Kajian Islam

Sudah Sah Menikah, Apakah Wudhu Tetap Batal Jika Suami Istri Bersentuhan? Ini Penjelasan Fiqihnya

baik Ustad Abdul Somad maupun Buya Yahya, keduanya memberikan penjelasan serupa soal hukum suami istri bersentuhan dalam kondisi berwudhu.

Penulis: Yeni Hardika | Editor: Muhammad Hadi
Generate by AI
PASANGAN SUAMI ISTRI - Sudah sah menikah, apakah wudhu tetap batal jika suami istri bersentuhan? Ini penjelasan fiqihnya. 

SERAMBINEWS.COM - Fenomena bersentuhan kulit antara suami dan istri merupakan hal yang tak terhindarkan dalam kehidupan rumah tangga.

Dari genggaman tangan saat berjalan, sentuhan tak sengaja di dapur, hingga bersinggungan bahu di ruang sempit, momen-momen intim nan sederhana ini kerap terjadi, bahkan sering kali terabaikan.

Sebagian besar pasangan meyakini bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudhu karena status mereka telah menjadi mahram (pasangan yang sah secara syariat).

Namun, benarkah anggapan bahwa sentuhan antara pasangan halal tidak membatalkan wudhu?

Pertanyaan ini menjadi salah satu perdebatan fiqih yang paling sering mencuat di tengah masyarakat Muslim.

Ternyata, persoalan batal atau tidaknya wudhu karena sentuhan suami istri ini memiliki perbedaan pendapat (khilafiyah) yang mendalam di kalangan ulama besar, tergantung pada mazhab fiqih yang dianut.

Untuk menjawab keraguan ini, dua ulama terkemuka, Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Buya Yahya, memberikan penjelasan tegas berdasarkan rujukan fiqih yang mereka kuasai. 

Hukum suami istri bersentuhan dalam kondisi wudhu

Dirangkum dari Serambinews.com (30/6/2025), baik Ustad Abdul Somad maupun Buya Yahya, keduanya memberikan penjelasan serupa soal hukum suami istri bersentuhan dalam kondisi berwudhu.

Menurut UAS dan Buya Yahya, hukum bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang telah menikah terbagi menjadi tiga pandangan utama. 

Baca juga: Suami Istri Sudah Menikah dan Halal Bersentuhan, Bagaimana Dalam Kondisi Wudhu, Batal atau Tidak?

Berikut penjelasan lengkap Ustad Abdul Somad dan Buya Yahya.

1. Mazhab Syafi'i: batal

Mazhab yang ajarannya paling banyak dianut di Indonesia ini memiliki pandangan yang paling ketat.

Ustad Abdul Somad menjelaskan, menurut Imam Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i atau Imam Syafi'i, bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu secara mutlak.

Terlepas apakah sentuhan itu disengaja atau tidak, serta terlepas dari adanya nafsu syahwat ataupun tidak.

"Menurut mazhab Syafi'i, asal bersentuh laki-laki perempuan, mau bernafsu tak bernafsu, batal wudhu," kata UAS sebuah tayangan video penjelasannya yang pernah diunggah oleh kanal YouTube Wasilah Net dengan judul 'Suami Istri Bersentuhan Bisa Membatalkan Wudhu? Ini Jawaban UAS'.

UAS bahkan secara pribadi memilih pendapat ini dengan alasan kehati-hatian (lebih selamat) dalam beribadah. 

Senada dengan UAS, Buya Yahya menjelaskan, bahwa dasar hukum dalam mazhab Syafi'i ini merujuk pada tafsir ayat Al-Qur'an Surah An-Nisa’ ayat 43.

Dalam ayat tersebut terdapat frasa " aula mastumun nisa " (atau kamu menyentuh perempuan).

Frasa itu diartikan sebagai sentuhan kulit biasa, bukan bersenggama.

"Imam Syafi'i mengatakan oh ini bukan bersenggama. Kenapa? Karena ada satu ayat tentang laki-laki yang berzina, kisah Mais dan lainnya berkata bahwasanya, 'aku hancur, aku telah berzina ya Rasulullah. Sucikan aku'," kata Buya Yahya dalam sebuah video penjelasannya yang diunggah YouTube Al-Bahjah TV.

"Kemudian Nabi mengatakan apa? 'La'allakala masta, mungkin kamu masih bersentuhan'. Kalau artinya bersenggama, Nabi ga akan bertanya La'allakala masta, tapi Nabi pertanyaannya, mungkin kamu masih bersentuhan saja,"

" 'Tidak kami melakukan ya Rarusullah'. Baru meningkat, 'la'allaka qabbalta mungkin kamu nyium saja. Tidak ya Rasulullah aku melakukan, la'allaka faghata mungkin tidak sampai masuk' ,"

"Berarti apa? ada empat martabatnya. Yang pertama 'lamasa'. Dalam hadist artinya bersentuhan tangan," lanjut Buya Yahya.

Baca juga: UAS dan Buya Yahya Jelaskan Soal Hukum Suami Istri Bersentuhan Saat Wudhu, Tetap Batal Meski Mahram

2. Mazhab Hanafi: tidak batal (kecuali jima')

Berbeda total dengan Syafi'i, dalam Mazhab Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan, bahkan antara suami istri, tidak membatalkan wudhu.

UAS menjelaskan, pegangan hukum bersentuhan antara laki-laki dan perempuan dalam mazhab Hanafi didasarkan pada Surah An-Nisa' ayat 43.

Namun dalam Mazhab Hanafi, jelas Ustadz Abdul Somad, frasa " aula mastumun nisa " ditafsirkan bukan sebagai sentuhan kulit, melainkan merujuk pada jima' (hubungan suami istri).

"Karena bahasa Alquran itu tidak vulgar, maka tidak dia katakan jima', dia katakan menyentuh. Tapi makna menyentuh disitu jima'. Jima' baru batal wudhu. Kalau sekedar menyentuh tak batal menurut mazhab Hanafi," terang Dai yang akrab disapa UAS tersebut.

Buya Yahya juga menyampaikan hal serupa.

Dai dengan nama lengkap Yahya Zainul Ma'arif ini juga memberikan hadis sahih lain yang menjadi rujukan Imam Hanafi dalam manafsirkan frasa  " aula mastumun nisa " dalam Alquran surah An-Nisa' ayat 43.

Hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Bukhari, yang menyebutkan bahwa Rasulullah melipat kaki Aisyah yang melintang saat sedang tidur di hadapan Rasulullah yang sedang shalat secara berulang.

Hadis itulah yang menjadi dasar Mazhab Hanafi memegang hukum tak batal wudhu jika bersentuhan antara suami istri.

Buya Yahya menambahkan, hadis tersebut juga sebenarnya diakui kesahihannya oleh Imam Syafi'i.

Namun oleh Imam Syafi'i tidak dijadikan sebagai rujukan karena ada berbagai kemungkinan.

"Imam Syafi'i punya kaidah, bukan main-main. Kalau dalil ini masih mungkin begitu mungkin begini, ga dipakai dalilnya," terang Buya Yahya.

Baca juga: Suami Istri Jadi Mahram Setelah Menikah, Apakah Tetap Batal Wudhu Jika Bersentuhan? Ini Hukumnya

3. Mazhab Maliki: batal, asalkan timbul syahwat

Berbeda lagi hukumnya dalam Mazhab yang diimami oleh Imam Malik bin An-Nas yang mengambil posisi tengah. 

Menurut Imam Malik, jelas UAS, sentuhan antara laki-laki dan perempuan (termasuk suami istri) membatalkan wudhu hanya jika sentuhan tersebut dilakukan dengan syahwat atau menimbulkan nafsu. 

Sementara jika tidak ada syahwat diantaranya, maka tidak batal wudhu apabila keduanya bersentuhan.

"Mazhab Maliki bersentuhan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, batal kalau ada syahwat. Kalau tak ada syahwat tak batal," ujar UAS.

Memahami perbedaan status mahram

Salah penyebab kebingungan di tengah masyarakat terkait batalnya wudhu adalah adanya penyamaan status mahram karena pernikahan (istri/suami) dengan mahram karena nasab (keturunan atau persusuan).

Padahal, keduanya memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dalam fiqih, khususnya terkait wudhu.

Menurut Ustaz Abdul Somad (UAS), meskipun seorang istri secara status adalah mahram bagi suaminya, mahram yang dimaksudkan dalam konteks hukum batalnya wudhu adalah mahram karena nasab, seperti ibu, anak perempuan, atau saudara perempuan.

"Istri, itu mahram karena nikah. Tapi dia tidak mahram karena nasab. Yang dimaksud disini mahram nasab," tegas UAS, masih dikutip dalam tayangan video sama yang pernah diunggah YouTube Wasilah Net.

Perbedaan mendasar di antara keduanya terletak pada potensi syahwat.

Mahram nasab adalah mereka yang secara permanen haram dinikahi dan sentuhan kulitnya secara umum tidak menimbulkan syahwat.

Sebaliknya, istri adalah mahram karena nikah, di mana sentuhan kulitnya masih berpotensi menimbulkan syahwat.

Inilah yang menjadi alasan utama mengapa sentuhan kulit suami istri memiliki hukum yang berbeda dalam fiqih wudhu, terutama pada Mazhab Syafi'i.

"Mahram nasab, tak ada syahwat, tak ada nafsu. Antara orang dengan anaknya," kata UAS.

UAS menekankan, apabila ada anggapan bahwa sentuhan suami istri tidak membatalkan wudhu karena status mahram, maka pemahaman tersebut perlu diluruskan. 

Baca juga: Hukum Mengelap Sisa Air Wudhu di Wajah, Boleh Atau Tidak? Simak Penjelasan Ustad Abdul Somad

"Jadi nanti kalau ada orang mengatakan, dia itu kan istrimu, istrimu itu kan mahrammu, maka tak batal wudhumu. Yang dimaksud mahram di sini bukan mahram nikah tapi mahram nasab," tegas UAS.

"Yang tak batal itu dengan anak, dengan emak, dengan perempuan yang mahram karena nasab tadi, bukan mahram karena nikah," tutupnya.

(Serambinews.com/Yeni Hardika)

BACA BERITA LAINNYA DI SINI

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved