KUPI BEUNGOH

Inflasi: Pencuri yang tak Pernah Ditangkap

Dengan kata lain, inflasi bukan sekadar “kenaikan harga barang”, tetapi penurunan nilai uang itu sendiri.

Editor: Muhammad Hadi
SERAMBINEWS.COM/HO
Dr. Muhammad Nasir, Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial Kemasyarakatan; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban. 

Oleh: Dr. Muhammad Nasir*)

Bayangkan sejenak: setiap kali Anda menabung, ada tangan tak terlihat yang perlahan mengambil sebagian nilainya tanpa Anda sadari. 

Bukan karena perampok bersenjata, bukan pula karena peretas digital, melainkan akibat sesuatu yang dianggap “biasa saja” , inflasi

Ia datang perlahan, tanpa bunyi, namun meninggalkan jejak yang dalam di dapur rumah tangga, di neraca keuangan negara, bahkan di hati rakyat kecil yang kian terengah menghadapi kenaikan harga yang tak kunjung reda.

Inflasi adalah pencuri paling sopan yang pernah dikenal ekonomi modern. Ia tak menodong, tak menipu, tapi merampas daya beli dengan penuh legitimasi. 

Dalam hitungan tahun, nilai uang yang dulu bisa membeli banyak hal kini hanya cukup untuk separuhnya.

Uang Rp3 juta yang dahulu mampu memenuhi kebutuhan bulanan sederhana, kini setara dengan Rp6 juta hari ini, bukan karena hidup makin mewah, melainkan karena uang yang sama kini tak berdaya melawan harga yang melambung.

Ironisnya, banyak orang hanya menatap angka nominal di rekeningnya tanpa sadar nilai riil di baliknya telah menyusut. Kita hidup di era di mana uang bertambah di layar, tetapi berkurang di kenyataan.

Warisan dari Sistem Uang Kertas

Sejarah mencatat, inflasi bukan sekadar fenomena ekonomi, melainkan konsekuensi dari keputusan politik dan sistem moneter global. 

Sejak 1971, ketika Amerika Serikat di bawah Presiden Richard Nixon secara sepihak memutus keterikatan dolar terhadap emas (akhir dari Bretton Woods System), dunia memasuki babak baru: era uang kertas tanpa sandaran nilai intrinsik. 

Uang yang dahulu dijamin oleh emas, logam mulia yang tak bisa dicetak seenaknya. Kini hanya disandarkan pada “kepercayaan”. 

Baca juga: Harga Emas Dunia Perkasa, Rekor Baru Tercipta, Akankah Tumbang Setelah Data Inflasi?

Dan ketika kepercayaan itu dikelola oleh bank sentral yang dapat mencetak uang tanpa batas fisik, maka hukum dasar ekonomi pun berlaku: semakin banyak uang beredar, semakin menurun nilainya.

Dengan kata lain, inflasi bukan sekadar “kenaikan harga barang”, tetapi penurunan nilai uang itu sendiri. 

Ia adalah bentuk pajak tersembunyi yang dikenakan kepada rakyat, di mana pemerintah bisa berutang dan mencetak uang, sementara masyarakat menanggung akibatnya dalam bentuk harga yang terus naik.

Paradoks Bank Sentral dan Ketidakberdayaan Kebijakan

Pertanyaan besar pun muncul: apakah bank sentral benar-benar mampu mengendalikan inflasi?

Dalam teori, ya. Tapi dalam praktik, tidak sesederhana itu. Ketika suku bunga dinaikkan untuk menekan inflasi, beban utang meningkat, sektor riil melambat, dan investasi melemah. 

Namun ketika suku bunga diturunkan untuk menumbuhkan ekonomi, uang kembali mengalir deras ke pasar dan memicu kenaikan harga.

Paradoks inilah yang menjadikan bank sentral seperti pengendara yang menekan gas dan rem secara bersamaan. 

Mereka tahu arah yang dituju, tapi jalan yang dilalui penuh jebakan.

Lebih ironis lagi, sistem keuangan modern justru mendorong inflasi sebagai hal “normal”. 

Kenaikan harga 3–5 persen per tahun dianggap sehat, seolah penurunan nilai uang adalah keniscayaan yang harus diterima. 

Padahal, bagi masyarakat kecil, kenaikan harga sekecil apa pun berarti pengurangan gizi di piring, pengurangan tabungan pendidikan anak, atau tertundanya biaya pengobatan.

Emas: Penjaga Nilai yang Terlupakan

Sejarah membuktikan bahwa hanya satu instrumen yang mampu mempertahankan daya beli lintas zaman: emas

Sejak masa Rasulullah SAW, harga seekor kambing kurban adalah satu dinar (sekitar 4,25 gram emas).

