Kupi Beungoh
Lebih dari Sekadar Angka: Mengapa Kualitas Persalinan Ibu di Daerah Terpencil Masih Menjadi Taruhan?
Tiga penyebab ini sebenarnya bisa dicegah dengan deteksi dini, rujukan cepat, dan intervensi yang tepat. Namun, sistem kesehatan kita sering kali..
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa penyebab utama kematian ibu masih berkutat pada tiga hal: perdarahan, hipertensi dalam kehamilan, dan infeksi. Tiga penyebab ini sebenarnya bisa dicegah dengan deteksi dini, rujukan cepat, dan intervensi yang tepat. Namun, sistem kesehatan kita sering kali tidak cukup tanggap.
Kesenjangan Akses: Ketika Lokasi Menentukan Nasib
Perbedaan mencolok terlihat antara persalinan di kota besar dengan di daerah terpencil. Di rumah sakit rujukan di Banda Aceh, fasilitas obstetri relatif lengkap, tenaga spesialis tersedia, dan akses transportasi lebih mudah.
Namun, bayangkan ibu yang tinggal di pedalaman Simeulue, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, atau Pidie Jaya? Keterbatasan fasilitas di puskesmas, minimnya tenaga dokter spesialis kandungan, hingga jarak tempuh yang jauh membuat nyawa ibu menjadi taruhan.
Kesenjangan ini nyata, dan semakin memperlihatkan bahwa sistem kesehatan kita belum berhasil menghadirkan keadilan akses bagi seluruh masyarakat.
Tantangan Praktis di Lapangan
Sebagai tenaga kesehatan, saya memahami dilema yang sering dihadapi tenaga kesehatan di lapangan diantaranya: pertama sarana terbatas. Tidak semua puskesmas memiliki ruang operasi, bank darah, atau fasilitas intensif, kedua Rujukan lambat.
Sistem birokrasi dan keterbatasan transportasi membuat rujukan sering terlambat, ketiga Tenaga ahli terbatas. Bidan di garda depan kerap harus mengambil keputusan darurat tanpa dukungan dokter spesialis dan keempat Faktor budaya. Sebagian keluarga masih mempercayakan persalinan pada dukun beranak atau menolak rujukan karena keyakinan tradisional.
Tragedi Khairunnisa seakan menjadi gambaran besar dari semua tantangan ini. kita bisa melihat bagaimana kesulitan transportasi malam hari, kebingungan keluarga mencari biaya tambahan, atau ketidakpastian kapan pertolongan datang, semuanya menjadi bab tambahan dalam drama nyata ini.
Dari sisi medis, perdarahan pasca-SC adalah risiko nyata. Dari sisi sistem, kesiapan fasilitas dan tenaga penanganan darurat sering tidak merata. Tenaga kesehatan di puskesmas sekalipun terpaksa menjadi penonton yang tak berdaya saat waktu terus berlalu.
Mengapa sistem kita rapuh? Jika kita telisik lebih dalam, ada beberapa faktor utama yang membuat tragedi persalinan masih sering terjadi di Aceh yakni pertama, Distribusi tenaga kesehatan tidak merata. Dokter kandungan lebih banyak terkonsentrasi di kota besar, sementara daerah terpencil hanya mengandalkan bidan dan perawat.
Kedua, Infrastruktur timpang. Jalan, transportasi, dan sistem komunikasi tidak mendukung rujukan cepat. Ketiga, Sistem rujukan berbelit. Padahal, dalam kasus obstetri, setiap menit sangat menentukan. Keempat Pengawasan kualitas lemah. SOP sering tidak dijalankan konsisten, apalagi di fasilitas kesehatan yang minim sumber daya.
Cerita Khairunnisa tadi mempertegas bahwa kita tak bisa lagi berdiam diri. Kisah nyata seperti itu bukan hanya testimoni nasib buruk, melainkan panggilan agar sistem kita betul-betul direformasi — dari pusat hingga pelosok desa.
Belajar dari praktik baik beberapa negara dengan kondisi serupa berhasil menurunkan angka kematian ibu berhasil dengan strategi inovatif. Nepal, misalnya, mengembangkan maternity waiting homes di dekat rumah sakit rujukan, sehingga ibu hamil dari daerah terpencil bisa menunggu waktu persalinan dengan aman.
Ethiopia memperkuat jaringan kader desa yang terhubung langsung dengan fasilitas medis terdekat. Filipina menggunakan telemedicine untuk konsultasi darurat antara bidan desa dan dokter spesialis di kota. Aceh sebenarnya bisa belajar dari model ini. Kearifan lokal, solidaritas masyarakat, dan teknologi bisa disinergikan.
Apalagi, semangat gotong royong dan kearifan lokal kita masih kuat. Pertanyaannya tinggal: apakah pemerintah dan pemangku kebijakan benar-benar berkomitmen untuk mewujudkannya?
Saatnya berubah: Dari Data ke Aksi
Kematian ibu bukan sekedar angka di atas kertas. Ia adalah alarm keras bahwa sistem kita masih bocor. Kita tidak bisa lagi berhenti pada duka dan saling menyalahkan. Oleh karena itu, perlu ada langkah nyata: Pertama, Pemerintah daerah harus memperkuat layanan obstetri esensial di puskesmas. Minimal standar PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) harus tersedia. Kedua, Rutin kontrol antenatal. Ibu hamil wajib memeriksakan diri sesuai jadwal, terutama trimester ketiga. Ketiga, Gunakan teknologi digital.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.