arsip, suara Bung Karno hanya tinggal cerita yang samar. Tanpa arsip, pidato Prabowo kelak hanya menjadi kabar burung. Dengan arsip, suara itu menjadi abadi, bisa dibaca, didengar, bahkan dirasakan kembali oleh siapa pun yang ingin belajar dari sejarah.
Arsip bukan benda mati. Ia adalah cermin bangsa. Ia merekam bukan hanya kata-kata, melainkan juga keberanian, konteks zaman, bahkan denyut moral yang terkandung di dalamnya.
Menyulut Dunia Baru
Pidato Bung Karno di PBB pada 30 September 1960 adalah salah satu momen terbesar dalam diplomasi Indonesia. Dengan suara berapi-api, ia menyatakan bahwa dunia yang lama, yang dikuasai oleh kolonialisme dan imperialisme, harus ditinggalkan. Dunia harus dibangun kembali.
Pidato itu, dalam perspektif kearsipan, adalah artefak yang menyimpan bukan hanya pikiran Bung Karno, melainkan juga semangat bangsa Indonesia yang baru merdeka. Arsip teks pidatonya, rekaman audio, dan dokumentasi visual kini menjadi saksi sejarah yang tak ternilai.
Generasi setelahnya bisa membaca kalimat demi kalimat Bung Karno, mendengar tekanan suaranya, dan melihat gesturnya. Arsiplah yang memungkinkan kita memahami kembali getaran sejarah itu, bukan sekadar lewat cerita.
Suara keadilan baru
Enam puluh lima tahun kemudian, giliran Prabowo yang berdiri di mimbar yang sama. Ia bukan lagi jenderal yang memimpin pasukan, tetapi presiden yang mengemban mandat rakyat. Suaranya lugas, tegas, tanpa banyak basa-basi.
Ia bicara tentang ketidakadilan global, tentang rakyat yang masih lapar di satu sisi, sementara dunia lain berlimpah pangan. Ia bicara tentang ketidaksetaraan energi, tentang konflik yang tak kunjung selesai, terutama nasib bangsa Palestina. Pesannya jelas: kemanusiaan harus ditempatkan di atas kepentingan politik.
Dari sudut pandang kearsipan, pidato Prabowo adalah “dokumen hidup” yang suatu saat akan menjadi arsip statis. Arsip ini akan dikenang sebagai rekaman Indonesia di awal abad ke-21: bangsa yang menolak diam, yang berani bicara di tengah ketidakadilan global.
Arsip lain
Bangsa ini tahu, arsip bisa menentukan arah sejarah. MoU Helsinki 2005 adalah contohnya. Sebuah dokumen yang mengakhiri tiga dekade konflik di Aceh. Tanpa arsip itu, rekonsiliasi bisa buyar.
Ada pula Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 yang ditandatangani Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dokumen itu mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 yang membatasi hak-hak warga keturunan Tionghoa. Arsip tersebut menjadi simbol keberanian bangsa ini untuk menghapus diskriminasi dan menegakkan kesetaraan.
Arsip-arsip monumental itu adalah tonggak bangsa. Ia menjadi penopang memori kolektif. Dan kini, pidato Prabowo di PBB harus ditempatkan dalam deretan yang sama: sebuah dokumen kebangsaan yang nilainya melampaui masa jabatan presiden.
Tugas ANRI yang mendesak
Sekretariat Negara tentu mendokumentasikan pidato Prabowo dengan rapi. Namun, mandat negara menegaskan: Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) adalah lembaga yang bertanggung jawab menjaga memori kolektif bangsa.
ANRI tidak boleh menunggu. Arsip pidato ini harus segera diselamatkan: teks pidato, rekaman audio, video, hingga foto-foto di sidang PBB. Semua itu harus dijaga keasliannya, dilestarikan dalam berbagai bentuk, dan diamankan dari ancaman kerusakan maupun kehilangan.
ANRI perlu melangkah lebih jauh: mengalihmediakan arsip ke bentuk digital, membuat salinan cadangan, dan memastikan akses publik di masa mendatang. Ingat, arsip yang hanya disimpan tanpa bisa diakses, sama saja dengan suara yang dikubur dalam diam.
Jangkar identitas
Di era digital, informasi datang bagai banjir, deras, dan menenggelamkan. Namun, di tengah arus deras itu, arsip adalah jangkar. Ia menahan kita agar tidak tercerabut dari akar sejarah.
Arsip pidato Bung Karno adalah jangkar yang mengingatkan kita pada keberanian bangsa yang baru merdeka. Arsip MoU Helsinki adalah jangkar yang mengikat ikrar perdamaian. Arsip Keppres Gus Dur adalah jangkar yang menegakkan kesetaraan. Dan, arsip pidato Prabowo akan menjadi jangkar yang mengikat komitmen Indonesia pada aras kemanusiaan global.
Bangsa yang kehilangan arsipnya akan kehilangan arah. Bangsa yang menjaga arsipnya akan menemukan pijakan untuk melangkah lebih jauh.
Menjaga muruah bangsa
Di ruang sidang PBB, Prabowo bicara atas nama Indonesia. Akan tetapi, begitu arsip itu tercatat, ia bukan lagi milik satu presiden. Ia menjadi milik bangsa. Ia menjadi warisan yang akan dikenang generasi mendatang.
Sejarah telah membuktikan: arsip bisa menyelamatkan bangsa dari lupa, sekaligus menjaga muruah atau martabatnya. Menyelamatkan arsip pidato Prabowo berarti memastikan bahwa generasi mendatang tahu: Indonesia pernah bersuara lantang untuk keadilan dunia.
Arsip adalah saksi bisu yang tak pernah berkhianat. Ia merekam, menyimpan, dan menyampaikan kembali. Tugas kita hanyalah satu: menjaganya dengan sepenuh hati, termasuk dari amuk massa jika terjadi lagi unjuk rasa yang berujung anarkis.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.