Ajaibnya, hingga hari ini nilai tersebut relatif sama satu dinar emas masih bisa membeli satu kambing bahkah lebih.

Berbeda halnya dengan uang kertas. Dalam 50 tahun terakhir, nilai rupiah terhadap dolar telah tergerus ribuan kali. 

Nilai uang tak lagi menjadi penyimpan kekayaan, melainkan alat transaksi yang terus kehilangan makna.

Baca juga: Harga Emas Antam Mulai Bertenaga, Berikut Rincian Harga Emas Hari ini Senin 13 Oktober 2025

Negara-negara maju kini mulai sadar. Bank sentral Tiongkok, Rusia, hingga India membeli emas dalam jumlah besar dalam beberapa tahun terakhir, menambah cadangan hingga ribuan ton. 

Bahkan beberapa analis menyebutkan dunia sedang bersiap menuju sistem moneter baru berbasis komoditas riil.

Sementara itu, Indonesia dengan kekayaan sumber daya alamnya justru masih menyimpan sebagian besar cadangan devisa dalam bentuk dolar Amerika, mata uang yang nilainya kian bergantung pada kebijakan politik Washington. 

Pertanyaannya: sampai kapan kekayaan bangsa ini disandarkan pada kertas yang nilainya ditentukan oleh negara lain?

Menimbang Jalan Baru

Tentu tidak mudah meninggalkan sistem uang kertas. Dunia telah terlanjur membangun seluruh fondasi ekonominya di atas sistem fiat. 

Namun, bukan berarti kita harus pasrah. Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun ketahanan ekonomi berbasis nilai riil melalui diversifikasi cadangan negara, penguatan sektor riil, dan perlahan menambah proporsi emas dalam cadangan moneter nasional.

Dalam konteks masyarakat, edukasi finansial berbasis nilai riil menjadi penting. Masyarakat perlu memahami perbedaan antara uang nominal dan nilai riil. 

Baca juga: Sudah Ditolong, Kurir Paket di Aceh Timur Malah Dibunuh Rekannya, Ini 20 Adegan Diperagakan

Menabung dalam bentuk aset berharga, baik emas maupun instrumen syariah yang berorientasi pada sektor produktif, menjadi langkah kecil yang berarti dalam melawan erosi nilai uang.

Lebih jauh, sistem ekonomi Islam sebenarnya telah menawarkan solusi sejak 14 abad lalu. 

Larangan riba, prinsip keadilan dalam pertukaran, dan penggunaan dinar–dirham bukanlah romantisme sejarah, melainkan prinsip ekonomi yang menjaga keseimbangan nilai. 

Di sinilah urgensi re-valuasi moral ekonomi: bahwa uang bukan semata alat tukar, tetapi amanah nilai yang harus dijaga keadilannya.

Mewaspadai Pencuri Tak Kasat Mata

Inflasi bukan sekadar angka di laporan BPS atau topik debat di ruang ekonomi

Ia adalah realitas hidup yang dirasakan di pasar tradisional, di meja makan keluarga, dan di anggaran negara. 

Ia adalah pencuri yang tak pernah ditangkap, karena mencuri dengan izin sistem.

Kita tak bisa menunggu keajaiban kebijakan moneter global untuk berubah. 

Baca juga: VIRAL Prompt Gemini AI untuk Edit Foto Tidur di Atas Makanan, Ada Mie Aceh, Kuah Pliek U dan Timphan

Namun kita bisa mulai dari kesadaran kolektif bahwa uang kertas bukan penyelamat, melainkan alat yang harus diawasi.

Sudah saatnya bangsa ini berpikir lebih berdaulat dalam menjaga nilai kekayaannya. 

Menyandarkan stabilitas pada emas, sektor riil, dan tata kelola ekonomi yang adil bukan sekadar nostalgia masa lalu, tetapi kebutuhan masa depan. Karena ketika uang kehilangan makna, keadilan ekonomi ikut pudar.

Dan di sanalah letak tanggung jawab kita,  bukan hanya untuk menahan laju inflasi, tetapi untuk menghentikan pencurian nilai kehidupan yang selama ini berlangsung tanpa pernah disadari.  Wallahu’alam bissawab.

*) PENULIS adalah Dosen Magister Keuangan Islam Terapan Politeknik Negeri Lhokseumawe; Peneliti Sosial Kemasyarakatan; Pembina Yayasan Generasi Cahaya Peradaban.

KUPI BEUNGOH adalah rubrik opini pembaca Serambinews.com. Isi artikel menjadi tanggung jawab penulis.

Baca artikel KUPI BEUNGOH lainnya di SINI

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved