Jurnalisme Warga
Pentingnya Sinkronisasi Kebijakan Pengelolaan Royalti di Aceh
Melalui kegiatan ini diharapkan terbangun kesepahaman dan sinergisitas antarpemangku kepentingan, sekaligus menjadi wadah aspirasi publik
Dr. SITI RAHMAH., S.H., M.Kn., CPM., Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Majelis Seniman Aceh dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, melaporkan dari Banda Aceh
Tanggal 12 September 2025, saya mengikuti Rapat Koordinasi (Rakor) dan Sinkronisasi Kebijakan Pengelolaan Royalti, yang diadakan di Kantor Wilayah Kementerian Hukum Provinsi Aceh. Kegiatan ini dihadiri 50 peserta, terdiri atas pelaku usaha, akademisi, unsur Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Banda Aceh, Majelis Adat Aceh, lembaga bantuan hukum, dan para seniman se-Kota Banda Aceh.
Acara ini mengusung tema “Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi Kebijakan Pengelolaan Royalti untuk Mendorong Komersialisasi Industri Kreatif dan Daya Saing Daerah di Aceh”.
Acara dibuka oleh Dr Nofli BcIP, SSos, SH, MSi selaku Deputi Bidang Koordinasi Hukum pada Kanwil Hukum Provinsi Aceh. Kegiatan ini merupakan forum koordinasi lintas sektor untuk menyelaraskan kebijakan dan program strategis sistem royalti dalam penguatan ekosistem kekayaan intelektual.
Tujuannya adalah untuk memastikan pengelolaan royalti yang tidak saja tertib secara administratif, tetapi juga adil, berkelanjutan, dan berpihak pada pencipta, pelaku, serta pemilik hak. Melalui kegiatan ini diharapkan terbangun kesepahaman dan sinergisitas antarpemangku kepentingan, sekaligus menjadi wadah aspirasi publik yang akan ditindaklanjuti sebagai rekomendasi kebijakan nasional terkait sistem pengelolaan royalti.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah memberikan kewenangan khusus bagi Aceh untuk mengatur, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan serta keseniannya sendiri. Namun, pengembangannya tetap harus sesuai dengan syariat Islam. Dengan demikian, seni dan budaya Aceh tidak saja harus dijaga kelestariannya, tetapi juga diarahkan agar tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama Islam, sekaligus memperkuat identitas keacehan.
Tiga narasumber hadir dalam kegiatan ini. Pemateri pertama Bapak Purwandani Harum Pinilihan selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum pada Kantor Wilayah Kementerian Hukum Aceh. Dalam paparannya, Purwandani menjelaskan beberapa regulasi hak cipta dan royalti yang saat ini eksis di Indonesia.
Selaku perwakilan instansi vertikal di Aceh, kantor wilayah memiliki kewajiban untuk melakukan sosialisasi seluruh regulasi terkait kekayaan intelektual, termasuk hak cipta.
Mengingat banyaknya sangketa royalti yang akhir-akhir ini viral, sehingga hal ini menjadi atensi khusus para pemangku kebijakan di pusat untuk segera mengatur regulasi baru yang lebih adil dan sistematis.
Untuk itu, perlu bagi Kantor Wilayah Kantor Kementerian Hukum Aceh menginventarisasi permasalahan yang ada dan menghimpun saran serta masukan dari berbagai pihak terkait, yang selanjutnya akan dijadikan usulan dan rekomendasi dari wilayah sebagai bahan pertimbangan pengampu kebijakan di pusat dalam penyusunan regulasi yang mengatur tentang hak cipta dan royalti.
Saya hadir mewakili Majelis Seniman Aceh sebagai Ketua Bidang Hukum dan Advokasi. Saya memaparkan tentang “Kebijakan Pengelolaan Royalti”. Saya sampaikan bahwa royalti bukanlah beban, melainkan bentuk penghargaan atas karya dan jerih payah dari pencipta. Ketika musik dinikmati banyak orang, royalti hadir sebagai jembatan antara apresiasi dan keadilan, memastikan para seniman tetap bisa berkarya.
Membayar royalti berarti menjaga ekosistem kreatif tetap hidup, sebab royalti adalah hak, bukan hadiah. Royalti adalah kewajiban, bukan pilihan.
Mewakili Majelis Seniman Aceh, saya juga memberikan beberapa rekomendasi, yaitu perlunya kehadiran Pengadilan Niaga di Aceh.
Selain itu, perlu dibentuk Lembaga Majemen Kolektif Aceh (LMKA) untuk mengelola royalti seniman di Aceh.
Sebagaimana amanat Pasal 87-94 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta disebutkan bahwa pencipta atau pemilik hak cipta berhak membentuk Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Alasan pembentukan LMKA adalah sebagai bentuk perlindungan hak cipta bagi pemilik hak cipta. LMKA hadir agar para pencipta lagu, musisi, penulis, dan pelaku seni di Aceh mendapatkan perlindungan hukum serta hak ekonominya sesuai Undang-Undang Hak Cipta.
Penyaluran royalti yang adil dan transparan agar bisa disalurkan dan didistribusikan secara teratur kepada para pencipta.
Pemerintah harus pula mendorong Ekosistem Kreatif Daerah yang berfungsi memperkuat ekosistem industri kreatif Aceh dengan memberikan penghargaan berupa royalti yang lebih tinggi kepada para seniman daerah, sehingga mereka termotivasi untuk terus berkarya.
Berikutnya, mendukung komersialisasi dan daya saing daerah. Dengan dibentuknya LMKA kelak, maka karya seni Aceh dapat lebih bernilai secara ekonomi, mendorong pertumbuhan industri kreatif, serta meningkatkan kontribusi daerah pada sektor budaya dan pariwisata.
Selain itu, Pemerintah Aceh perlu membuat qanun tentang kesenian, untuk melindungi pencipta dan mengatur pemanfaatan seni tradisi di Aceh. Qanun ini penting dilahirkan agar dapat memberikan perlindungan bagi seniman dan pewaris seni, pembiayaan dan anggaran, agar menjaga kelestarian kesenian di Aceh, mengatur para lembaga kesenian dan sebagainya.
Paparan yang saya sampaikan adalah hasil dari duduk rembuk bersama beberapa seniman Aceh. Tak hanya itu, kami juga membuka ruang diskusi dalam grup WhatsApp yang anggotanya terdiri atas para seniman, musisi, pencipta lagu, produser, penulis, penyair Nusantara, penyanyi reagge, dan ‘dancer hip hop’.
Saya juga menyampaikan bahwa tanpa apresiasi, sebuah karya akan redup. Namun, dengan adanya royalti karya akan terus menyala, sekaligus menegaskan bahwa penghormatan terhadap hak cipta jauh lebih bermakna daripada sekadar nilai uang.
Sementara itu, Bapak Bahrul Ulum tampil mewakili Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Aceh,. Beliau membahas tentang “Optimalisasi Kekayaan Intelektual di Sektor Perhotelan dan Restoran untuk Meningkatkan Daya Saing Daerah”.
Dalam pemaparannya, Bahrul Ulum menyampaikan bahwa PHRI merupakan organisasi usaha yang bersifat mandiri, bukan organisasi pemerintah, bukan pula organisasi politik dan/atau tidak merupakan bagiannya. Dalam hal royalti, PHRI telah menandatangani nota kesepahaman dengan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tentang Penarikan Royalti dari Anggota PHRI. Kesepakatan tersebut tertera dalam MoU Nomor 001/LMKN-MoU/XI-2016 dan Nomor 009/MoU/BPP-PHRI.XVII/11/ 2016 pada tanggal 7 November 2016 .
MoU tersebut menyepakati tentang penarikan royalti musik terhadap hotel yang menggunakan sebagian atau seluruhnya hak pencipta dan hak terkait atas karya lagu dan musik, khususnya hak mengumumkan dan/atau hak komunikasi kepada publik.
Diskusi ini dipandu oleh moderator, Abdi Dharma MH. Hasil dari rakor ini menegaskan pentingnya perlindungan hak cipta dan sistem royalti yang adil, transparan, serta berkelanjutan.
Sambutan Kakanwil yang diwakili Purwandani Harum Pinilihan menekankan perlunya sinergi seluruh pemangku kepentingan untuk memperkuat ekosistem kekayaan intelektual dan layanan hukum. Deputi Bidang Koordinasi Hukum ini menyoroti potensi besar Aceh sebagai provinsi prioritas ekonomi kreatif nasional sekaligus perlunya pembenahan mekanisme royalti agar benar-benar berpihak pada pencipta.
Forum ini menghasilkan kesepahaman bersama tentang pentingnya sistem royalti yang transparan dan berkelanjutan, sekaligus menjadi rekomendasi bagi kebijakan nasional. Hasil rapat juga diharapkan dapat meningkatkan daya saing daerah serta memperkuat kontribusi Aceh dalam pembangunan ekonomi kreatif di Indonesia. Semoga. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.