Pelitnya Keterbukaan Informasi

BANYAK indikator untuk mengukur keberhasilan implementasi Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik nomor 14 tahun tahun 2008

Editor: hasyim
Oleh Jafaruddin

BANYAK indikator untuk mengukur keberhasilan implementasi Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik nomor 14 tahun tahun 2008. Salah satunya warga benar-benar mendapat haknya untuk mengetahui rencana, program, dan proses pengambilan kebijakan dan keputusan publik beserta alasannya. Kemudian masyarakat aktif berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik. Masyarakat berperan aktif turut mendorong terwujudnya badan publik yang baik.

Serta terwujudnya penyelenggaraan pemerintah yang baik, transparan, efektif efisien, dan akuntabel. Masyarakat mengetahui alasan pengambilan kebijakan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak.

Namun, bila kita melihat kondisi riil, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan, misalnya di Kota Lhokseumawe dan Kabupaten Aceh Utara, terlihat hal ini belum dapat direalisasikan seperti yang diharapkan. Padahal selama ini sejumlah LSM mulai aktif untuk mendorong supaya terwujudnya pemerintah yang baik. Tapi karena ‘bertepuk sebelah tangan’ sehingga upaya dari sejumlah elemen sipil belum berhasil. Meskipun sudah “berteriak lantang” untuk mewujudukan amanah UU KIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.

Inisiatif baik dari sejumlah LSM, yang sejatinya mendapat sambutan respons baik dari kalangan pejabat untuk mendorong arah pemerintahan transparan, malah tidak mendapat perhatian serius bahkan terkesan dihambat.

Kondisi ini patut dipertanyakan. Apakah yang menyebabkan pejabat di Aceh Utara sangat alergi dengan keterbukaan informasi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut hanya butuh logika saja. Karena itu adalah modal awal korupsi bagi pejabat. Langkah ini juga sebagai upaya untuk “membungkam” kontrol dari elemen sipil. Jika ini dibuka, pejabat tak bisa mendapatkan “jatah” dari pelaksanaan proyek.

Pelaksana Bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) Ombudsman Patnuaji A Indrarto, SS menyebutkan, parameter lain keberhasilan UU KIP adalah meningkatnya pengetahuan dan kecerdasan masyarakat dan atau meningkatnya kualitas pelayanan informasi oleh badan-badan publik. Semua pihak yang menjadi objek hukum dalam suatu UU pada dasarnya mempunyai tanggungjawab untuk menjalankan UU itu sendiri beserta peraturan turunannya (Kominfonewscenter, 20 April 2010).

Secara tersirat pejabat Aceh Utara telah menentang pemberantasan korupsi. Buktinya selama ini sejumlah LSM yang konsen dengan isu korupsi dan transparansi tak mampu menembus ketatnya birokrasi keterbukaan informasi untuk dokumen anggaran dari Sekda dan SKPK.

Pemkab Aceh Utara beralasan dokumen anggaran adalah rahasia negara. Lagi lagi, UU KIP ditentang, jaminan hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik juga terabaikan.

Ini pula selama ini yang menjadi karut-marut pengelolaan anggaran Aceh Utara. Kabupaten yang mendapat dijuluki Petro dolar, tapi mayoritasnya masyarakat miskin. Kabupaten Aceh Utara yang memiliki kekayaan gas alam luar biasa, tapi masyarakatnya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak.

Bukti lain yang mengindikasikan belum serius pejabat di Aceh Utara untuk mewujudkan pemerintah yang transparan. Baru-baru ini kelompok transparansi Sekolah Demokrasi Aceh Utara mengadakan Focus Group Discussion (FGD), Rabu (21/9) lalu. Pesertanya adalah Sejumlah SKPK, Dewan dan Sekda serta sejumlah LSM.

Sebagian besar undangan untuk dinas diserahkan langsung kepada kepala dinasnya. Ternyata dari 21 instansi yang diundang, hanya satu staf perwakilan dari salah satu dinas yang hadir. Konfirmasi yang dilakukan panitia ternyata tak berhasil menghadirkan mereka untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Padahal kegiatan tersebut bertujuan untuk untuk merumuskan kesepakatan bersama untuk diimplementasikan agar di Kabupaten Aceh Utara dapat terwujud keterbukaan informasi publik. Kegiatan itu sebagai suatu solusi untuk mengaplikasikan UU tersebut secara maksimal sehingga informasi publik tidak lagi dianggap sebagai rahasia negara. Sehingga warga dapat partisipasi juga terlaksana transparansi penyelenggaraan pemerintahan.

Namun, ternyata keinginan baik para siswa Sekolah Demokrasi tidak mendapat respons dari pejabat. Keterbukaan informasi sepertinya menjadi ‘hantu’ yang menakutkan bagi para pejabat, karena dikhawatirkan akan membuka kedok mereka. Pejabat Aceh Utara belum siap untuk melakukan perubahan. Belum siap dengan pola pemerintahan yang demokrasi. Sehingga tak mengherankan jika selama ini masyarakat mencurigai pola penyelenggaran Pemkab Aceh Utara selama ini sarat masalah dan rawan penyimpangan.

 Momen
Sejatinya dengan diberlakunya UU KIP dua tahun setelah diundangkan menjadi momen bagi pejabat Aceh Utara untuk melakukan terobosan baru untuk mengambil simpati masyarakat. Karena sudah memiliki payung hukum. Memiliki inisiatif sendiri untuk memulai pola penyelenggaran pemerintah bersama dengan masyarakat sebagaimana amanah UU. Melibatkan masyarakat sebagai objek yang ingin disejahterakan. UU KIP yang terdiri 64 pasal itu menjadi langkah awal bagi penyelenggaran pemerintah untuk meninggalkan pola pemerintah yang bobrok. Dengan memberikan proses pengontrolan kepada masyarakat, sehingga terwujudnya good government dan clean governance.

 Solusi lain
Untuk mengatasi pelitnya keterbukaan informasi, pemerintah Aceh harus segera membentuk Komisi Informasi Aceh (KIA) yang terkatung-terkatung sejak Mei 2011. Ini sebagai salah satu solusi alternatif bagi masyarakat yang ingin mendapatkan informasi publik. Kehadiran lembaga tersebut sangat urgen. KIA adalah amanah dari UU KIP untuk menampung pengaduan masyarakat terhadap keterbukaan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi yang diperkarakan. Sehingga ketika ada persoalan, masyarakat bisa membuktikan bahwa informasi publik bukan rahasia negara melalui proses pengadilan.

* Penulis adalah Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara.

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved