Opini

Bulohseuma Berkalang Duka

KETIKA Jufri Hasanuddin, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (PA) menggebrak meja sidang pembahasan RAPBA 2012

Editor: bakri
zoom-inlihat foto Bulohseuma Berkalang Duka
Teuku Kemal Fasya
Oleh Teuku Kemal Fasya

KETIKA Jufri Hasanuddin, anggota DPRA dari Fraksi Partai Aceh (PA) menggebrak meja sidang pembahasan RAPBA 2012, karena anggaran Bulohseuma hilang dalam daftar isian proyek (Serambi Indonesia, 31/1), saya, masyarakat Buloh Seuma, dan siapa pun yang pernah mengunjungi daerah ini pasti setuju dengan sikap itu. Jika proyek untuk daerah seperti Bulohseuma bisa hilang, maka muncul pertanyaan moral: Ditujukan kepada siapakah pembangunan itu, jika masyarakat yang paling menderita tak kunjung mendapatkan berkahnya?

Bulohseuma menjadi ikon dari segala jenis ketertinggalan dan penderitaan. Ia menjadi arang yang mencoreng ‘gaun putih’ pembangunan daerah ini. Ia menunjukkan bahwa di tengah deru yang memamerkan segala keberhasilan pembangunan dan perdamaian, ada sekomunitas masyarakat yang berada di ujung selatan Aceh Selatan, yang masih belum mengerti apa arti kata-kata itu secara konkret. Yang mereka tahu, dari masa ke masa, dari rezim ke rezim, nasib mereka tidak semakin membaik dan terus dibayangi ketidakpastian.

Paling tertinggal
Bulohseuma adalah satu kemukiman yang termasuk dalam Kecamatan Trumon, Aceh Selatan --satu dari tiga kabupaten paling tertinggal di Aceh. Kemukiman Bulohseuma dihimpit Samudera Hindia di bagian barat dan Kawasan Ekosistem Leuser di timur. Kemukiman ini memiliki tiga buah gampong: Kuta Padang, Raket, dan Gampong Teungoh.

Jumlah penduduk Bulohseuma 870 jiwa dengan mata pencaharian: petani 70 persen, nelayan 20 persen, 10 persen lainya sebagai peternak lebah/madu dan berdagang kecil-kecilan. Tingkat pendidikan masyarakatnya sangat rendah, rata-rata tidak tamat SD dan 30 persennya buta huruf. Tak ada guru yang bertahan lama di daerah ini. Bahkan ada bidan pegawai tidak tetap (PTT) yang melarikan diri setelah lima hari tinggal di daerah yang disebut ‘neraka’ itu.

Daerah yang dikepung hutan rimba Rawa Singkil dan lautan lepas ini tidak memiliki akses jalan kecamatan. Jalan yang digunakan adalah pesisir pantai yang sempit. Jika menyewa boat, masyarakat harus mengeluarkan uang Rp 500 ribu-Rp 1 juta untuk sekali pulang-pergi. Jika harus menyisir pantai dengan sepeda motor, mereka harus menempuh perjalanan 3-4 jam untuk jarak tempuh 20 km. Itu pun perjalanan hanya dapat dilakukan ketika cuaca cerah. Ketika berombak tinggi, terpaksa harus menyingkir dari bibir pantai dan menetap di tengah hutan gelap. Ketika musim badai tiba, penduduk daerah ini kerap menderita kelaparan karena kebutuhan pokok yang selama ini dipasok dari Keude Trumon tak bisa diakses.

Saya mengetahui Bulohseuma ketika melakukan penelitian demokrasi di Aceh Selatan hampir dua tahun lalu. Sejak saat itu, selalu ada keterikatan batin dengan masyarakat setempat. Pelbagai upaya telah dilakukan untuk mengubah sejarah daerah ini, tapi tidak membuahkan hasil besar. Frasa tentang ketertinggalan dan penderitaan masyarakat Bulohseuma tidak menggugah pemerintah daerah, baik Aceh Selatan maupun provinsi. Rekomendasi yang dihasilkan tidak pernah dijalankan.

Sudah apatis
Beberapa waktu lalu Pang Laot Bulohseuma, Nasruddin, menelpon saya dan menyatakan masyarakat Bulohseuma sudah apatis dengan pemerintah Aceh Selatan dan menyerukan untuk pindah ke Subulussalam. Saya katakan pemindahan itu hanya akan dimanfaatkan oleh daerah adminstratif baru untuk mengeksploitasi hutan, belum lagi perbedaan kultur dengan masyarakat baru. Namun menurutnya masyarakat sudah tidak peduli lagi dengan itu. Mereka anggap permohonan pindah kabupaten ini sebagai titik tertinggi kefrustasian karena selalu diabaikan dan dilupakan.

Aceh memang tidak hanya memiliki cerita tunggal tentang kemiskinan pembangunan dan kosongnya peradaban dari Bulohseuma. Ada banyak daerah yang mirip dengan Bulohseuma di Aceh. Kita juga sering mendengar keterasingan masyarakat Pulo Aceh (Aceh Besar), ketertinggalan masyarakat Pirak Timu (Aceh Utara), kemiskinan masyarakat Woyla Timur (Aceh Barat), dan keterputusan akses masyarakat Seuruway (Aceh Tamiang), namun memang tak ada yang sedramatis Bulohseuma.

Bulohseuma adalah puncak dari segala ketertinggalan. Jika memakai istilah Joseph Conrad, sastrawan Inggris keturunan Polandia, Bulohseuma adalah the heart of darkness, jantung kegelapan, inti dari segala bentuk kekelaman akibat pengabaian dan pengicuhan.

Masyarakat yang tertinggal seperti Bulohseuma ini bukanlah masyarakat yang punya “keranjang keinginan” (object of desire) yang tidak realistik dengan keperluan (object of need). Saya mendapatkan istilah itu dari seorang pejabat elite di sebuah kabupaten yang mengatakan sulit mengakomodasi keinginan masyarakat. Saya yakin, dan setelah bergaul dengan mereka, masyarakat terasing dan miskin sebenarnya memiliki keinginan sederhana saja: sesuatu yang secara minimal harus dipenuhi oleh pemerintah mana pun agar eksistensi kemanusiaan tidak jatuh lebih rendah lagi.

Keinginan masyarakat Bulohseuma hanya pada jalan sepanjang 20 km, yang menghubungkan pusat ekonomi di ibu kota kecamatan, Keude Trumon ke Bulohseuma. Setelah berpuluh tahun dan semakin gencarnya publikasi, baru empat kilometer jalan yang dibangun. Jalan diperlukan untuk bisa berhubungan dengan dunia luar secara lebih mudah. Mereka memang masih sangat tertinggal dari sektor pelayanan publik dan infrastruktur seperti kesehatan, pendidikan, dan listrik, tapi dengan adanya jalan, maka akan ada solusi lain untuk membenahi ketertinggalan mereka.

Keinginan yang sederhana ini tidak bisa dikatakan sebagai keranjang keinginan yang banyak dan sulit dipenuhi. Jika pemerintah bisa menghabiskan anggaran pembangunan 70-80 persen untuk keperluan gaji dan rutin lainnya untuk setiap tahun (tahun ini hampir Rp 9 triliun dari APBA), maka menyisihkan “remah” demi membangun daerah tertinggal seharusnya bukan pekerjaan luar biasa.

Mukjizat pembangunan
Jika saja pemerintah mau menghemat anggaran operasional, untuk perjalanan dinas 10-20 persen saja, maka akan ada mukjizat pembangunan dan berkah bagi masyarakat miskin dan sangat miskin di Aceh. Jika biaya belanja barang mau dijalankan dengan ketat, tanpa mark up atau anggaran konsultasi ecek-ecek, tentu bisa menjadi energi alternatif bagi pembangunan sehingga kesenjangan tidak mencolok seperti sekarang ini. Ada peluang untuk mereduksi ketimpangan kesejahteraan, namun kekuasaan memang terlanjur memabukkan para penguasa yang menangguknya.

Jika mau membantu menyelamatkan Bulohseuma dan daerah-daerah terasing di Aceh, penguasa mana pun, bisa melakukannya, tanpa harus mengeluarkan anggaran studi banding dengan biaya mahal dan menginap di hotel mewah. Yang diperlukan hanya pemimpin sederhana dengan semangat baja untuk mengubah nasib masyarakatnya. Lainnya serahkan pada dinas teknis, partisipasi masyarakat, dan gagasan bernas ilmuwan untuk membuatnya semakin bermakna.

* Penulis adalah Pengamat Sosial Politik.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Adu Sakti

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved